Wajah Kampung Tapal Batas Mosso Papua, Hanya Ada PAUD dan SD

Untuk mengubah peradaban, maka perbaikilah pendidikan

Penulis: Ufiya Amirah

Tulisan ini berdasarkan pengalaman penulis ketika melakukan magang melalui program Pejuang Muda (PM) Kementerian Sosial Republik Indonesia yang ditempatkan di Kota Jayapura, Papua, sejak 29 Oktober-22 Desember 2021.

Tugas utama program PM adalah melakukan verifikasi dan validasi data Penerima Bantuan Sosial seluruh distrik di Kota Jayapura, tak terkecuali Distrik Muara Tami, sebuah kecamatan yang meliputi kampung perbatasan Mosso, Indonesia dan Papua New Guinea (PNG).

Berikut 5 fakta kampung perbatasan Mosso, Kota Jayapura, Papua.

Baca Juga: Menguak Perbudakan Buruh Sawit di Sumatra Utara

1. Mengenal Kampung Tapal Batas RI-PNG, Mosso

Wajah Kampung Tapal Batas Mosso Papua, Hanya Ada PAUD dan SDPerempuan Mosso dalam perjalanan berburu ikan di sungai. (Dok.Pribadi/ufiyaamirah)

Mosso adalah nama Kampung di distrik Muara Tami, Kota Jayapura, Provinsi Papua. Kampung ini letaknya berada paling dekat atau berbatasan langsung dengan Negara Papua New Guinea. Mosso terbentuk sebagai kampung termuda dengan luas wilayah 32,7 KM2 di Distrik MuaraTami dan merupakan pecahan dari Kampung Skouw Sae (Perda Kota Jpr No. 10/ 2006).

Menurut laporan Muara Tami Dalam Angka tahun 2020 menyebutkan, bahwa jumlah penduduk kampung Mosso sebanyak 621 penduduk dengan jumlah 180 keluarga.

Kampung Mosso merupakan penduduk asli yang pada awalnya telah lama tinggal di wilayah Negara PNG, dan kemudian menetap di Kampung Mosso. Karena itu, mobilisasi penduduk Kampung Mosso masih cukup tinggi ke perbatasan wilayah Negara PNG untuk mengunjungi sanak saudara mereka di sana, mendapatkan pelayanan publik seperti pelayanan kesehatan dan lainnya.

Selain itu juga, ada juga penduduk yang berasal dari luar Kampung Mosso tinggal di kampung tersebut, karena adanya ikatan perkawinan ke dalam masyarakat Kampung Mosso.

Mayoritas penduduk di Kampung Mosso masih bergantung pada sumber-sumber agraria dalam pemenuhan kebutuhan ekonominya. Dalam mobilisasinya, penduduk berjalan kaki karena jarangnya kendaraan di sana.

2. Hanya terdapat PAUD dan SD

https://www.youtube.com/embed/zRTm3idbQaM

PAUD Florencia Mosso yang didukung oleh ANCORA Foundation dan SD Negeri Mosso milik pemerintah, merupakan dua lembaga pendidikan yang ada di Kampung Mosso.

Dalam laman Sekolah.data.kemdikbud.go.id, disebutkan bahwa per semester data 2021/2022, angka siswa laki-laki dan perempuan di PAUD Florencia adalah 0 siswa dengan tenaga pengajar 5 orang. PAUD dengan nomor SK Akreditasi 095/K/SK/AKR/2016 yang dikepalai oleh Fredy Palage tersebut masih terakreditasi C. 

Dalam laman master data Kemdikbud yang sama dijelaskan pula, SDN Mosso memiliki luas 3 meter dengan 4 ruangan kelas dan 1 perpustakaan. Per semester data 2021/2022, siswa yang ada di SD ini sebanyak 50 siswa, dengan sebaran 20 siswa perempuan dan 30 siswa laki-laki. Sedangkan guru di SDN Mosso berjumlah 10 orang.

Jika dilihat dari persentase partisipasi anak didik yang bersekolah, maka angka buta huruf di Kampung Mosso cukuplah tinggi dan signifikan.

