Belajar dari Viral Pernikahan Perempuan di Bali, Ini Aturan Nyentana

Pengantin perempuan akhirnya dipasangkan dengan sepupunya

Istilah perkawinan nyentana mencuat di tengah masyarakat Bali setelah viral sebuah video tentang seorang perempuan di Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, yang disebut menikah tanpa suami. Peristiwa tersebut menarik perhatian publik karena ternyata menjelang hari H pengantin perempuan tidak jadi menikah dengan pacarnya sebab calon mempelai laki-laki itu tidak mau nyentana.

Akhirnya mempelai perempuan pun dipasangkan dengan saudara sepupunya. Saat dihubungi IDN Times pada Rabu (19/1/2022), Kelian Dusun Banjar Banda, Desa Saba, Kecamatan Blahbatuh, Kadek Merta Anggara, menjelaskan kronologi atas peristiwa yang dialami oleh warganya. 

"Kedua keluarga (mempelai perempuan dan laki-laki) adalah keluarga saya. Dari awal memang ada persetujuan (untuk nyentane) dari pribadi laki-laki. Namum laki-laki itu tidak memberitahukan rencana tersebut ke orangtua dan keluarga besarnya. H-6 pihak perempuan melakukan pembicaraan ke pihak laki-laki (Nyedekang). Dari pihak keluarga laki-laki merasa terkejut akan berita tersebut sehingga pembicaraan ditunda sementara," jelas Merta Anggara. 

Selanjutnya, saat H-3, pihak keluarga laki-laki dengan keluarga besarnya bertamu ke pihak keluarga perempuan untuk bersedia bertanggung jawab dan melangsungkan pernikahan, namun tidak dengan cara nyentane. Pihak keluarga perempuan tidak bisa menerima keputusan tersebut dan tetap mempertahankan anaknya, sehingga pembicaraan kembali ditunda.

Pada saat H-2, tetap tidak ada kesepakatan dari kedua belah pihak keluarga. Akhirnya pihak keluarga perempuan melakukan paruman intern keluarga dan hasilnya adalah mempelai perempuan dipasangkan dengan kakak sepupunya. 

Belajar dari peristiwa tersebut, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan nyentana? Bagaimana prosedur dan aturannya? Berikut penjelasan dari pakar hukum adat Bali yang juga Guru Besar Bidang Hukum Adat Bali, Fakultas Hukum Universitas Udayana (UNUD), Prof Dr Wayan P Windia SH MSi. 

Baca Juga: Mengenal Sanksi Adat di Bali, Bisa Dikucilkan hingga Dikeluarkan

1. Nyentana biasanya dilakukan oleh orang yang tidak memiliki saudara laki-laki sebagai penerus keturunan dari orangtua

Belajar dari Viral Pernikahan Perempuan di Bali, Ini Aturan NyentanaFoto hanya ilustrasi. (IDN Times/Irma Yudistirani)

Wayan Windia menjelaskan bahwa masyarakat Bali pada umumnya menggunakan sistem kekeluargaan patrilineal atau sistem adat di masyarakat yang menggariskan keturunan pada pihak ayah. Sistem itu di Bali dikenal dengan istilah purusa.

Namun dalam pernikahan nyentana, maka menggunakan sistem kekeluargaan matrilineal, atau sistem adat di masyarakat yang menggariskan alur keturunan pada pihak perempuan (ibu).

Secara sederhana, perkawinan nyentana artinya pihak perempuan yang akan meminang pihak laki-laki. Biasanya perkawinan ini dilaksanakan karena dari pihak perempuan tidak memiliki saudara laki-laki yang nantinya dapat menjadi purusa atau penerus keturunan di keluarga.

"Bentuk perkawinan nyentana sesungguhnya adalah jalan alternatif yang dapat dilewati oleh pasangan suami istri yang biasanya hanya dikaruniai anak perempuan saja dan tidak dikaruniai anak laki-laki," ungkap Windia.

2. Nyentana tidaklah mengubah status laki-laki sebagai perempuan

Belajar dari Viral Pernikahan Perempuan di Bali, Ini Aturan NyentanaFoto hanya ilustrasi. (IDN Times/Irma Yudistirani)

Perkawinan nyentana di Bali walaupun menggambil sistem kekeluargaan matrilineal, namun tidak serta merta mengubah status laki-laki menjadi perempuan. Keluarga nyentana pada umumnya adalah juga keluarga yang menerapkan budaya patriarki.

Perbedaannya adalah perempuan sebagai purusa yang memiliki hak istimewa atas warisan di keluarganya. Pada perkawinan ini, laki-laki sebagai ayah tetap menjalankan tugasnya. Misalkan sebagai pencari nafkah utama, serta mendominasi dalam pengambilan keputusan, kecuali yang menentukan keberadaan dan penggunaan warisan keluarga.

Laki-laki juga mewakili keluarga dalam menunjukkan partisipasi sosial, politik, budaya, dan religiusnya, baik kepada Desa Pakraman maupun kepada Desa Dinas. Tetap laki-laki yang mewakili keluarga dalam sangkepan (Musyawarah) yang dilaksanakan di Desa Pakraman tentang hak-hak dan kewajiban. Perempuan dalam hal ini bersifat membantu melengkapi beberapa kewajiban terutama untuk unsur Parahyangan dan Pawongan.

3. Pernikahan pada gelahang bisa menjadi solusi

Belajar dari Viral Pernikahan Perempuan di Bali, Ini Aturan NyentanaFoto hanya ilustrasi. (IDN Times/Imam Rosidin)

Selain pernikahan nyentana, pernikahan pada gelahang juga bisa menjadi solusi. Windia menjelaskan, pernikahan pada gelahang secara konsep, baik suami dan istri tetap berstatus kapurusa di rumahnya masing-masing.

Kedua belah pihak harus mengemban dua tanggung jawab dan kewajiban (swadharma), yaitu meneruskan tanggung jawab keluarga istri dan juga meneruskan tanggung jawab keluarga suami, sekala maupun niskala. Baik secara terus menerus atau dalam jangka waktu tertentu, tergantung kesepakatan pasangan suami istri beserta keluarganya.

Sederhananya, perkawinan pada gelahang atau druwenang sareng adalah perkawinan yang negen (Bertanggung jawab) pada dua banjar. Artinya, pihak mempelai perempuan dan laki-laki sama-sama tidak perlu mapamit (Meninggalkan) dari rumahnya masing-masing.

"Jadi suami istri tetap berstatus kapurusa di rumahnya masing-masing sehingga harus mengemban dua tanggung jawab dan kewajiban (swadharma)," ungkapnya.

Proses upacara (pabyakaonan) dalam perkawinan pada gelahang dilaksanakan di dua tempat, yaitu di rumah kediaman istri dan di rumah kediaman suami, yang sama-sama dihadiri oleh keluarga dan masyarakat.

Secara yuridis, perkawinan pada gelahang telah sesuai dengan santra agama (Hukum Hindu) dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Perkawinan pada gelahang menerapkan sistem parental, karena menempatkan perempuan dan laki-laki setara. Ini berarti terjadi pergeseran dari sistem kekeluargaan patrilineal ke sistem parental.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya