Akademisi Bali: Pariwisata Berdampak Pada Kekerasan Anak dan Perempuan

Denpasar, IDN Times - Gemerlap dunia pariwisata Bali yang menyilaukan, berdampak buruk terhadap persoalan sosial, budaya, hingga lingkungan. Pada sisi lingkungan, alih fungsi lahan tak terbendung di Bali, banyak sawah menjadi bangunan akomodasi wisata. Sisi budaya, ada pergeseran nilai-nilai dan cara orang Bali memaknai warisan leluhur. Alih-alih mempertahankan sawah, lahan pertanian terjual dan tergadai murah.
Sementara itu, sisi sosial dan keadilan, kekerasan tak terelakkan. Akademisi Fakultas Hukum Universitas Udayana (FH Unud), Prof Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, menjelaskan kaitan antara kekerasan sebagai dampak dari pariwisata. Ari Atu mengatakan, derasnya arus pariwisata berdampak pada pergulatan ekonomi yang tinggi.
“Dampaknya adalah bagaimana semua itu dibuat seolah-olah atas nama ekonomi akhirnya timbullah kekerasan pada perempuan maupun anak,” kata Ari Atu.
Pariwisata menciptakan ketimpangan pada akses-akses kehidupan, seperti apa contohnya? Ini penjelasan selengkapnya.
1. Pernikahan dan perceraian, anak dan perempuan jadi korban

Ari Atu menjabarkan tentang kasus perceraian di Bali. Melalui penelitian yang dilakukannya, angka perceraian di Bali terbilang tinggi. Ia menjelaskan, angka perceraian di Bali lebih dari 90 persen. Tahun lalu, catatan dari Badan Pusat Statistik (BPS) Bali dari 3.189 pernikahan, ada 1.041 kasus perceraian. Bagi Ari Atu, data tersebut mencemaskan, sehingga pernikahan bukanlah satu-satunya solusi mengakhiri garis kemiskinan.
“Hampir seluruh Pengadilan Negeri yang ada di Bali saya datangi untuk melihat berapa sih sebenarnya terjadi perceraian di Bali, ternyata memang mencemaskan,” ujar Ari Atu.
2. Akses infrastruktur dan pendidikan belum merata, anak dan remaja terjerat perkawinan anak

Pariwisata melahirkan anggapan negatif bahwa tubuh anak adalah komoditas. Bagi Ari Atu, anggapan negatif itu adalah satu masalah yang saling berkelindan dengan perkawinan anak. Adanya himpitan struktural dan kultural kian membuat anak dan perempuan dalam situasi sulit.
“Bahwa perkawinan anak itu banyak problem ke depannya. Itu yang harus harus di dipahami bersama. Selain juga pengaruh-pengaruh pariwisata yang menganggap bahwa tubuh anak itu sebagai komoditi, itu yang terjadi, mengerikan itu,” kata dia.
Ari Atu menceritakan pengalamannya sebagai penasihat dalam pembuatan pararem (aturan pelaksana di desa adat) perkawinan anak di Desa Ban, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Jalan tanpa aspal di sebagian dusun di Desa Ban, bagi Ari Atu adalah dampak ketimpangan atas pariwisata.
“Meningkatnya ekonomi, dengan perjuangan ekonomi gitu ya, sehingga abai akan dampak kekerasan, sehingga perlu kita sebenarnya mensinergikan antara regulasi-regulasi yang ada,” jelas Ari Atu.
2. Sinergi sangat dibutuhkan, desa adat harus berperspektif pada perlindungan perempuan dan anak

Menurut Ari Atu, sinergi antara regulasi di tingkat nasional hingga adat penting untuk diupayakan. Baginya, desa adat harus mengubah pandangan konservatif dan mulai memasukkan isu perlindungan anak dan perempuan pada produk hukum adat. Selain itu, Ari Atu juga menyoroti keberlangsungan dari regulasi yang berlaku.
Majelis Desa Adat (MDA) di Bali telah memberlakukan Putusan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali tahun 2023 yang mengatur persoalan anak.
"Ya, tinggal sekarang desa adatnya mau enggak gitu (menjadikan putusan MDA sebagai pararem) karena desa adat itu memiliki otonomi terkait dengan regulasinya,” ujar Ari Atu.
Sehingga, memberikan pemahaman secara langsung ke desa adat jadi penting untuk mulai menyusun regulasi adat berperspektif perempuan dan anak.


















