Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Kebut-Kebutan Penutupan TPA Suwung, Tergagap-gagap Kelola Sampah

ilustrasi sampah
Foto hanya ilustrasi sampah. (IDN Times/Irma Yudistirani)

Denpasar, IDN Times - Tenggat waktu tutupnya Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Suwung tinggal sebentar lagi, yaitu Desember 2025. Ancaman hukuman pidana dari Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia (KLH RI) membuat Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali ngebut menutup TPA yang berlokasi di Kelurahan Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar.

Kebut-kebutan penutupan TPA Suwung ini berawal dari regulasi sejak 2008 silam, yaitu Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Aturan ini telah memandatkan pemerintah daerah (pemda) se-Indonesia menutup TPA dengan sistem pembuangan terbuka atau open dumping. Jika mengacu pada aturan ini, semestinya pemda menutup TPA lima tahun setelah berlakunya UU Nomor 18 Tahun 2008. Artinya, Pemprov Bali harus menutup TPA Suwung sejak 2013 lalu. Namun, apa yang terjadi hingga penutupan ini tertunda? Berikut cerita selengkapnya.

Menggalakkan pilah sampah, tapi masalah lain mengantre

Natalia, seorang warga di Kota Denpasar, telah mendengar kabar penutupan TPA Suwung dari pemberitaan media massa dan media sosial (medsos). Ia merasa informasi pilah sampah di daerahnya tidak tersebar merata.

“Pengumumannya mendadak dan informasinya tidak tersebar rata. Saya tinggal di Denpasar udah lama, tapi dapat informasinya malah dari media online (daring),” ungkap Natalia.

Pihak banjar atau desanya juga tidak memberitahukan informasi secara lengkap mekanisme pemilahan sampah. Natalia sudah lama memilah sampah organik dan anorganik sebelum ada kabar penutupan TPA Suwung. Ia punya wadah khusus untuk mengolah sampah organik menjadi pupuk dan eco enzyme. Namun, Natalia menghadapi persoalan lain. Ia tidak memiliki kebun di area rumah, membuat Natalia kebingungan membawa hasil pupuk organiknya.

“Saya sudah mengolah sampah organik jadi pupuk. Tapi karena gak punya kebun, lalu mau di bawa kemana pupuk yang menumpuk itu? Tidak ada informasi yang jelas tentang itu,” keluhnya.

Belum selesai kebingungan membawa hasil pupuk dari sampah organik, Natalia kerap bersabar saat sampahnya diangkut tak sesuai jadwal. Sampahnya baru diangkut, namun terlambat dua hari. Dari yang seharusnya Minggu,, tapi baru diangkut Selasa kemarin.

Natalia mengaku tak mempermasalahkan berbagai macam aturan baru tentang sampah. Namun, Ia meminta agar pemerintah semakin aktif bergerak secara langsung di masyarakat. Termasuk memberikan solusi atas masalah yang berkaitan tentang sampah.

“Dibantu juga untuk mengatasi masalah lainnya yang berkaitan. Kayak masalah sampah, yang berhubungan kan banyak ya dan gak semua orang bisa langsung beradaptasi,” ungkap Natalia.

Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) merekam jejak timbulan sampah se-Indonesia, termasuk Bali. Ada tren peningkatan timbulan sampah sejak era pandemik COVID-19 pada 2020 lalu. Setahun sebelum COVID-19, yaitu 2019, timbulan sampah di Bali tercatat sebesar 797 ribu ton lebih.

Sedangkan tahun 2020, ada peningkatan menjadi 904 ribu ton lebih. Tahun-tahun berikutnya, peningkatan timbulan sampah di Bali cukup signifikan. Secara berturut-turut, tahun 2021 sebesar 915 ribu ton lebih, tahun 2022 sebesar 1 juta ton lebih, tahun 2023 sebesar 1,2 juta ton lebih, dan teranyar tahun 2024 turun tipis menjadi 1,1 juta ton lebih.

