Busung Bali Sulit Dicari, 2 Dekade Kemudian Alami Inflasi

Denpasar, IDN Times - Gerimis di Kota Denpasar pada malam hari tidak menghentikan padatnya aktivitas jual beli perlengkapan sembahyang di Jalan Gunung Kawi. Sudah bertahun-tahun lamanya jalan ini menjadi transaksi jual beli busung (janur), bunga pacah, canang, slepan (janur yang sudah tua berwarna hijau tua), kelapa, dan sebagainya.
Para pedagang dengan sigap menggelar plastik besar menutupi dagangannya agar tidak kebasahan. Mereka juga mengenakan jas hujan berbahan plastik tipis demi menepis guyuran air dari langit. Pengendara tak santai, mereka saling sikut berebut pedagang langganan yang menawarkan harga cocok untuk kantong pas-pasan. Bahkan kemarin Senin (2/12/2024), seorang pengendara hampir saling bertabrakan.
Malam itu, hujan masih setia turun. Sepeda motor hingga kendaraan roda empat memenuhi jalan yang hanya selebar 6 meter itu. Desak-desakan tak terelakkan, karena ruas jalan yang tersisa digunakan untuk lapak pedagang bermeja kecil hingga mobil pickup. Trotoar yang berfungsi sebagai akses pejalan kaki juga berubah fungsi jadi lapak jualan.
Janur atau dalam Bahasa Bali disebut busung adalah komoditas yang paling dicari di jalan ini. Seorang pedagang busung di Jalan Gunung Kawi, hanya menyisakan tiga ikat ukuran sedang.
“Busung bali niki geg (Janur bali ini mbak),” ujarnya menawarkan.
1. Busung bali masih menjadi primadona

Mobil pickup Komang Budi dipenuhi busung, kelapa, daun, dan perlengkapan sembahyang lainnya. Perempuan itu hampir 10 tahun lebih berjualan di Jalan Gunung Kawi yang jaraknya hanya 3 menit ke Pasar Badung. Seorang pembeli menghampiri lapak Komang Budi dan menanyakan jenis busung yang dijualnya.
“Busung bali niki bu,” jawab Budi.
Budi berangkat dari Melaya, nama kecamatan paling barat di Kabupaten Jembrana. Budi menuturkan, busung itu didatangkan langsung dari Melaya. Merogoh kocek Rp5 ribu, mendapat dua ikat kecil busung bali. Sedangkan 1 ikat ukuran sedang dibanderol seharga Rp25 ribu, yang di dalamnya ada 10 ikat kecil busung bali.
Tangan pembeli begitu sigap membolak balik busung, Ia mengaku sebagai pedagang canang memilih busung bali dengan teliti. Setelah memilih, sang pembeli mengeluarkan jurus tawar-menawar. Ia meminta agar 1 ikat sedang busung bali dari harga Rp25 ribu menjadi Rp20 ribu. Mendengar jurus tawaran itu, Budi menolak.
Pembeli tak menyerah, Ia tawar lagi busung itu seharga Rp22 ribu. Namun, Budi dengan pendirian kuatnya tetap menolak. Ia keukeuh harga busung bali yang dijualnya tetap Rp25 ribu. Si pembeli tak berkutik, luluh juga ia mengeluarkan uang Rp50 ribu dan menerima kembalian Rp25 ribu. Selepas pembeli pertama pergi, pembeli lainnya berdatangan menghampiri Budi. Kewalahan menghadapi pembeli, Budi memanggil sepupunya agar mendapat pertolongan.
2. Fluktuasi harga busung di Bali

Dua dekade lebih 4 tahun lalu, Majalah Sarad edisi Februari 2000 menuliskan laporan jurnalistik bertajuk Busung Bali Sulit Dicari. Tulisan yang dibuat Made Sarjana itu menjelaskan area pojok arah timur area parkir Pasar Badung menjadi lokasi transaksi busung dari luar Bali. Pickup di era itu bernomor polisi Banyuwangi, Malang, dan Surabaya membawa setumpuk ikat besar janur dari pohon-pohon kelapa di Pulau Jawa.
Temuan Made Sarjana pada tahun 2000, bahwa harga busung dari Jawa Rp9-11 ribu untuk satu ikat sedang. Sedangkan musim rahinan (hari raya umat Hindu di Bali), kenaikan harga janur itu mencapai 75 persen hingga menyentuh Rp18.500. Sedangkan harga satu ikat sedang busung bali di tahun 2000 sebesar Rp20 ribu.
Apabila dibandingkan dengan harga di tahun 2024, busung dari luar Pulau Bali saat ini berada di harga Rp13-15 ribu. Jika menggunakan patokan harga di tahun 2000, kenaikannya mencapai Rp 4 ribu. Angka ini diperoleh dari selisih Rp15 ribu dengan Rp 11 ribu. Jika dibandingkan dengan harga pada hari raya tahun 2000, busung bali di masa kini tetap saja mahal. Selisih harga antara tahun 2000 ke 2024 bisa mencapai Rp10 ribuan.
Beberapa masyarakat Bali, khususnya ibu-ibu, masih mengidolakan busung bali karena lebih besar, mudah dibentuk, dan tidak mudah layu. IDN Times coba membandingkan janur dari Bali dan Jawa. Sejauh ini dari segi ukuran, busung bali lebih lebar dibandingkan busung yang didatangkan dari luar Pulau Bali.
3. Apa yang memengaruhi perbedaan kualitas busung bali dan di luar Pulau Bali?

Dr Ir Gede Wijana MS, Akademisi dari Fakultas Pertanian Universitas Udayana (Unud), menjelaskan secara umum, perbedaan kualitas janur kelapa antara Bali dan daerah lain dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Dosen S3 Ilmu Pertanian ini mengungkapkan beberapa faktor itu seperti kombinasi faktor iklim, jenis kelapa, kesuburan tanah, praktik pertanian, serta budaya setempat jadi penyebabnya.
“Bali dengan iklim yang lebih stabil, tanah yang subur, dan perhatian khusus terhadap kualitas janur untuk upacara adat, cenderung menghasilkan janur yang lebih lentur dan berkualitas,” jelas Wijana saat dihubungi, pada Senin (2/12/2024).
Namun, beberapa faktor lain yang lebih mendalam, menurut Wijana dibutuhkan kajian ilmiah lebih lanjut. Wijana berpendapat, masyarakat Bali membutuhkan tumbuhan kelapa. Dorongan untuk mendapatkan janur dengan kualitas terbaik memengaruhi upaya budidaya dan perawatan kelapa.
“Ini mendorong petani untuk lebih berhati-hati dalam memilih janur yang lebih lentur dan kuat,” kata dia.
Hingga saat ini, meskipun harganya lebih mahal, busung bali masih dicari. Busung bali masih memiliki penggemarnya tersendiri. Kini, Jawa tidak jadi satu-satunya pulau yang menyokong kebutuhan akan janur di Bali. Lampung dan Lombok juga memasuki pasar komoditas janur di Bali. Kalau menurutmu, apakah busung bali dan luar bali ada bedanya?