Fenomena Pekerja di Bali, Berserikat Setelah Ada Masalah

Denpasar, IDN Times - “Fenomena serikat buruh di Bali, pekerja hanya datang ketika sedang jatuh sakit. Ketika sudah nyaman dengan pekerjaannya, mereka tidak berserikat.”
Seperti itulah Ida I Dewa Made Rai Budi Darsana mengawali percakapannya dalam nonton bareng (nobar) dan diskusi film Cut to Cut yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Denpasar di Kota Denpasar pada Jumat sore, 21 Februari 2025. Sekretaris Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) ini menceritakan pendapatnya tentang fenomena para pekerja di Bali. Menurutnya, rata-rata pekerja di Bali berserikat setelah tersandung masalah.
FSPM menaungi para pekerja hotel, restoran, apartemen, dan industri pariwisata sejak tahun 2011. Selama 14 tahun itu, pria yang akrab disapa Dewa Rai itu menemukan belum seluruh pekerja memahami, bahwa serikat buruh sebagai hak untuk beraspirasi dan belajar berorganisasi. Seperti apa tantangan lainnya dalam membangun serikat pekerja di Bali?
1. UU Cipta Kerja mempersulit pekerja

Selain kesadaran pekerja untuk berserikat, tantangan lainnya terletak pada regulasi di Indonesia. Dewa Rai mengungkapkan, Undang-Undang Cipta Kerja mempersulit kondisi pekerja.
“Undang-Undang Cipta Kerja mempersulit kondisi hubungan kerja yang rentan di-PHK sulit pengorganisasian. Ketika diajak sosialisasi, hal pertama yang dikatakan 'saya takut di-PHK', 'saya takut kontrak saya tidak diperpanjang',” kata Dewa Rai.
Sepanjang mengawal isu pekerja dan buruh, Dewa Rai belum pernah menemukan kasus perusahaan bangkrut karena pekerja yang berserikat. Namun, narasi yang dibangun oknum perusahaan bahwa serikat pekerja adalah hal negatif bagi perusahaan.
“Saya melihat pemerintah atau pengusaha tidak menginginkan organisasi serikat buruh. Ketika bergabung serikat buruh, mereka menjadi pekerja cerdas,” ungkapnya.
2. Pekerja perikanan terdiskriminasi

Senior Program Officer Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Laode Hardiani, menjelaskan kondisi pekerja perikanan di Bali. Sebagai pendaratan ikan terbesar kedua di Indonesia, banyak pekerja yang menggantungkan hidup pada industri ini.
“Mereka harus bekerja di tengah laut berbulan-bulan ketika melakukan aktivitas menangkap ikan. Satu sisi, mereka tidak diberikan jaminan perlindungan keselamatan kerja. Upah mereka tidak sesuai dengan risiko kerja yang mereka dapatkan,” ujar Laode.
Pekerja itu juga mengalami diskriminasi, penyiksaan, hingga meninggal dunia. Laode menambahkan, hampir setiap bulan ada mayat yang dibawa kapal penangkap ikan. Mereka juga rentan di-PHK.
3. Kasus perburuhan termasuk aduan tertinggi di LBH Bali

Kepala Bidang Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, Ignatius Rhadite Prastika, menjelaskan alasan berserikat menjadi penting, itu berawal dari pendataan LBH Bali. Rhadite menyebutkan, sepanjang tahun 2023-2024, LBH Bali menerima aduan kasus perburuhan mencapai 42 aduan dengan jumlah korban terdampak sebanyak 202 orang.
Berdasarkan pemberitaan media di Bali yang dihimpun LBH Bali, jumlah korban terdampak pada kasus perburuhan mencapai 1.665 orang.
“Ini sebuah situasi di mana problem perburuhan banyak terjadi, dan tidak menutup kemungkinan terjadi pada kita,” terang Rhadite.
Praktik yang menjamur adalah perburuhan tidak sehat. Kondisi ini membuat pekerja selalu menjadi korban. Eksploitasi pekerja terjadi karena adanya relasi kuasa antara pemilik modal dengan pekerja. Meskipun demikian, Radhite menegaskan berserikat penting untuk menyejajarkan derajat pekerja dengan pemilik modal.
Kamu juga punya pendapat yang sama atau berbeda? Yuk diskusi pengalamanmu di kolom komentar.