Jeritan Petani Arak Tradisional di Bali: Arak Fermentasi Membunuh Kami

Bagaimana niki semeton?

Karangasem, IDN Times - Kebijakan tidak selalu berpihak kepada rakyat kecil. Begitulah kira-kira ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kondisi petani arak tradisional di Kabupaten Karangasem saat ini. Sebagaimana yang diceritakan oleh salah satu petani arak tradisional yang bernama I Nyoman Redana (49), asal Desa Tri Eka Buana, Kecamatan Sidemen.

Ia merasakan sendiri dampak dari kebijakan Pemerintah Provinsi Bali terkait dengan Peraturan Gubernur Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali pada 29 Januari 2020. Menurut Redana, kebijakan pemerintah yang ada saat ini justru mengancam keberadaan petani arak tradisional.

Mengapa petani arak tradisional yang senantiasa menjaga warisan budaya dari nenek moyang itu bisa merasa dirugikan dengan kebijakan tersebut? Berikut suara hati petani arak tradisional asal Karangasem.

1. Setelah keluar Pergub, petani arak tradisional malah tersisihkan

Jeritan Petani Arak Tradisional di Bali: Arak Fermentasi Membunuh KamiSentra pembuatan arak di Bali. (IDNTimes/Wayan Antara)

Redana mengungkapkan, sejak zaman nenek moyangnya, produksi arak berbahan nira dari pohon kelapa telah dilakukan. Hal serupa kini diteruskan oleh petani arak tradisional. Namun usaha ini redup sejak pemerintah mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali.

Diakuinya, pada awal-awal pandemik arak tradisional memang sempat laris manis. Banyak warga dari luar Kabupaten Karangasem datang ke desanya untuk membeli arak tradisional ini. Namun lambat laun penjualannya semakin macet.

“Lambat laun setelah keluar aturan dari Pergub yaitu tata kelola tentang arak tradisional dan arak fermentasi. Nah sekarang, di masa pandemik, kalau awal-awal pandemik itu arak tradisional itu larisnya bukan main,” ungkapnya pada Rabu (3/3/2021).

Ia menuturkan, petani arak tradisional kondisinya kini semakin terpuruk. Mereka bingung untuk membiayai kehidupan sehari-hari, termasuk pula untuk keperluan upacara keagamaan. Karena penghasilan sebagai petani arak tradisional ini tidak menjanjikan, banyak warga desa yang beralih bekerja memproduksi gula Bali.

2. Banyak bermunculan arak fermentasi yang merusak keberadaan arak nira

Jeritan Petani Arak Tradisional di Bali: Arak Fermentasi Membunuh Kami(Ilustrasi Arak Bali) IDN Times/Imam Rosidin

Menurut Redana, dua bulan belakangan ini banyak bermunculan usaha arak fermentasi dengan bahan dasar air, gula pasir, dan fermipan. Kemudian difermentasi selama delapan hari, lalu disuling menjadi arak.

Keberadaan arak berbahan gula pasir ini merusak harga arak yang berbahan tuak (nira kelapa). Menurutnya, harga arak berbahan tuak dengan kandungan alkohol 20 persen, dulunya bisa dijual dengan harga Rp15 ribu per botol air mineral tanggung. Tetapi saat ini pengepul yang membawa arak ke Denpasar sudah tidak mau membelinya lagi.

“Nah, inilah yang sekarang artinya membuat arak tradisional yang bahan dasarnya tuak itu terpuruk. Karena persaingan harga,” jelasnya.

Sementara itu, arak berbahan dasar gula pasir harganya sangat murah. Satu botol air mineral tanggung dengan kadar alkohol 30 persen bisa dijual di Kota Denpasar seharga Rp12 ribu.

“Semenjak ada usaha arak seperti nike (arak fermentasi), usaha perajin arak (tradisional) sudah semakin terpuruk. Artinya kalau dulunya kadar alkohol 20 persen bisa dijual dengan volume 20 liter, dapat uang sampai Rp300 ribu. Nah sekarang banyak sekali pengepul-pengepul arak yang tidak mau membelinya lagi. Mereka malah ada yang mendatangkan arak dari wilayah Kabupaten Karangasem sebelah Timur," tuturnya.

3. Proses penyulingan arak berbahan baku nira dilakukan tiga hari sekali

Jeritan Petani Arak Tradisional di Bali: Arak Fermentasi Membunuh KamiIlustrasi arak Bali. (IDNTimes/Wayan Antara)

Redana juga menjelaskan proses pembuatan arak berbahan dari nira. Apabila petani menyadap nira dari 15 pohon kelapa selama sehari, maka akan mendapatkan tuak sebanyak 30 sampai 35 liter. Kemudian didiamkan di dalam gentong dengan volume hingga 90 liter, untuk selanjutnya difermentasi menggunakan serabut kelapa yang ditumbuk. Keesokan harinya, tuak tersebut bisa disuling untuk medapatkan arak sebanyak 20 liter dengan kadar alkohol 30-35 persen. Proses penyulingan ini setidaknya bisa dilakukan tiga hari sekali.

“Semakin banyak mendapatkan arak, itu kandungan alkoholnya semakin rendah. Tapi kalau semakin sedikit akan semakin tinggi gitu,” jelasnya.

Sebelum muncul arak fermentasi gula, pendapatan petani arak nira dari 20 liter arak kadar 30-35 persen bisa sebesar Rp350 ribu. Dalam kondisi saat ini, ia sendiri masih melakukan produksi, meskipun harganya lebih murah. Dari yang semula 20 liter Rp350 ribu, ia hanya mendapatkan Rp200 ribu.

4. Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tidak ada pengaruh bagi petani arak di Bali

Jeritan Petani Arak Tradisional di Bali: Arak Fermentasi Membunuh KamiIlustrasi arak Bali. (IDNTimes/Wayan Antara)

Peredaran arak berbahan tuak ini, ia jelaskan, sudah sejak dulu memang tidak bisa beredar secara bebas. Namun penjualannya dapat menyasar seluruh kabupaten di Bali, bahkan hingga ke luar pulau.

Menanggapi adanya Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang melegalkan miras yang akhirnya dibatalkan, Redana mengatakan kondisi petani arak tradisional tidak akan berubah karena memang sedang terpuruk. Keterpurukan ini tidak lain karena adanya persaingan dengan arak fermentasi berbahan gula.

“Adem ayem aja. Sebab meskipun tidak ada seperti itu (Perpres Nomor 10 Tahun 2021) kami di sini itu bisa jalan. Tetapi begitu ada Perpres, nah masyarakat di sini agak sedikit legalah. Karena produksi atau mata pencahariaan beliau bisa dilegalitas atau bisa diterima atau bisa dipasarkan secara bebas. Peredarannya kan ditata gitu,” ungkapnya.

Ia meminta pemerintah berani mengkaji kembali kebijakan legalitas arak fermentasi berbahan dasar gula pasir. Menurutnya kebijakan tersebut secara tidak langsung membunuh petani arak tradisional berbahan baku tuak.

“Arak tradisional itu notabene merupakan ciri khas kami yaitu Karangasem (Tri Eka Buana). Itu sudah tersohor ke mana-mana. Karena rasa, di samping itu khasiatnya juga. Harapan kami, semoga arak fermentasi itu bisa ditertibkan atau dilarang izin produksinya. Izin operasinya dan izin diedarkannya. Itu biar dilarang Pemerintah Provinsi, Kabupaten,” tegasnya.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya