Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Produksi Kopi di Bali Turun Signifikan 8 Tahun Lalu

1000077682.jpg
Ilustrasi biji kopi (IDN Times/Yuko Utami)

Denpasar, IDN Times - Ekspor produk Bali bergantung pada kualitas sebagai hulunya. Awal Juli 2025 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali mencatat penurunan ekspor komoditas dari Bali. Selain ekspor, impor komoditas di Bali juga menurun. Meskipun sama-sama mengalami penurunan, nilai ekspor di Bali masih lebih tinggi dibandingkan nilai impor.

“Tapi kalau dibandingkan ekspor dengan impor, nilai ekspor kita jauh lebih tinggi. Sehingga surplus pada neraca perdagangan,” ujar Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali, Agus Gede Hendrayana Hermawan, pada 1 Juli 2025 lalu.

Kali ini, IDN Times memotret fluktuasi produksi komoditas andalan ekspor di Bali, yaitu kopi (robusta dan arabika), vanili, dan kakao. Catatan angka produksi selama 10 tahun sejak 2014 hingga 2024 ini berdasarkan pendataan BPS Provinsi Bali. Mengapa hanya memilih tiga komoditas itu saja? Penentuan itu berangkat dari pernyataan Kepala Dinas (Kadis) Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali, I Gusti Ngurah Wiryanatha, bahwa Bali hanya memiliki laboratorium pengecekan kualitas dan sertifikasi produk ekspor dari Bali terhadap kopi, vanili, dan kakao saja. Sementara, uji sertifikasi produk ekspor lainnya harus ke laboratorium di Pulau Jawa.

Sekarang, berapa banyak sih jumlah produksi kopi, vanili, dan kakao di Bali 10 tahun terakhir? Berikut ini data fluktuasi dan beberapa penyebab penurunan produksi selengkapnya.

1. Fluktuasi produksi kopi robusta, arabika, vanili, dan kakao di Bali

Apabila melihat grafik fluktuasi di atas, secara umum produksi komoditas kopi robusta di Bali cukup stabil. Meskipun pada 2017, produksi kopi robusta sempat turun menjadi 10 ribu ton dibandingkan tahun sebelumnya 2016 sebesar 13 ribu ton. Sedangkan produksi kopi arabika pada tahun tersebut terlihat jauh lebih rendah dibandingkan dengan kopi robusta. Lalu pada 2024, produksi kopi robusta sebanyak 9 ribuan ton, tapi kopi arabika hanya sebesar 3 ribuan ton.

Produksi kakao tahun 2017 juga turut mengalami penurunan menjadi 4 ribuan ton dibandingkan pada 2016 yang mencatatkan 6 ribuan ton. Tren penurunan tahun 2017 juga tercatat pada komoditas kopi arabika dan vanili. Pada 2016, produksi kopi arabika di Bali sebesar 4 ribuan ton, tahun 2017 turun menjadi 3 ribuan ton. Sementara, produksi vanili tahun 2016 sebesar 2 ton, dan 2017 tercatat 0 ton.

Pada 2021, produksi kakao di Bali mengalami lonjakan positif menjadi 13 ribuan ton, yang sebelumnya tahun 2020 hanya sebesar 4 ribuan ton. Namun, kenaikan positif ini tidak bertahan lama. Sebab setahun setelahnya pada 2022, produksi kakao di Bali menurun drastis menjadi 4 ribuan ton. Pada tahun-tahun berikutnya, yaitu 2023 dan 2024, produksi masih tercekat di angka 4 ribuan ton.

2. Korelasi penurunan produksi dengan penurunan jumlah petani

ilustrasi menyangrai biji kopi (freepik.com/freepik)
ilustrasi menyangrai biji kopi (freepik.com/freepik)

Jurnal ilmiah Penurunan Jumlah Lahan dan Perubahan Budidaya Tanaman Kopi Bali Kintamani Mengancam Destinasi Wisata Kopi di Kintamani yang ditulis Ijlal Faiz Bayu Permana dan Made Sukana, mencatat analisis menarik kaitannya penurunan produksi kopi dengan jumlah petani.

Berdasarkan Data Dinas Pertanian Perkebunan dan Perhutanan Kabupaten Bangli Tahun 2017, sejak 2015, jumlah petani kopi di Kintamani menurun drastis yakni hanya ada 1.774 orang. Sedangkan tahun 2014, ada 7.291 orang petani kopi. Tahun 2016, jumlah petani kopi kembali menurun menjadi 1.634 orang. Penurunan jumlah petani ini berkaitan dengan penurunan luas lahan pertanian kopi yang digarap. Pada 2015, luas area tanam kopi di Kintamani yakni 5918 hektare. Sedangkan pada 2016 menjadi 4.772 hektare.

Selain penurunan luas lahan dan petani, jumlah produksi mengekor dengan kondisi luasan lahan dan jumlah petani. Sejak tahun 2014, tren penurunan produksi kopi di Kintamani menurun berturut-turut. Tahun 2014 sebanyak 2.314 ton, 2015 sebanyak 2.165 ton, dan 2016 sebanyak 2.046 ton.

Melalui penelitiannya, Permana dan Sukana menemukan penurunan jumlah petani dan produksi kopi karena petani di Kintamani beralih menjadi petani jeruk. Bertani jeruk menghasilkan pendapatan lebih tinggi, Rp134 juta per 50 are. Sementara, pendapatan tanaman kopi yaitu Rp56 juta per 50 are. Jarak pendapatan yang jauh itu, menurut analisis mereka, jadi faktor petani beralih membudidayakan tanaman jeruk daripada tanaman kopi.

3. Situasi global terhadap permintaan ekspor

doorstop mendag.jpg
Gubernur Bali, Wayan Koster; dan Menteri Perdagangan RI, Budi Santoso. (IDN Times/Yuko Utami)

Sementara itu, Menteri Perdagangan Republik Indonesia (Mendag RI), Budi Santoso, mengatakan Indonesia punya peluang luas dalam ekspor setelah tarif Trump menjadi 10 persen.

“Kesempatan kita luas ya. Dari ASEAN kan kita 10 persen, termasuk yang paling kecil ya bersama dengan Filipina,” kata Budi optimis Lini Cargo, Jalan Gatot Subroto (Gatsu) Barat, Kota Denpasar Selasa lalu, 29 Juli 2025.

Meskipun optimis, Budi mengaku pihaknya berjaga-jaga dengan memperluas alternatif pasar ekspor baru, misalnya negara-negara di Uni Eropa dan Asia. Kata Budi, ada 27 negara di Uni Eropa yang telah menandatangani perjanjian dagang dengan Indonesia.

Mengenai penurunan ekspor di Bali, Kepala BPS Provinsi Bali, Agus Gede Hendrayana Hermawan, menilai fluktuasi kondisi ekspor impor bertalian dengan situasi global saat ini. Menurutnya, perdagangan ada karena permintaan dari negara lain. Tapi jika kondisi negara lain terganggu akan memicu gejolak pada situasi perdagangan ekspor maupun impor.

“Secara normatif ekspor dan impor tentu dipengaruhi situasi global salah satunya permintaan dari negara lain,” kata dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Irma Yudistirani
EditorIrma Yudistirani
Follow Us