Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Kamu Gak Miskin Jika Pengeluaran di Atas Rp580.306 di Bali

Ilustrasi uang (IDN Times/Aditya Pratama)

Denpasar, IDN Times - Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali telah merilis Profil Kemiskinan Provinsi Bali September 2024. Laporan yang dirilis pada Januari 2025 ini mencakup berbagai laporan menyangkut kondisi kemiskinan di Bali, seperti garis kemiskinan. BPS Bali menetapkan batas garis kemiskinan di Bali sebesar Rp580.306 per kapita (per orang) per bulan.

Angka itu berarti, jika pengeluaran satu orang di Bali berada di bawah Rp580.306 per bulan, maka tergolong sebagai masyarakat miskin. Sementara jika pengeluarannya di atas Rp580.306 setiap bulan, maka tidak termasuk masyarakat miskin. Namun, angka garis kemiskinan di berbagai daerah ini sempat ramai diperbincangkan, karena dinilai sangat rendah. Seperti apa penjelasan dari BPS Provinsi Bali? Ini selengkapnya.

IDN Times mewawancarai Statistisi Ahli Madya BPS Provinsi Bali, Ketua Tim Statistik Ketahanan Sosial, Anak Agung Gede Dirga Kardita, pada Rabu, 22 Januari 2025. Dalam wawancara itu, Kardita menjelaskan garis kemiskinan merupakan garis yang membatasi penduduk apakah dalam kategori miskin atau tidak miskin.

“Garis itu, yang membatasi penduduk miskin atau tidak miskin dalam mengumpulkan data, kiblatnya BPS (adalah) menggunakan Annual World Bank. Kalau ada seseorang mengonsumsi di atas Rp580 ribu, tidak dikategorikan penduduk miskin,” ujar Kardita di Kantor BPS Provinsi Bali.

Secara nasional, angka garis kemiskinannya sebesar Rp595.242 per kapita per bulan. Artinya, jika dibandingkan dengan garis kemiskinan per orang di Provinsi Bali, selisihnya menjadi Rp14.936. Ini menunjukkan garis kemiskinan per orang di Bali lebih rendah dibandingkan nasional.

Garis kemiskinan per rumah tangga di Bali juga lebih rendah dibandingkan di nasional sebesar Rp2.803.589 per bulan. Kalau di Bali, garis kemiskinan per rumah tangga miskin (satu rumah tangga miskin terdiri dari empat anggota) sebesar Rp2.443.088 per bulan. Artinya, satu rumah tangga di Bali dikatakan miskin jika pengeluarannya berada di bawah angka tersebut.

Mungkin di antara kamu ada yang penasaran, apa saja sih komoditas yang dihitung dalam garis kemiskinan di Bali? BPS Bali membaginya menjadi dua kategori, yaitu komoditas makanan dan nonmakanan di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Risetnya mencatat ada 52 komoditas makanan di wilayah perkotaan dan pedesaan. Puluhan komoditas itu diurutkan berdasarkan peringkat pengeluaran teratas ke terendah. Hasilnya, ada lima komoditas makanan teratas yang memengaruhi garis kemiskinan di wilayah perkotaan maupun pedesaan di Bali. Komoditas makanan itu meliputi beras, daging ayam ras, rokok kretek filter, telur ayam ras, dan kue basah.

Pertama, untuk komoditas makanan dulu di wilayah perkotaan. Beras menjadi komoditas berpengaruh pertama terhadap garis kemiskinan. Persentasenya 24,09 persen atau setara dengan Rp96.189. Berikutnya daging ayam ras 5,37 persen atau Rp21.442. Menariknya, ada komoditas sebesar 4,97 persen untuk rokok kretek filter atau setara Rp19.845. Pada urutan keempat ada telur ayam 3,32 persen atau sebesar Rp13.256. Peringkat kelima ada kue basah sebesar 3,28 persen atau sama dengan Rp13.096. Sehingga total keseluruhan persentase untuk lima komoditas makanan yang paling berpengaruh di perkotaan sebesar 41,03 persen atau setara Rp163.828. Sedangkan sisa Rp235.463 digunakan untuk pengeluaran 47 komoditas makanan lainnya.

