[OPINI] Perempuan dalam Bingkai Kekuasaan

Perempuan dalam Parlemen di Indonesia dan Rwanda

Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan terburuk dari yang terbaik. Mengapa demikian? Hal ini dipengaruhi oleh sepak terjang panjang perjalanan politik dunia yang telah mengalami berbagai pasang surut bentuk-bentuk pemerintahan dari monarki absolut hingga demokrasi.

Kini, beberapa negara telah mengalami demokratisasi seiring berjalannya waktu. Dengan adanya demokrasi, maka negara-negara yang dulunya mengesampingkan nilai-nilai kebebasan universal dan berpaling dari prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia, perlahan membuka ruang untuk mengimplementasikan hal-hal ini ke dalam kehidupan bernegara.

Dewasa ini dunia saling berlomba untuk menjadi negara yang paling demokratis dan menjunjung nilai-nilai hak asasi manusia di berbagai bidang kehidupan, tidak terkecuali politik dan kaitannya dengan partisipasi perempuan di dalamnya.

Baca Juga: [OPINI] Selamatkan Temanmu Ini dari Bunuh Diri

Baca Juga: [OPINI] Mars Ospek Prodi Memuat Pelecehan Seksual Verbal

Lalu, mengapa perempuan dianggap penting dalam dunia politik?

[OPINI] Perempuan dalam Bingkai KekuasaanIlustrasi Perempuan. (IDN Times/Aditya Pratama)

Seperti yang telah ditulis oleh Azza Karam, dkk dalam bukunya “Perempuan di Parlemen: Bukan Sekadar Jumlah, Bukan Sekadar Hiasan” memberikan gambaran tentang pentingnya perempuan dalam bingkai kekuasaan lembaga pemerintahan, khususnya pada lembaga perwakilan.

Para penulis tersebut berpandangan, bahwa politik merupakan representasi dari kehidupan sosial masyarakat sehari-hari, dan merupakan bagian integral yang tentunya tidak dapat dipisahkan dari hak asasi manusia. Sebaliknya, hak asasi manusia tersebut merupakan pondasi dasar yang sudah semestinya ditopang oleh kerangka kerja demokrasi. Dengan adanya demokrasi inilah maka tiap-tiap pandangan dari berbagai kelompok dirasa perlu untuk dipertimbangkan untuk mendapatkan hasil keputusan yang akan menjadi representasi dari berbagai kelompok dan golongan.

Dalam menyelesaikan berbagai masalah, maka dirasa perlu untuk mempertimbangkan perspektif gender dengan cara melibatkan perempuan dalam bingkai diskusi mengenai kebijakan-kebijakan, yang tidak hanya berdampak oleh laki-laki saja, namun juga perempuan. Oleh karena itu, keputusan tersebut ialah sine qua non dari berbagai elemen kerja demokratik.

Indonesia telah lama memulai perjalanan kesetaraan gender di bidang politik, yakni dengan meratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan ke dalam Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958. Peraturan tersebut telah mengatur paket lengkap mengenai hak-hak politik perempuan seperti hak memilih dan dipilih, hak untuk mendapatkan jaminan partisipasi dalam membuat kebijakan, hak untuk menempati posisi jabatan birokrasi, hingga hak untuk berpartisipasi aktif dalam organisasi sosial politik.

Upaya lain untuk meningkatkan jumlah perempuan dalam politik juga diikuti dengan berbagai kebijakan afirmatif, diantaranya seperti paket politik yang diwajibkan kepada partai politik untuk memerhatikan sekurang-kurangnya 30 persen keterlibatan perempuan sebagai peserta pemilu melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD.

Tidak hanya dalam pemilu, upaya pemerintah untuk mendorong partisipasi perempuan juga diatur dalam instrumen pemilu. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu misalnya, aturan ini mengharuskan setiap KPU mulai dari tingkat pusat sampai di daerah harus memiliki komposisi sekurang-kurangnya 30 persen perempuan dalam keanggotaannya.

