Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Dua Desa Adat Menolak Proyek Kapal Pesiar di Danau Batur

pemandangan Danau Batur dari atas (dok.pribadi/Natalia Indah)
pemandangan Danau Batur dari atas (dok.pribadi/Natalia Indah)

Gianyar, IDN Times - Proyek kapal pesiar di Danau Batur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli membuat warga desa adat di sekitar danau resah. Satu di antaranya Jro Penyarikan Duuran (setara sekretaris utama) Batur, I Ketut Eriadi Ariana. Ia menyampaikan keresahannya atas proyek itu di sela agenda diskusi Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) Minggu, 2 November 2025.

“Tidak ada sosialisasi. Kami pun hanya tahu dari media sosial, dari media sosial yang di-blow up dari pemberitaan media massa gitu,” kata Eriadi.

Ia menyebutkan, hingga saat ini ada dua dari enam desa adat di sekitar Danau Batur yang menolak proyek kapal pesiar. Dua desa adat yang menolak proyek itu adalah Desa Adat Batur dan Desa Adat Abang Batudinding. Meskipun menuai penolakan, Eriadi kecewa sebab proyek itu masih terus berjalan.

1. Pemerintah daerah harus mendengar suara desa adat, meski baru separuhnya

ilustrasi pemandangan gunung dan danau Batur (unsplash.com/Robin Canfield)
ilustrasi pemandangan gunung dan danau Batur (unsplash.com/Robin Canfield)

Eriadi menegaskan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali maupun Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bangli harus mendengarkan suara desa adat. Baginya, jika Peraturan Daerah Desa Adat Bali memang berlaku adil, maka suara dua dari enam desa adat semestinya sudah cukup untuk menghentikan proyek kapal pesiar itu.

“Dua desa adat sudah cukup (menyetop proyek). Dua dari enam desa adat yang ada di Kaldera Batur sudah menyatakan sikap lho,” tegasnya.

Dari dua desa adat itu, kata dia akan ada satu desa adat lagi yang menyuarakan penolakan. Namun, hingga suara-suara penolakan itu terus menguat, proyek kapal pesiar itu tetap berlanjut.

2. Tidak ada sosialisasi proyek kapal pesiar ke warga desa adat

Ilustrasi kapal pesiar berwarna putih (pixabay.com/Nikon-2110)
Ilustrasi kapal pesiar berwarna putih (pixabay.com/Nikon-2110)

Lelaki yang juga seorang akademisi Sastra Jawa Kuno di Universitas Udayana (Unud) ini mengungkapkan kekecewaannya atas proyek yang tidak transparan. Tidak ada sosialisasi kepada warga sekitar, terutama kepada desa adat yang menolak proyek itu. Belakangan, Eriadi mendengar kabar bahwa ada Badan Pengelolaan Geopark melakukan sosialisasi kepada desa adat yang belum bersikap. Menurutnya, sosialisasi itu sangat terlambat dan tidak menyampaikan tentang mitigasi kebencanaan atas adanya proyek kapal pesiar.

Eriadi berpendapat, sosialisasi dan jajak pendapat atas proyek itu seharusnya dilakukan jauh sebelum rencana. Jika pemerintah sungguh berkomitmen membangun demi pemberdayaan masyarakat, maka paparan informasi paling utama kepada masyarakat yang tinggal di sekitar proyek.

“Bukan orang-orang yang tiba-tiba datang entah dari mana menjual, menjajakan konsep tentang keindahan yang hanya membaca Kintamani dari buku. Ya sudah kalau membaca Kintamani dari buku, membaca Kintamani dari uang, ya seperti sekarang,” kata dia.

Berbagai proyek menghancurkan alam sekitar Batur. Eriadi bertutur dengan serius, “Sempadan danau diterabas, sempadan jurang dihancurkan, sampai danau yang disucikan yang menjadi pusat daripada air Bali ya juga dijual gitu. Ini yang terjadi.”

3. Eriadi menyoroti pemerintah hanya menjadikan teks leluhur sebagai gaung yang tidak nyata melindungi alam

halte 1.jpg
Potret bangunan Halte Siulan terhempas akibat banjir bandang pada Rabu (10/9/2025). (IDN Times/Yuko Utami)

Berdasarkan teks leluhur Kutarkanda Dewa Purana Bangsul, Danau Batur adalah ibu dari danau-danau yang berada di Bali. Kata Eriadi, teks itu juga menyebutkan tentang konsep Sad Kerthi, yang kini kerap digaungkan Pemprov Bali. Namun, baginya selama ini pemerintah hanya romantisme konsep lontar dan menyusun regulasi yang tidak realistis.

Pihaknya menantikan suara-suara intelektual Bali untuk menolak proyek kapal pesiar ini, termasuk menolak proyek lainnya yang merusak alam dan kehidupan masyarakat adat. Ia juga berharap agar tidak ada lagi penggunaan kawasan konservasi dan dilindungi untuk investasi.

“Kalau itu memang kawasan konservasi diamkan jangan diganggu. Jangan kemudian dilelang untuk komersil, untuk kapitalis di meja-meja yang kita tidak tahu di mana kesepakatannya, tiba-tiba ada investasi dan sebagainya,” katanya.

Share
Topics
Editorial Team
Irma Yudistirani
EditorIrma Yudistirani
Follow Us

Latest News Bali

See More

Dua Desa Adat Menolak Proyek Kapal Pesiar di Danau Batur

04 Nov 2025, 15:49 WIBNews