Sampah Plastik Sachet Paling Banyak di Bali, Bukan Kemasan Gelas

- Kebijakan Pemprov Bali dalam SE Nomor 9 Tahun 2025 disayangkan oleh sejumlah pihak karena dinilai hanya melarang peredaran plastik air kemasan yang bukan sampah mayoritas di Bali.
- Data SIPSN KLHK mencatat bahwa timbulan sampah di Bali pada tahun 2024 mencapai 1,2 juta ton dengan komposisi organik sebesar 68,82% dan anorganik sebesar 28,01%, termasuk limbah plastik yang menyumbang 13,64%.
Denpasar, IDN Times - Kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali dalam Surat Edaran (SE) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah disayangkan sejumlah pihak. Salah satunya, Koordinator Nol Sampah, Wawan Some.
Dia menilai, SE hanya bersifat parsial karena hanya melarang peredaran plastik air kemasan, padahal jenis plastik yang banyak beredar dan benar-benar menjadi limbah di Bali bukan kemasan air minum.
"Sebenarnya beberapa survei yang dilakukan, (sumbangan sampah) paling banyak itu sachet yang ukurannya kecil," ungkapnya, Kamis (24/4/2025).
1. Sampah di Bali mencapai mencapai 1,2 juta ton setahun

Wawan Some memaparkan, data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat bahwa timbulan sampah di Bali pada tahun 2024 mencapai 1,2 juta ton.
Komposisinya sampah organik, seperti sisa makanan dan ranting kayu sebesar 68,82 persen, sedangkan limbah anorganik semisal plastik dan kertas sebanyak 28,01 persen. Limbah plastik menyumbang 13,64 persen dari komposisi sampah anorganik.
Sedangkan data Sungai Watch terkait sampah di Bali dan Banyuwangi, menyebutkan bahwa limbah air kemasan botol PET hanya 4,4 persen. Sampah lainnya, kemasan sachet 5,5 persen, kantong plastik 15,2 persen dan plastik bening 16,2 persen.
"Kecuali kemasan sachet, semua jenis sampah plastik ini masih memiliki nilai ekonomis karena bisa didaur ulang," terangnya.
2. Kebijakan mengancam pemulung yang bergantung dari sampah kemasan air

Jika melihat data tersebut, menurut Wawan, seharusnya Pemprov Bali tidak melarang produksi dan peredaran air kemasan di bawah 1 liter. Dia mengatakan, botol air kemasan merupakan limbah dengan tingkat daur ulang yang tinggi karena memiliki nilai ekonomi dan berukuran besar sehingga mudah dikumpulkan.
Setiap botol air kemasan juga memiliki nilai masing-masing mulai dari tutup dan kemasan karena memiliki jenis plastik plastik yang berbeda. Berbeda dengan kemasan sachet yang memerlukan proses sehingga membutuhkan biaya tambahan, akibatnya tidak dilirik oleh para pemulung.
Menurutnya keberadaan SE tersebut juga akan merugikan masyarakat luas-- terlebih yang bergantung pada komoditas sampah air kemasan seperti pemulung. "Pemulung di TPA ini butuh pekerjaan dan hidup dari situ, mereka nggak pernah juga minta ke pemerintah. Jadi seharusnya berhati-hati dalam menerapkan kebijakan," katanya.
3. Sensus sampah plastik mengungkap sampah Bali didominasi sachet

Senada, data sensus Badan Riset Urusan Sungai Nusantara (BRUIN) juga mendapati bahwa bungkus sachet merupakan sampah yang paling sering terjaring operasi. Sachet mendominasi total 25.733 sampah plastik yang dikumpulkan oleh lembaga pemerhati lingkungan tersebut.
Koordinator Program Sensus Sampah Plastik BRUIN, Muhammad Kholid Basyaiban aturan yang dibuat Gubernur Bali tersebut, yang sama sekali tidak melarang produksi dan distribusi kemasan sachet. Dia mengaku heran pelarangan malah menyasar kemasan air yang sudah jelas memiliki ekonomi dan mudah didaur ulang.
Barang buangan sachet merupakan kategori limbah beresidu yang sangat sulit didaur ulang. Data brand audit BRUIN pada April 2024 lalu menemukan bahwa sampah dari kemasan sachet di Bali itu sangat dominan, di samping limbah unbranded seperti kresek dan styrofoam.
"Kalau ngomongin sachet waktu kami melakukan brand audit sampah di Bali itu juga dominan. Sampah-sampah ini nggak bisa didaur ulang juga. Mereka ini sampah-sampah residu," ungkapnya.