Dengan adanya dorongan dan semangat pemerintah dalam melibatkan perempuan untuk berpolitik, maka diharapkan hal tersebut dapat mengalami peningkatan. Namun pada kenyataannya, data menunjukkan sebaliknya. Berdasarkan data yang dilansir oleh Inter-Parliamentary Union pada tahun 2022 menunjukkan jumlah partisipasi perempuan pada politik, khususnya keterlibatannya di parlemen, menempati urutan ke 105 dunia atau 21,9 persen. Sementara itu, urutan tertinggi diperoleh oleh Rwanda yakni sebesar 61,3 persen.

Permasalahan apa yang terjadi di Indonesia sehingga angka tersebut menunjukkan kesenjangan yang cukup tinggi dibandingkan negara-negara dunia lainnya?

[OPINI] Perempuan dalam Bingkai KekuasaanIlustrasi perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Jawaban sederhana terletak pada budaya partai politik itu sendiri sebagai bagian dari infrastruktur politik yang memiliki rekrutmen anggota. Budaya politik ini kerap kali memengaruhi perspektif partai. Partai politik kita kini beberapa di antaranya masih bersifat patriarki, sehingga memarjinalkan peran perempuan dalam politik dan pengambilan keputusan. Azza Karam dkk bahkan dalam bukunya juga menjelaskan, bahwa partai politik seringkali enggan memberikan dana untuk kandidat perempuan.

Lalu, apakah hal-hal tersebut tidak terjadi di Negara Rwanda? Tentu iya. Seperti yang dilansir United Nations Women, bahwa parlemen negara tersebut juga memiliki permasalahan serupa dengan yang dialami perempuan di Indonesia. Seperti halnya kemampuan mereka dalam membuat kebijakan politik dipertanyakan, tingginya angka KDRT dari suami akibat kealpaan para perempuan di rumah akibat harus mengikuti proses pengambilan kebijakan, hingga penegakan hukum mengenai gender yang terbatas turut mewarnai permasalahan-permasalahan di negara tersebut.

Namun, terdapat metode yang dilakukan Negara Rwanda, yakni memberikan keterampilan teknis dan penguatan kapasitas terhadap perempuan di parlemen. Mereka juga melalui konstitusinya mewajibkan semua organ pembuat keputusan sampai tingkat paling rendah wajib diisi oleh 30 persen perempuan. Selain itu, mereka juga merevisi peraturan hukum yakni hukum perdata yang menghapuskan segala bentuk diskriminasi dalam segala undang-undang yang mengatur tentang partai politik dan politisi.

Pada akhirnya, partisipasi politik perempuan masih memiliki tantangan yang besar di berbagai belahan dunia. Perempuan seringkali dianggap sebelah mata dan dimarjinalkan perannya dalam berbagai sektor kehidupan. Stigma bahwa perempuan merupakan makhluk lemah yang tidak dapat mengerjakan pekerjaan sektoral masih kerap kali terjadi. Padahal, sama halnya seperti laki-laki, perempuan pun memiliki peran yang besar dalam kehidupan sehari-hari. Pemikiran perempuan dibutuhkan untuk menyentuh akar-akar permasalahan sosial yang seringkali tidak tersentuh oleh pola pikir laki-laki. Berbagai kebijakan pun sangat memerlukan pandangan perempuan sebagai kelompok yang terdampak dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Oleh karena itu, perlu kerja sama yang baik antara pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkan partisipasi perempuan dalam bingkai kekuasaan yang lebih baik dan lebih besar. Sehingga, kebijakan yang lahir mampu untuk merepresentasikan kepentingan baik itu laki-laki maupun perempuan.

Penulis merupakan mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia sekaligus awardee LPDP angkatan 2022.

Fenny Kusuma Dewi Photo Community Writer Fenny Kusuma Dewi

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya