Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Hidup Frugal dan Membumi Ala Komunitas Rebo Ijo Wisanggeni

Kebun organik ala Rebo Ijo Wisanggeni, ada di Kota Denpasar, tetap hidup diantara bangunan tinggi. (IDN Times/Yuko Utami)

Denpasar, IDN Times - Ketika bangunan tinggi menyergap seisi Kota Denpasar, Komunitas Rebo Ijo Wisanggeni berjibaku menata kebun dengan aneka tumbuhan. Saat IDN Times mengunjungi kebun organik ini, kami melihat hamparan sayur menghijau. Beralamat di Jalan Merdeka IX Nomor 91, Sumerta Kelod, Kecamatan Denpasar Timur, kebun ini membawa kesejukan di tengah teriknya panas Kota Denpasar.

Ning Palupi, Pengelola Kebun Organik Rebo Ijo Wisanggeni, menjelaskan bagaimana awal mula berdirinya komunitas ini.

“Rebo Ijo ada sebenarnya karena manajemen waktu sisa. Jadi orang-orang yang terhimpun di Rebo Ijo itu profesinya macam-macam,” kata Ning saat ditemui IDN Times di Rebo Ijo Wisanggeni Organic pada Rabu lalu, 26 Maret 2025.

Berbagai pekerjaan itu seperti dosen, kontraktor, petani, buruh bangunan, dan sebagainya. Mereka bertemu dalam sebuah kajian keilmuan bernama Uma Wisanggeni. Komunitas itu mencoba berkomitmen untuk kajian rutin setiap Rabu dan Jumat malam. Kajian yang awalnya dengan bahasa teoritis itu berusaha dibumikan.

“Kita ingin sebenarnya membumikan nilai-nilai yang kita pelajari dalam kajian itu menjadi aksi nyata,” kata Ning.

1. Membumikan teori dengan aksi nyata

Kebun organik Rebo Ijo Wisanggeni. (IDN Times/Yuko Utami)

Membumikan teori dan nilai-nilai kajian, komunitas ini sepakat bahwa bercocok tanam adalah aksi nyata. “Dalam aksi nyata kegiatan berkebun dan bercocok tanam kita sepakati setiap hari Rabu. Makanya disebutnya Rebo Ijo,” ujar Ning. Aktivitas berkebun secara rutin ini diharapkan berjalan konsisten setiap hari Rabu.

Hari Rabu dipilih untuk mengukur kemampuan manajemen waktu masing-masing anggota. “Bisa gak kita konsisten dengan manajemen waktu sisa di sela-sela aktivitas rutin? Masih bisa gak kita menyediakan diri kita di waktu-waktu luang kita itu untuk lebih produktif,” kata Ning. 

Seiring waktu, komunitas yang berdiri sejak 27 September 2018 ini berkembang menjadi sarana rekreasi sederhana bagi anggotanya. Kini anggota Rebo Ijo Wisanggeni ada sekitar 8 sampai 10 orang, itu belum termasuk para sukarelawan.

Selama di Rebo Ijo, Ning aktif memanajemen skala usaha. Ia juga telah memberikan pelatihan dan pendampingan ke berbagai sekolah, kelompok tani, dan kelompok masyarakat.

2. Suguhan penuh kesadaran, hidup frugal dari kebun

Berbagai jenis tumbuhan ditanam di kebun Rebo Ijo Wisangggeni. (IDN Times/Yuko Utami)

Sayuran yang ditanam pun untuk menghidupkan ekonomi sirkular. Mulai membibit, membuat pupuk, pestisida, dan semuanya dikerjakan di Kebun Rebo Ijo. Mengupayakan gerakan selaras alam dimulai dari para anggota. Proses bercocok tanam dan pengolahan sampah secara mandiri ini dilakukan Ning dengan penuh kesadaran. Mereka juga memanen dan mengolah sayuran yang ditanam.

“Jadi secara garis besar ya aktivitas serba hijau itu dari hulu sampai hilir di skup pertanian gitu. Kalau mungkin orang sekarang familiar dengan pertanian organik gitu macam-macamnya. Kita juga sebenarnya gak jauh-jauh dari situ. Konsepsinya kan kembali ke alam gitu berdasarkan kearifan lokal,” tutur Ning dengan senyuman.

Gerakan mendorong kemandirian ekonomi sirkular, Rebo Ijo punya konsep unik bernama manajemen uang receh. “Jadi setiap hari Rabu kita juga jualan paket sayur. Jadi sampai sekarang pun, kita kalau di Islam itu istikamah gitu ya. Berusaha untuk konsisten setiap hari Rabu tetap kita jualan paket sayur, sama kita berbagi juga di setiap hari Jumat gitu,” ungkap Ning.

Perputaran ekonomi itu berjalan dengan perlahan, tapi pasti. Mereka menjual satu paket sayuran Rp20 ribu. Satu paketnya ada berbagai macam sayuran yang berubah-ubah sesuai stok panen yang ada.

3. Membumikan pangan organik

Suasana kebun Rebo Ijo Wisanggeni pada malam hari, semakin sejuk. (IDN Times/Yuko Utami)

Mengupayakan gerakan ekonomi sirkular di ranah pertanian organik, butuh banyak kerja ekstra. Sejak 2018 hingga 2019, setiap car free day di Lapangan Niti Mandala Renon, Denpasar, Rebo Ijo rutin membagikan sayur hasil panen kebun mereka secara gratis. 

“Semua kalangan untuk bisa memperoleh, mereka layak dan berhak gitu untuk memperoleh asupan pangan sehat,” kata Ning.

Membagikan sayuran organik secara gratis ini untuk membumikan pertanian organik yang dianggap mahal. Ning berujar, “kita mencoba membumikan nilai itu, memperluas pemahaman orang bahwa organik itu tidak selalu mahal.”

Tahun 2019 akhir muncul pandemi Covid-19, aktivitas dibatasi. Bali dengan kiblat ekonomi pariwisatanya lesu. Tanpa penghasilan tapi harus tetap makan, orang-orang mulai sadar akan aktivitas berkebun di rumah begitu penting di saat pandemi.

4. Gagasan selaras alam menjalar ke berbagai masyarakat

Kebun organik ala Rebo Ijo Wisanggeni, ada di Kota Denpasar, tetap hidup diantara bangunan tinggi. (IDN Times/Yuko Utami)

Selama membagikan sayur gratis dan mengedukasi, awalnya respon masyarakat tidak percaya sayuran yang dibagikan berasal dari kebun di tengah Kota Denpasar. “Mana bisa sih kalau menanam sayuran selada, pokcoy, dan macam-macamnya. Itu kan mesti di dataran tinggi gitu ya,” kata Ning menirukan masyarakat yang pernah bertanya.

Pertanyaan itu dijawab bahwa semua itu mungkin dilakukan dengan rekayasa media. “Rekayasa media itu dari media yang kita hasilkan sendiri, pupuk organik kita olah sendiri, sampah dapur juga kita gak keluar. Kita olah semua gitu,” jelasnya.

Perputaran itu menjadikan prinsip dari alam kembali ke alam, tidak hanya sekadar gagasan. Rebo Ijo mengupayakan gagasan itu menjadi kenyataan, hidup, dan menjalar ke berbagai lini masyarakat.

Share
Topics
Editorial Team
Ni Komang Yuko Utami
Irma Yudistirani
Ni Komang Yuko Utami
EditorNi Komang Yuko Utami
Follow Us