3. Tidak adanya akses internet, pendidikan di Mosso kian sulit

https://www.youtube.com/embed/l9dihvWIHUw

Ketika memasuki Kampung Mosso, jaringan Telkomsel otomatis hilang, begitu juga dengan jaringan provider lainnya. Tidak ada satu pun pemancar di kampung tersebut. Padahal, jarak antara Mosso dengan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) RI-PNG, Skouw hanya sekitar 12 kilometer.

Tidak adanya akses internet itu telah menutup akses pendidikan di Mosso. Sejak pandemik COVID-19, pendidikan mengharuskan berbasis internet. Menurut Agus Wepafao, Kepala Kampung Mosso, pandemik turut menyurutkan pendidikan bagi anak-anak Mosso.

"Dulu di sini ada pendidikan. Tapi sejak pandemik, hampir 2 tahun lamanya, sudah tidak ada lagi guru yang mengajar," Kata Agus di kediamannya, Mosso, Sabtu (20/11/2021.

Terdapat gap generasi yang kehilangan pendidikan lantaran pandemik di Mosso. Hal tersebut turut mempertinggi kesenjangan pendidikan di sana.

4. Mayoritas tenaga pengajar tinggal di kota

Wajah Kampung Tapal Batas Mosso Papua, Hanya Ada PAUD dan SDSD Negeri Mosso. (Dok.Pribadi/ufiyaamirah)

Rivelino Manuel Meraudje, 2017, dalam tulisannya yang berjudul Kejahatan Illicit Drug Trafficking Jalur Perbatasan Darat Negara Republik Indonesia-Papua New Guinea, dijelaskan gambaran umum pendidikan di Mosso. Hampir semua tenaga pengajar di lembaga pendidikan Mosso tinggal di pusat kota.

Jarak antara kota ke kampung perbatasan Mosso adalah 63 kilometer. Jika ditempuh melalui jalur darat, maka memakan waktu sekitar 2 sampai 3 jam. Durasi waktu perjalanan menjadi kendala pokok akses mengajar di sana.

Terlebih dengan adanya situasi pandemik, pembatasan mobilisasi tenaga pengajar dan siswa untuk memutus penyebaran virus COVID-19 menuntut sekolah agar dilaksanakan secara daring. Sehingga para tenaga pengajar yang bertempat tinggal di Kota Jayapura sangat jarang sekali ke Mosso. Minimnya sumber daya guru di Mosso mengakibatkan kualitas pendidikan di kampung tersebut cukuplah rendah.

Baca Juga: Deretan Konflik Agraria di Sekitar Ibu Kota Negara Baru Kalimantan  

5. Taman baca tak terurus dan tak terawat

https://www.youtube.com/embed/XbWUEvtapg8

Pada 21 Februari 2021, Honda PCX Club Indonesia (HPCI) Kota Jayapura meresmikan Pondok Baca dan Taman Bermain untuk mendukung sarana pembelajaran anak-anak di Kampung Mosso, yang diresmikan langsung oleh Dansatgas, Pamtas RI-PNG, Mayor INF Anggun Wuriyanto SH MHAN. Taman Baca tersebut terletak di depan barak militer, Pos Kompi Mekanis A.

Namun, ketika penulis berkunjung ke Pondok Baca tersebut, fasilitas belajar untuk anak-anak ini tidak terawat dan bahkan tidak pernah terpakai karena tidak ada yang mengunjungi.

Hal tersebut lantaran jarak antara Pondok Baca dengan pemukiman warga relatif jauh. Sebelumnya terdapat jembatan bambu yang menghubungkan antara barak militer dengan pemukiman warga. Sehingga mobilisasi warga cukup mudah dan terjangkau. Namun, jembatan tersebut telah lama rusak dan putus.

Menurut Agus, perlu ada fasilitas belajar yang dekat dengan kehidupan warga.

"Ya kalau di sana memang ada Pondok Baca. Tetapi, jauh. Kami membutuhkan fasilitas pondok baca yang dekat dengan kami, agar mudah dijangkau oleh anak-anak di sini.”

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya