- Kepala sekolah: Rp1,250 juta
- Jabatan fungsional (jafung) muda: Rp1,100 juta
- Guru ahli madya: Rp1 juta
- Guru ahli muda: Rp500 ribu
- Guru ahli pertama: Rp300 ribu
- Guru ahli utama: Rp1,250 juta
- Staf golongan I: Rp100 ribu
- Staf golongan II: Rp200 ribu
- Staf golongan III: Rp300 ribu
- PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) : Rp150 ribu.
ASN di Bali Diminta Berdonasi Banjir Berpotensi Melanggar UU Tipikor
Denpasar, IDN Times - Beberapa hari lalu, tersebar informasi di beberapa grup WhatsApp lokal di Bali. Yaitu sebuah tangkapan layar pesan yang isinya menyatakan kewajiban donasi bantuan untuk korban banjir. Tangkapan layar pesan itu juga menginformasikan, bahwa kewajiban sumbangan adalah perintah dari kepala dinas (Kadis) pendidikan melalui grup Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS).
Tak hanya itu, tersebar juga tangkapan layar dokumen besaran donasi berdasarkan jabatannya.
Setelah viral,Gubernur Bali, Wayan Koster, menyatakan bahwa sumbangan itu bersifat sukarela.
“Itu dana gotong royong sukarela, boleh ikut atau tidak,” kata Koster Kamis lalu, 18 September 2025.
Saat ditanya soal pungutan sumbangan dengan tarif minimal, Koster berkata itu hal wajar.
"Iya wajar dong, ada yang hasilnya banyak, kayak kepala dinas, kayak saya,” ujarnya.
Lalu, bagaimana mekanisme donasi yang sah dan ideal di lingkungan pemerintahan? Baca informasi selengkapnya di bawah ini.
1. Sumbangan wajib bermasalah, harus dihentikan karena besarannya telah ditentukan

Besaran sumbangan tertuang dalam dokumen PDF dengan nama Rapat MKKS.pdf. Pascaviral dan mendapat protes dari publik, dokumen tersebut tak dapat diakses lagi. Sementara itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, Rezky Pratiwi, mengamati bahwa sumbangan yang ditarik dari pegawai oleh pejabat pemerintah Bali dinilai bermasalah.
Selain bermasalah, Pratiwi mengatakan inisiatif donasi itu justru menyalahi sejumlah ketentuan.
“Sumbangan banjir yang ditarik dari pegawai oleh pejabat pemerintah bermasalah dan menyalahi sejumlah ketentuan, sehingga harus dihentikan. Niat baik bagi penyelenggara negara tidak cukup,” kata Pratiwi kepada IDN Times, pada Sabtu (20/9/2025).
Ia melanjutkan, pungutan donasi bertarif itu justru menunjukkan inkompetensi pemerintah dalam merespons bencana dan mengalokasikan anggaran, sehingga menganggap harus menarik sumbangan dari pegawai.
2. Donasi itu tidak dapat disebut sukarela karena besarannya telah ditentukan

Pratiwi mengatakan, pungutan donasi tersebut tidak dapat disebut sukarela karena besarannya telah ditentukan dan dikumpulkan oleh penyelenggara negara.
“Harus dapat dijelaskan dasar pungutan, pihak yang mengelola dan mekanismenya,” ungkapnya.
Ia menambahkan, pelaksanaan sumbangan maupun donasi ke kas daerah hanya dapat dilakukan dalam mekanisme keuangan daerah. Namun, itu saja tak cukup.
Selain kejelasan mekanisme, pelaksanaan sumbangan harus dapat dipertanggungjawabkan mulai dari penerimaan, hingga penyaluran. Pratiwi menegaskan, dinas pendidikan tidak memiliki kewenangan pada ranah tersebut.
3. Berpotensi melanggar ketentuan pidana UU Tipikor, lembaga legislatif harus bekerja

Selain mekanisme yang bermasalah, Pratiwi menyoroti potensi regulasi yang dilanggar dari pungutan donasi tersebut.
“Pungutan tersebut patut dianggap sebagai perbuatan melampaui wewenang dan merugikan pegawai serta masyarakat,” jawabnya.
Ia melanjutkan, pengadaan sumbangan bertarif ini patut diduga mal-administratif, memicu konflik kepentingan dan berpotensi melanggar ketentuan pidana Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Pratiwi menyampaikan, pegawai negeri atau penyelenggara negara tidak boleh menerima pemberian yang berhubungan dengan jabatannya. Termasuk jika pemberian itu dari pegawai negeri atau penyelenggara negara lain, yang diklaim sebagai sumbangan. Pratiwi menegaskan agar lembaga legislatif, ombudsman, dan aparat penegak hukum melakukan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran hukum.
“DPRD harus meminta penjelasan Gubernur dan jajarannya terkait ini. Ombudsman dan aparat penegak hukum juga patut melakukan pemeriksaan dugaan pelanggaran hukum,” kata dia.