Masyarakat Bali dan Organisasi Sipil Mendesak Bahasan RUU Masyarakat Adat

Denpasar, IDN Times - Perwakilan masyarakat desa adat di Bali dan berbagai organisasi masyarakat sipil mendesak percepatan pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat. Mereka menyatakan sejumlah poin dalam deklarasi percepatan pembahasan RUU Masyarakat Adat.
Satu di antaranya mendesak Pemerintah Pusat, khususnya Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk mempercepat bahasan RUU yang tertunda hingga 15 tahun ini. Penyampaian deklarasi itu dilakukan setelah agenda Diskusi Publik Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat Region Bali di Hotel Neo, Kota Denpasar, pada Jumat (30/10/2025).
Ketua Pelaksana Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Bali Periode 2024-2029, I Putu Srengga, mendesak agar DPR RI Daerah Pemilihan (Dapil) Bali segera memasukkan RUU Masyarakat Adat dalam pembahasan dan pengesahan. Srengga yang juga bertugas sebagai Jro Pasek atau Pimpinan Desa Adat Khusus di Desa Adat Les Penuktukan, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng ini menegaskan RUU Masyarakat Adat adalah landasan hukum yang mengakui desa adat.
“Pengakuan wilayah adat ini sangat penting karena sebagai Ketua Aman Bali, saya dan masyarakat desa adat sudah melakukan pemetaan wilayah desa adat, sebagai objek dan kami (masyarakat desa adat) subjeknya butuh pengakuan,” kata Srengga di Hotel Neo, Jumat (30/10/2025).
Bagaimana suara-suara masyarakat adat di Bali dan organisasi masyarakat sipil terhadap RUU Masyarakat Adat? Lalu, bagaimana anggota DPR RI Dapil Bali menanggapi deklarasi tersebut? Baca selengkapnya di bawah ini.
1. RUU Masyarakat Adat mengakui wilayah dan warga adat, jadi solusi perlindungan hutan hingga pantai

Srengga menuturkan, nestapa yang dihadapinya dan masyarakat Desa Adat Les Penuktukan. Pihaknya secara turun-temurun menjaga hutan adat melalui awig-awig (peraturan adat) larangan penebangan pohon dengan sanksi berat. Meskipun menjaga hutan jadi nadi dan hatinya, tapi nasib tak seindah realitas. Masyarakat Desa Adat Les Penuktukan kerap tertimpa banjir saat hujan akibat kiriman air dari kabupaten lain yang berbatasan dengan wilayah mereka.
“Saya hujan langganan banjir, yang menanam kabupaten lain, hasil mereka dapatkan dari menanam, tapi kami yang nanggung akibatnya,” keluh Srengga.
Ia turut menyoroti pinggiran pantai di Bali yang terancam akibat pembetonan para pemodal. Keaslian topografi pantai yang berubah menjadikan ritual melasti (penyucian semesta sebelum Hari Suci Nyepi) hilang arah, dari penghormatan air beralih jadi penghormatan beton.
“Masyarakat Bali itu dulu melasti di pinggir pantai. Pantai itu sekarang sudah banyak yang dibetonisasi oleh investor. Itu yang tiyang (saya) titip di DPR RI, gimana cara antisipasi agar investor tidak menguasai pantai,” tutur Srengga.
2. Masyarakat adat memanfaatkan hutan secukupnya, bukan untuk kegiatan komersil yang destruktif

Sementara itu, Ni Made Puriati yang mewakili Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) menekankan bahwa masyarakat adat telah turun-temurun merawat hutan sebagai sumber kehidupan. Mereka memanfaatkan secukupnya untuk kebutuhan sehari-hari, bukan untuk kegiatan komersil yang destruktif.
“Masyarakat adat tentu akan merawat hutan ini sebagai sumber kehidupannya, bukan sebagai hal untuk dikomersilkan,” ujar Puriati.
Ia juga mempertanyakan komitmen lembaga legislatif di daerah Bali maupun Pusat. Menurutnya, jika pemerintah berkomitmen terhadap pengakuan dan penghormatan masyarakat adat, seharusnya RUU Masyarakat Adat telah disahkan sejak lama.
“Bali secara subjek hukum diakui. Tapi carut-marut bagaimana wewidangan (wilayah) desa adat, bagaimana orang berinvestasi, bagaimana tata bangunan kita, sampai saat ini masih menjadi konflik di antara desa adat kita,” kata Puriati.
Kehadiran RUU Masyarakat Adat, bagi Puriati diharapkan mampu menjadi solusi atas konflik yang kerap terjadi di wilayah adat Bali. Termasuk memberikan transfer pengetahuan bagi pimpinan adat atas hak dan kewajiban mereka sebagai tetua.
2. Jalan panjang RUU Masyarakat Adat, masih butuh dukungan fraksi lainnya

Menanggapi pendapat perwakilan warga adat di Bali dan organisasi masyarakat sipil dalam diskusi itu, Anggota Komisi VIII DPR RI, I Ketut Kariyasa Adnyana, mengatakan DPR RI Dapil Bali mendukung penuh pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat. Namun, dukungan terhadap RUU Masyarakat Adat di Senayan masih minim. Sehingga pihaknya membutuhkan agar masyarakat adat juga mendorong fraksi lain untuk mengawal RUU ini.
“Agar cepat dibahas sekarang kalau kita lihat fraksi-fraksi ini, teman-teman agar mendorong juga. Tidak saja dari fraksi PDIP, tapi fraksi-fraksi yang lain. Utama fraksi-fraksi pemerintah yang tergabung dalam KIM (Koalisi Indonesia Maju) Plus,” kata Kariyasa.
Hingga saat ini, baru ada tiga fraksi pengusul RUU Masyarakat Adat, yaitu fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Nasional Demokrat (NasDem), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Anggota DPR RI Komisi X sekaligus perwakilan fraksi PDIP, I Nyoman Parta, menyampaikan wacana RUU Masyarakat Adat sudah berlangsung sangat lama. Sehingga, baginya RUU ini harus terwujud segera. Sebab RUU Masyarakat Adat adalah legitimasi atas pengakuan keberagaman Indonesia sebagai Negara Republik.
Selanjutnya, Parta mengamati masyarakat adat adalah orang-orang yang paling merawat alam di sekitarnya. Hidup sederhana dan menjaga tradisi serta budaya ala masyarakat adat dengan sikap komunal, bagi Parta adalah panduan untuk mengikis individualitas dan efek buruk kapitalisme.
“Di samping itu, jika kita ingin meminimalisir adanya radikalisme dan sikap-sikap individualisme, maka sikap komunal masyarakat adat perlu diperkuat dengan undang-undang,” tutur Parta.
Ia melanjutkan, saat ini RUU Masyarakat Adat belum memiliki draf. Namun, pedoman awal regulasi ini berpegang pada prinsip pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat adat sesuai dengan Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
















