Menyoal Beban Psikologis Pendamping Korban Kekerasan di Kampus

- Peran Satgas PPKPT amat krusial membantu korban dalam proses pendampingan
- Pendamping maupun Satgas PPKPT melengkapi diri dengan Psychological First Aid (PFI) atau pertolongan pertama psikologis
- Mencegah beban psikologis pendamping, disarankan melengkapi diri dengan pertolongan pertama psikologis
Denpasar, IDN Times - Peran Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (Satgas PPKPT) tidaklah mudah. Perannya sebagai pendamping awal korban kekerasan di kampus harus bertindak sabar dan berperspektif korban. Oleh karenanya, Satgas PPKPT harus mendapatkan pembekalan teori dan praktik selama bertugas.
Wakil Direktur Program KAPAL Perempuan, Ulfa Kasim, menyoroti kapasitas Satgas PPKPT di kampus saat menjadi narasumber dalam diseminasi riset Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) di Universitas Udayana (Unud) beberapa waktu lalu. Bagi Ulfa, kampus harus memperhatikan kapasitas dan jumlah Satgas PPKPT.
“Jadi sebanyak-banyaknya memang harus melatih orang-orang yang bisa menjadi pendamping. Jadi pendamping itu pada akhirnya berperan sangat krusial,” kata Ulfa.
Kenapa peran pendamping atau Satgas PPKPT amat penting dalam pencegahan dan penanganan kekerasan? Ini informasi selengkapnya.
1. Peran Satgas PPKPT amat krusial membantu korban dalam proses pendampingan

Ulfa menegaskan, kampus harus mengencangkan ikat pinggang dalam memperhatikan kapasitas dan jumlah Satgas PPKPT. Sebab intensitas kasus kekerasan yang fluktuatif, ditambah dengan relasi kuasa yang kerap terjadi, akan menyulitkan penanganan korban jika jumlah Satgas PPKPT terbatas.
Satu sisi, pemahaman Satgas PPKPT terhadap kronologi kejadian korban juga penting dikuatkan. Tujuannya agar korban tidak terus mengulang trauma dengan menceritakan kembali kekerasan yang dialami. Ulfa menyarankan agar kampus melatih sebanyak-banyaknya Satgas PPKPT.
“Karena dia (Satgas PPKPT) yang bisa menjadi filter pertama cerita korban maupun ketika berhadapan dengan seluruh prosedur atau proses penanganan. Harus ke psikolog, harus ke polisi, harus ke mana lagi, ke lembaga layanan,” tutur Ulfa.
Peran krusial Satgas PPKPT dalam membantu korban, membuat kampus harus berinisiatif maksimal menjalin kerja sama dengan lembaga yang mampu melatih Satgas PPKPT. Ulfa melanjutkan, pelatihan awal yang dapat diberikan bagi pendamping baru adalah peran sebagai paralegal. Ia menyoroti, saat ini ada banyak akses pelatihan untuk paralegal di Bali, lembaga bantuan hukum biasanya membuka kerja sama pelatihan paralegal.
2. Melatih mahasiswa menjadi pendamping korban, mulai dari mana?

Selain peningkatan kapasitas Satgas PPKPT yang sudah ada, penambahan jumlah satgas juga penting untuk memaksimalkan layanan. Menurut Ulfa, penambahan jumlah pendamping dapat berasal dari mahasiswa di kampus. Menurutnya, mahasiswa yang sudah dilatih memiliki potensi memaksimalkan pendampingan korban, termasuk dalam upaya pencegahan kekerasan seksual.
Berbagai tugas pendamping jika diimbangi dengan jumlah dan kemampuan yang tersedia, Ulfa optimis pendampingan korban akan berdampak baik.
“Jadi kalau kita punya banyak pendamping itu akan sangat membantu korban,” tegasnya.
Pelatihan terhadap mahasiswa yang bersedia menjadi pendamping maupun paralegal bagi Ulfa adalah tanggung jawab multipihak. Namun, terpenting adalah komitmen kampus dalam memfasilitasi mitra pendamping, respon cepat berperspektif korban, dan sebagainya.
3. Mencegah beban psikologis pendamping, disarankan melengkapi diri dengan pertolongan pertama psikologis

Direktur Program ICT Watch, Ida Ayu Prasastiasih, menyetujui gagasan Ulfa dengan mengajak mahasiswa mendapat fasilitas pelatihan paralegal sebagai Satgas PPKPT. Menurutnya, Satgas PPKPT tidak harus berasal dari kalangan dosen saja.
“Tidak hanya kepada dosen ditempatkan tapi kepada mahasiswa untuk tadi jadi pendamping korban,” kata perempuan yang karib disapa Sasti ini.
Ia juga menyarankan agar pendamping maupun Satgas PPKPT melengkapi diri dengan Psychological First Aid (PFI) atau pertolongan pertama psikologis. Sebab, Sasti menyoroti adanya potensi secondary trauma (trauma sekunder) yang akan terjadi kepada siapa pun, khususnya pendamping yang mendengar cerita korban kekerasan. Sasti berharap agar kampus dan pihak terkait juga memerhatikan keselamatan para pendamping maupun Satgas PPKPT.
“Jadi karena ada secondary trauma yang akan terjadi pada siapa pun yang menjadi satgas, pada siapa pun yang mendengar cerita korban dan itu dampaknya juga sama ya,” ujarnya.