Pengamat Usul Pendekatan Edukatif buat WNA Pelanggar di Bali

Denpasar, IDN Times - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali akan membentuk tim gabungan untuk menghadapi maraknya pelanggaran yang dilakukan warga negara asing (WNA) di Bali. Gubernur Bali, Wayan Koster, menyatakan tim gabungan ini akan melibatkan Kantor Imigrasi, satuan polisi pamong praja (Satpol PP), dan pecalang pada Selasa lalu, 6 Mei 2025.
Rencananya, tim gabungan tersebut akan terjun langsung ke lapangan untuk mengawasi aktivitas WNA, khususnya yang dinilai menyimpang dari aturan hukum maupun norma budaya Bali.
“Harus dibuat terintegrasi bersama, tidak bisa kita bergerak parsial. Ini menyangkut citra Bali dan kewibawaan negara,” ujar Koster di Jayasabha, Kota Denpasar.
Menurut pengamat pariwisata di Bali, ada pendekatan lain yang dapat dilakukan selain penindakan tegas. Seperti apa pendekatan itu? Berikut informasi selengkapnya.
1. Pengamat melihat adanya krisis etika dalam pariwisata

Pakar Pariwisata Bidang Pemasaran Pariwisata dan Perilaku Wisatawan dari Universitas Udayana (Unud), Dr I Nyoman Sudiarta SE MPar, mengatakan kasus wisatawan asing bermasalah di Bali menunjukkan adanya krisis etika dalam dunia pariwisata. Menurut Sudiarta, krisis etika ini tidak hanya sebatas moral individu.
“Ini bukan semata masalah moral individu, tetapi tanda lemahnya sistem edukasi etika wisata yang terintegrasi dalam destinasi pariwisata,” kata Sudiarta kepada IDN Times, Selasa (13/5/2025) lalu.
2. Solusi menangani WNA bermasalah bukan sekadar larangan

Sudiarta menjelaskan, ketika wisatawan asing menari tanpa busana di pura atau membuang sampah di pantai yang dikeramatkan, bukan sekadar aturan saja yang dilanggar. Tetapi juga ada nilai, martabat, dan rasa hormat.
“Kasus ini bukan hanya terjadi di Bali. Tapi di banyak tempat di dunia, termasuk di Bhutan, Jepang, dan Nepal,” jelasnya.
Kebebasan tanpa tanggung jawab, menurut Sudiarta adalah efek dari pariwisata modern. Sehingga perlu menyadarkan wisatawan yang menjadi tamu untuk mengajarkan nilai dan etika.
“Solusinya bukan sekadar larangan. Namun kita butuh pendekatan edukatif yang menyentuh hati seperti cerita, simbol, pengalaman yang menyatu dengan destinasi pariwisata,” ungkap Sudiarta.
Melalui pendekatan tersebut, Sudiarta menilai pengalaman wisata atau tourism experiences yang terbentuk tidak hanya dirasakan wisatawan, tapi juga tuan rumah atau host.
3. Belajar dan adaptasi dari negara lain

Sudiarta meneliti, wisatawan asing yang melanggar tidak selalu dilakukan dengan niat buruk. Beberapa dari mereka mengaku tidak tahu aturan setempat, atau tidak melihat informasi larangan yang jelas.
“Ketidaktahuan ini berakar dari minimnya edukasi sebelum, dan saat berada di lokasi,” kata Sudiarta.
Lelaki yang lahir di Kabupaten Tabanan ini juga mencontohkan negara yang mempraktikkan integrasi etika wisata, dan strategi komunikasi wisata. Seperti Jepang dan Selandia Baru, serta sederet negara lain di Asia, misalnya Singapura.
Contoh baik yang dapat dipelajari mulai dari signage visual atau tanda visual yang ramah, hingga kampanye digital seperti Tiaki Promise di Selandia Baru.
“Pendekatan seperti ini perlu diadopsi dan disesuaikan secara lokal,” ujarnya.