- Melakukan penyelidikan dan penegakan hukum secara menyeluruh terhadap seluruh aktor yang diduga terlibat, baik pihak agen atau calo, pihak perusahaan, maupun oknum aparat kepolisian (Polairud) Bali.
- Memastikan terpenuhinya akses bantuan hukum, perlindungan saksi dan korban, serta layanan psikososial bagi seluruh korban sebagai bentuk jaminan hak atas keadilan dan perlindungan.
- Menjamin pemulihan yang menyeluruh bagi para korban, yang meliputi rehabilitasi, restitusi, kompensasi, dan reintegrasi sosial-ekonomi.
- Memperkuat mekanisme pengawasan dalam perekrutan tenaga kerja sektor perikanan baik di tingkat nasional maupun daerah guna mencegah berulangnya praktik TPPO.
- Meningkatkan akuntabilitas aparat penegak hukum melalui penerapan mekanisme etik dan pidana terhadap oknum yang terbukti melakukan pelanggaran.
- Menerapkan pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap PT Awindo International sebagai korporasi yang diduga terlibat dalam praktik TPPO.
- Segera menyusun dan menetapkan regulasi daerah yang secara khusus mengatur perlindungan pekerja perikanan, untuk mengharmonisasi dan menutup celah tumpang tindih regulasi di tingkat nasional.
Perusahaan, Agen dan Polairud Bali dalam Pusaran Dugaan TPPO

Denpasar, IDN Times - Kasus dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang dialami 21 orang awak kapal perikanan (AKP) berada di babak baru. Para korban adalah AKP KM Awindo 2A yang disekap di atas kapal Pelabuhan Benoa, Kota Denpasar. Mereka terjerat utang karena sistem upah dipotong tanpa kejelasan. Derita yang mereka hadapi juga dipaksa untuk makan tak layak, hingga tanpa pembekalan pelatihan khusus awak kapal.
Tim Advokasi Perlindungan Pekerja Perikanan (TANGKAP) yang mendampingi 21 orang korban mengungkapkan ada sejumlah inisial yang akan diperiksa lebih lanjut sebagai terduga pelaku. Tebaru, ada dugaan keterlibatan oknum Polairud Bali dalam pusaran kasus TPPO di Pelabuhan Benoa ini. Seperti apa kronologi dan perkembangan kasusnya? Berikut selengkapnya.
1. Usia korban bervariasi, termuda berusia 18 tahun ditipu lewat rekrutmen di media sosial

Petaka berawal pada Senin, 4 Agustus 2025 lalu. Korban yang berusia 18-47 tahun direkrut melalui Facebook oleh calo dari berbagai wilayah di Pulau Jawa dan Sumatra. Wilayah para calo itu di antaranya Depok, Lampung, Surabaya, Jakarta, Pandeglang, Tangerang, Bandung, Bogor, Brebes, Madiun, Temanggung, Boyolali, Cirebon, dan Cilacap.
Korban direkrut sebagian untuk bekerja menjadi AKP. Mereka yang dijanjikan bekerja sebagai AKP, diiming-imingi gaji antara Rp3 hingga Rp3,5 juta per bulan, kasbon Rp5 hingga 6 juta, dan sejumlah fasilitas penunjang lainnya tanpa potongan apa pun. Sebagian korban mengalami penipuan berkaitan dengan posisi kerja: beberapa dijanjikan bekerja di Unit Pengolahan Ikan (UPI) untuk bagian pengemasan, beberapa dijanjikan bekerja di kapal penampung (collecting), dan beberapa tidak diberikan informasi berkaitan tempat kerja.
Para korban itu ditempatkan di kapal cumi yang akan diberangkatkan dari Pelabuhan Benoa dengan upah hanya Rp35 ribu per hari atau Rp1.050.000 per bulan. Korban yang menyepakati tawaran kerja tersebut kemudian diangkut oleh calo ke sebuah tempat penampungan di Pekalongan, Jawa Tengah, sebelum kemudian diberangkatkan ke Pelabuhan Benoa untuk menangkap cumi.
2. Korban bekerja tanpa pelatihan dan fasilitas pelindung

Setibanya di Bali, para korban ditempatkan di KM Awindo 2A tanpa diberikan akses ke daratan. Selama di atas kapal, mereka diminta untuk melakukan berbagai pekerjaan kapal tanpa fasilitas pelindung apa pun. Mereka juga tidak mendapatkan konsumsi yang layak, serta dibebankan utang kepada calo yang disebut sebagai biaya lepas tali sebesar Rp2,5 juta. Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan telepon genggam korban juga ditahan.
Ketika di atas kapal, mereka didatangi oleh Polisi Air dan Udara (Polairud) dan calo yang mendata, serta memfoto para korban satu per satu. Dua hari kemudian, Polairud dan calo itu datang kembali ke kapal untuk membagikan Perjanjian Kerja Laut (PKL) agar diisi sesegera mungkin tanpa diberikan kesempatan untuk bisa membaca PKL tersebut.
3. Memenuhi unsur dugaan TPPO, 21 orang korban melapor ke Polda Bali

Tim Advokasi Perlindungan Pekerja Perikanan (TANGKAP) bekerja sama dengan Polda Bali berusaha mengusut adanya dugaan TPPO dalam kasus ini. Dugaan TPPO muncul karena serangkaian kejadian yang dialami korban telah memenuhi unsur-unsur TPPO. Kuasa Hukum Korban dari TANGKAP, Siti Wahyatun, menjelaskan satu korban bahkan sulit untuk mendapatkan pengobatan ketika mengalami cedera di atas kapal.
“Satu korban perlu waktu, bahkan memohon-mohon kepada pemilik kapal untuk bisa mendapatkan pengobatan ke darat, mengingat posisi kapal sangat jauh dari darat dan perlu sampan untuk bisa tiba di daratan,” ujar Siti di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, Senin (8/9/2025).
Kuasa hukum juga memeriksa secara rinci isi dari salinan PKL, tertulis gaji yang seharusnya diberikan pada AKP telah memenuhi UMR Bali. Namun berdasarkan keterangan korban, mereka dijanjikan oleh calo hanya digaji Rp35.000 per hari. Pengabdi Bantuan Hukum (PBH) Perburuhan LBH Bali sekaligus Kuasa Hukum TANGKAP, I Gede Andi Winaba, mengungkapkan gaji yang diterima korban berbeda dengan yang tertulis dalam PKL.
“Gaji ini berbeda dengan apa yang dituliskan di PKL. Bahkan, para AKP juga tidak mendapatkan konsumsi yang layak. Mereka hanya makan dua kali sehari dengan nasi dan lauk enam bungkus mi sayur yang harus dibagi dengan 30 AKP lainnya,” ujar Andi kepada awak media di Kantor LBH Bali.
3. Laporan 21 korban telah resmi diterima SPKT Polda Bali, mendesak usut tuntas aktor yang diduga terlibat dalam TPPO

Andi melanjutkan, 21 orang korban telah melapor ke pihak Polda Bali. Laporan tersebut telah resmi diterima SPKT Polda Bali pada 23 Agustus 2025 melalui Surat Tanda Terima Laporan Nomor: STTLP/591/VIII/2025/SPKT/POLDA BALI. Tim TANGKAP menegaskan tujuh poin tuntutan untuk mengusut tuntas kejahatan serius ini.
Adapun tujuh poin tuntutan itu di antaranya.