Meskipun ada peningkatan signifikan setelah COVID-19, ada celah dalam pengarsipan data sampah SIPSN. Itu terlihat dari jumlah kabupaten/kota se-Bali, yang tidak seluruhnya terdata dalam timbulan sampah SIPSN. Tahun 2019, ada dua kabupaten di Bali tak terlihat dalam timbulan sampah SIPSN. Yaitu Tabanan dan Klungkung. Berikutnya, Klungkung kembali tak terlihat pada catatan data timbulan sampah SIPSN tahun 2020.

Tahun 2021, timbulan sampah di Karangasem dan Klungkung tak tercatat data SIPSN. Sementara, tahun 2022 hanya Tabanan yang tak tercatat. Selanjutnya tahun 2023, seluruh timbulan sampah se-kabupaten/kota di Bali tercatat. Setahun berselang, Tabanan mengulang kembali catatan timbulan sampah yang nihil pada tahun 2024. Jumlah sampel timbulan sampah yang tak sesuai menjadikan data timbulan sampah di Bali tak utuh dalam catatan SIPSN.

Apabila melihat data sumber sampah di Bali selama lima tahun ke belakang, sampah rumah tangga merajai dengan sumber terbanyak. Namun, pada tahun 2022 ada catatan unik. Sumber sampah dari pasar meningkat drastis menjadi 75,48 persen.

Sedangkan sampah rumah tangga menurun jadi 24,41 persen. Sementara, data komposisi sampah di Bali selama lima tahun berturut-turut terbanyak dari jenis sampah ranting atau kayu. Kedua ada sampah sisa makanan, ketiga ada sampah plastik.

Cerita pilah sampah datang dari kedai kopi di Kota Denpasar. Mong dan karyawan lain di kafe kawasan Jalan Serma Made, diminta oleh owner-nya untuk memisahkan sampah organik. Permintaan ini menyusul setelah sampah dari kafenya pernah menumpuk di samping tong sampah. Sampah-sampah tersebut tidak terangkut beberapa waktu lalu. Sehingga sang owner meminta semua karyawannya memilah.

"Gak diambil. Organiknya dipisah di kantong yang berbeda (dengan anorganik). Lalu dibuang ke depan," katanya saat diwawancara Rabu kemarin, 5 Agustus 2025.

Dari teba modern hingga PWA sebesar Rp11 miliar untuk mengatasi sampah

Pemprov Bali memiliki berbagai rencana mengatur sampah sebelum ketok palu pidana atas pelanggaran pembuangan terbuka di TPA Suwung. Gubernur Bali, Wayan Koster, menyatakan solusi atas masalah sampah itu dengan menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 47 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber. 

“Pengelolaan sampah berbasis sumber sesuai Pergub 47 2019. Itu aja yang dirasa,” kata Koster di Gedung Wiswa Sabha, Kantor Gubernur Bali Rabu lalu, 6 Agustus 2025.

Masalah lain seperti desa-desa yang tak memiliki Tempat Pengelolaan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R), Koster menyarankan agar bergabung dengan desa yang memiliki TPS3R. Sementara itu, Koster juga mengatakan rencana lainnya untuk kelola sampah melalui alokasi dari Pungutan Wisatawan Asing (PWA). Dari target Rp400 miliar, sebesar Rp11 miliar dialokasikan untuk revitalisasi TPA Suwung.

Ia juga menyinggung soal teba modern sebagai solusi menampung sampah organik. Laki-laki asal Desa Sembiran ini memaparkan, pembangunan teba modern hanya Rp1 juta. Koster mencontohkan beberapa wilayah seperti Gianyar, Badung, dan Buleleng telah menyelesaikan sampah organik menjadi pupuk.

“Kalau desa itu bisa, kenapa yang lain gak bisa? Ini kan soal kemauan. Kalau gak ada kemauan, sampai ribuan tahun, tahun ke depan juga gak akan selesai,” kata dia.

Kabar terbaru, aparatur sipil negara (ASN) dan non-ASN di Pemprov Bali diminta pilah sampah di kantor masing-masing dan rumah tangga. Kira-kira apakah akan terwujud? Gimana cerita pilah sampah di lingkunganmu?

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Irma Yudistirani
EditorIrma Yudistirani
Follow Us