- Mengecam tindakan para pejabat publik di Bali yang mengeluarkan pernyataan rasis yang memecah belah, serta mendesak pejabat dan tokoh publik untuk menghentikan praktik diskriminasi dan stigmatisasi terhadap demonstran
- Mendesak Kompolnas dan Propam POLRI melakukan pemeriksaan terhadap Karo Ops Polda Bali dan jajaran personel kepolisian dalam penanganan aksi demonstrasi, serta menjatuhkan/merekomendasikan sanksi atas tindakan diskriminatif personel yang diperiksa dan pemecatan terhadap Karo Ops Polda Bali atas pernyataannya
- Meminta Ombudsman RI dan Kantor Perwakilannya melakukan pemeriksaan maladministrasi kepada Gubernur Bali dan Karo Ops Polda Bali atas pernyataan keduanya
- Pemerintah dan DPR bertanggung jawab terhadap situasi dengan mendengar tuntutan rakyat, jamin hak kebebasan menyampaikan pendapat dari setiap warga negara, dan menghentikan segala bentuk sikap anti kritik dan kebijakan yang menyengsarakan rakyat
- Rakyat Bali dan rakyat di seluruh Indonesia harus memperkuat solidaritas untuk melawan rasisme dan segala bentuk politik pecah belah.
Kecaman Sentimen Rasial dalam Massa Aksi di Bali, Warga Berhak Kritis

Denpasar, IDN Times - Forum Warga Setara (ForWaras) mengecam pernyataan pejabat publik yang disampaikan Gubernur Bali, Wayan Koster; dan Karo Ops Polda Bali, Kombes Pol Soelistijono. Mereka menyatakan peserta aksi yang ditangkap, sebagian besar Kartu Tanda Penduduk (KTP)-nya bukan orang Bali. Pernyataan itu muncul pada Minggu, 31 Agustus 2025, sehari setelah demonstrasi di Bali Sabtu lalu, 30 Agustus 2025.
ForWaras menyayangkan pernyataan pejabat publik yang menyinggung rasial itu, karena berisiko membelah solidaritas warga. Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, Rezky Pratiwi, mengatakan sentimen rasial saat warga mengkritisi kebijakan pemerintah tidak hanya terjadi di Bali.
“Jadi yang terjadi di Bali itu tidak hanya di Bali ya. Jadi ada beberapa wilayah yang kami pantau itu juga menggunakan sentimen rasial,” kata Tiwi di Kantor LBH Bali, pada Selasa (2/9/2025).
1. Waspada sentimen rasial yang membelah solidaritas warga

Tiwi melanjutkan, sentimen rasial digunakan untuk mengalihkan fokus orang-orang terhadap masalah utama dan tuntutan rakyat. Sentimen itu juga mendelegitimasi aksi-aksi demonstrasi yang murni tuntutan dari rakyat.
“Itu (sentimen rasial) harus segera dihentikan, karena kalau ini terus dilanjutkan dan direproduksi, itu akan semakin memecah belah masyarakat dan menjadikan konflik,” ujarnya.
Sementara, Pendiri Taman Baca Kesiman (TBK), Agung Alit, menyebutkan sikap kritis melawan ketidakadilan dapat dilakukan oleh siapa saja, di mana dan kapan pun. Ia menegaskan jangan sampai keterangan pejabat publik berdampak pada warga Bali menjadi anti terhadap orang luar. Ia memohon warfa Bali tidak mudah percaya terhadap keterangan pejabat publik dan siapa pun yang menyinggung sentimen rasial.
“Saya mohon untuk pejabat publik untuk tidak lagi menyampaikan kata-kata seperti itu, mendikotomikan orang Bali, orang luar Bali gitu lho. Saya kurang sepakat itu, dan itu harus tidak dilakukan lagi,” ujar Alit di Kantor LBH Bali.
2. Warga berhak kritis sebagai satu kesatuan menuntut keadilan

Tim Hukum Koalisi Advokasi Bali untuk Demokrasi, Ni Putu Candra Dewi, menyampaikan warga Bali harus ingat pada akarnya melalui sejarah. Yaitu Perang Puputan, perjuangan leluhur melawan kesewenang-wenangan penjajah dan sistem yang hancur. Ia menegaskan, kemarahan warga bukan karena perbedaan, melainkan karena semakin banyak warga yang terpinggirkan dan tidak punya banyak pilihan untuk hidup.
“Relevansi hari ini adalah persoalan yang menyebabkan banyak daerah semakin terpinggirkan, kesejahteraan masyarakat semakin dipertanyakan. Banyak masyarakat yang tidak punya pilihan lagi,” tegas Candra.
Candra mencontohkan, kesempatan warga, khususnya anak muda yang terhimpit ekonomi itu terjadi pada Almarhum Affan Kurniawan. Affan adalah pengemudi ojek online (ojol) yang meninggal karena dilindas kendaraan taktis (rantis) milik Polri. Usia 21 tahun, Affan bekerja sebagai ojol yang termasuk dalam gig worker (pekerja lepas) karena tidak punya kesempatan memilih pekerjaan yang stabil.
Fenomena pekerja lepas juga terjadi di Bali. Mereka menjadi sopir pariwisata dan ojol sebagai dampak dari persoalan sebelumnya, yaitu minimnya ketersediaan pekerjaan formal dan kestabilan. Menurutnya, pariwisata tidak relevan menjadi alasan warga harus diam. Sebab, transparansi dan realisasi uang yang mengucur dari pariwisata untuk menciptakan keadilan di Bali, belum terwujud.
“Ada banyak pemutusan hubungan kerja dan itu imbas dari kita di Bali yang sudah terlalu lama berdiam diri untuk dan atas dasar stabilitas yaitu pariwisata,” ujar Candra.
3. Bali tidak diam, berhak kritis atas ketimpangan dan ketidakadilan

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Bali Women Crisis Center (LBH BWCC), Ni Nengah Budawati, turut menyampaikan realitas yang dialami perempuan dan anak-anak di Bali. Perempuan dan anak-anak yang Ia dampingi terjerat dalam kemiskinan dan krisis air.
“Boleh cek daerah Kintamani. Itu krisis air. Kalau pariwisata Bali dipakai untuk hal-hal itu (menangani krisis air), kami rasa tidak ada yang kekurangan di Bali,” tutur Budawati.
Kolektivitas dan solidaritas warga dalam melawan ketidakadilan dan melawan sentimen rasial ini, kemudian tertuang dalam 5 poin pernyataan sikap berikut.