5 Tradisi Sebelum Nyepi di Bali Selain Ogoh-Ogoh

Hari Pengerupukan yang jatuh pada Tilem Kesanga atau sehari sebelum Hari Raya Nyepi identik dengan pawai ogoh-ogoh. Hampir setiap daerah di Bali melaksanakan pawai ogoh-ogoh.
Ternyata tidak di beberapa daerah Bali punya memiliki tradisi lain selain pawai ogoh-ogoh pada Hari Pengerupukan. Apa saja tradisi tersebut? Berikut ini deretan tradisi sebelum Nyepi di Bali selain ogoh-ogoh.
1. Tradisi Ngoncang

Tradisi Ngoncang dapat ditemui di Kabupaten Buleleng tepatnya Banjar Paketan, Kelurahan Paket Agung, Kecamatan Buleleng. Tradisinya berupa menumbuk padi di dalam lesung (tempat menumbuk padi) menggunakan elu (batang kayu berbentuk bulat panjang).
Tradisi Ngoncang dilakukan secara berkelompok yang terdiri dari enam hingga delapan orang perempuan. Selama mereka menumbuk padi akan menimbulkan suara atau irama yang terdengar indah.
Tradisi ini biasanya dilaksanakan setelah upacara pencaruan Tawur Kesanga. Bagi kepercayaan warga setempat, Tradisi Ngoncang bisa menciptakan aura positif dan menetralisir aura negatif di lingkungan desanya.
2. Tradisi Lukat Gni

Tradisi Lukat Gni diadakan di Puri Satria Kawan, Desa Paksebali, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung. Lukat Gni yang berasal dari kata lukat (membersihkan diri) dan gni (api) ini memiliki makna pembersihan Bhuana Agung (makrokosmos) dan Bhuana Alit (mikrokosmos).
Tradisi yang diadakan di catus pata (perempatan) desa ini berguna untuk menjaga keseimbangan manusia dan alam sehingga tercipta keharmonisan selama Hari Nyepi. Ketika prosesi ini dilaksanakan, warga yang mengikuti tradisi ini saling melempar daun kelapa kering (danyuh) yang dibakar.
3. Tradisi Terteran Jasri

Tradisi Terteran Jasri merupakan perang api yang ada di Kabupaten Karangasem, tepatnya Desa Jasri, Kecamatan Karangasem. Tradisi ini dilaksanakan terkait dengan upacara di desa tersebut yang bernama Aci Muu-Muu. Terteran memiliki arti saling melempar.
Tradisi ini bertujuan untuk menetralisir kekuatan negatif yang bisa mengganggu warga desa. Pelaksanaannya dimulai pada senja hari. Warga akan menggunakan obor yang terbuat dari slepan atau daun kelapa yang sudah tua.
Obor inilah yang nantinya digunakan dalam prosesi saling melempar api antar sesama warga. Terkadang sampai menimbulkan luka bakar, namun mereka tidak ada yang saling bermusuhan. Sebab mereka melakukannya penuh suka cita.
4. Tradisi Siat Sambuk

Tradisi Siat Sambuk atau perang serabut kelapa ini ada di Banjar Pohgending, Desa Pitra, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Tradisi ini dilaksanakan senja hari sebelum matahari tenggelam.
Warga dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok utara disebut Wong Kaja, dan kelompok selatan disebut Wong Kelod. Masing-masing kelompok terdiri dari pasukan yang bertugas untuk menyerang, dan pasukan yang bertugas sebagai penyedia logistik. Logistiknya berupa serabut kelapa yang telah dibakar atau berisi bara api.
Kedua kelompok akan saling melempar serabut kelapa, yang disertai oleh iringan gamelan baleganjur sebagai penambah semangat. Ada hal unik selama tradisi ini berlangsung, yaitu tidak ada warga yang terbakar atau terluka.
Tradisi yang dipercaya sebagai penolak bala dan menetralisir hal-hal negatif di lingkungan desa ini, akan ditutup dengan berkumpul di pertigaan desa untuk memohon tirta atau air suci. Kedua kelompok tersebut saling bersalaman, dan merangkul sebagai simbol keharmonisan di Banjar Pohgending.
5. Tradisi Magebeg-gebeg

Tradisi Magebeg-gebeg berasal dari Desa Pakraman, Dharma Jati, Desa Tukad Mungga, Kabupaten Buleleng. Tradisi ini dilaksanakan di catus pata agung atau perempatan desa setempat.
Tradisi ini merupakan bagian dari upacara Bhuta Yadnya dalam Pecaruan Tawur Kesanga. Tujuannya untuk menjaga keharmonisan Bhuana Agung dan Bhuana Alit, yang diikuti oleh para remaja (sekaa teruna) setempat. Mereka akan saling memperebutkan kepala anak sapi (godel) yang menjadi sarana upacara dalam Pecaruan Tawur Kesanga tersebut.
Bali terkenal memiliki banyak warisan tradisi unik yang adi luhung dari leluhurnya. Walaupun warga Bali kini hidup dalam era kemajuan teknologi, mereka masih teguh melestarikan tradisi yang ada di tempatnya masing-masing.