Kedua, komoditas makanan untuk wilayah pedesaan. Persentase pengeluaran untuk beras sebesar 31,52 persen atau setara Rp125.856. Kedua, ada daging ayam ras 5,08 persen atau sama dengan Rp20.283. Ketiga, ada rokok kretek filter 3,06 persen atau sama dengan Rp12.218. Keempat ada telur ayam ras sebesar 2,52 persen atau sama dengan Rp10.062. Peringkat kelima diisi kue basah sebesar 2,46 persen atau setara Rp9.822. Jadi persentase untuk kategori makanan di pedesaan sebesar 44,64 persen atau Rp178.241.

Sekarang beralih ke komoditas nonmakanan di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Sama seperti makanan, komoditas nonmakanan diurutkan berdasarkan peringkat pengeluaran teratas ke terendah. Sehingga ada lima komoditas teratas yang meliputi perumahan, bensin, upacara agama, listrik, dan pendidikan.

Untuk wilayah perkotaan, perumahan sebesar 9,44 persen atau setara Rp17.088. Kedua ada bensin sebesar 4,92 persen atau sama dengan Rp8.906. Ketiga ada upacara agama sebesar 3,81 persen atau setara dengan Rp6.897. Keempat, ada listrik 2,32 persen atau setara Rp4.199. Kelima adalah pendidikan sebesar 1,94 persen atau setara dengan Rp3.512.

Sedangkan di wilayah pedesaan, total keseluruhan untuk kelima komoditas tersebut sebesar Rp40.765 atau 22,52 persen. Masing-masing untuk perumahan sebesar 10,41 persen atau Rp18.844; bensin 7,27 persen atau Rp13.160; upacara agama 2,30 persen atau sama dengan Rp4.163; listrik 1,48 persen atau Rp2.679; dan pendidikan 1,06 persen atau setara Rp1.919.

Kelima komoditas di atas bersifat fluktuatif

Kardita mengungkapkan, kelima komoditas makanan maupun nonmakanan bersifat fluktuatif. Ia mencontohkan saat menghitung komoditas makanan pada periode September 2024, perubahannya bisa saja terjadi disebabkan oleh kebiasaan konsumsi masyarakat.

“Lima komoditas itu bukanlah yang tetap. Misalnya kue basah, ada kemungkinan nanti tidak ada (tidak masuk komoditas). Bisa berubah-ubah. Perubahannya tergantung pada periode perhitungan setahun dua kali di bulan Maret yang rilisnya Juli, dan September rilisnya pada Januari,” jelas Kardita.

Lantas bagaimana kue basah dan rokok kretek filter bisa masuk dalam lima besar komoditas makanan? Kardita berasumsi, komoditas kue basah ada kemungkinan pola konsumsi masyarakatnya mengalami pergeseran.

“Periode September kemarin, mungkin saja orang itu mulai bergeser konsumsinya, yang awalnya sarapan pagi dengan nasi bergeser ke pisang goreng, jajan bali. Sehingga konsumsi kue basah meningkat,” kata dia.

Kardita juga mengutarakan pendapatnya, bagaimana rokok ini masuk sebagai lima besar komoditas paling berpengaruh terhadap kemiskinan di desa maupun kota. Kardita mengamati banyak masyarakat dengan kesempatan kerja rendah akan meluangkan waktunya untuk merokok.

“Jika dia tidak bisa makan, minimal ngerokok. Makanan dikasih anaknya,” kata Kardita.

Pengeluaran pendidikan di perkotaan juga tercatat lebih besar daripada di desa. Kardita mengungkapkan, rata-rata di wilayah perkotaan ada sekolah swasta yang harus membayar SPP dan segala macam kebutuhan sekolah. Sedangkan jika di desa, anak-anak menempuh pendidikan di sekolah negeri. Jadi, ada kemungkinan kalau masyarakat perkotaan lebih sadar akan pentingnya pendidikan, sehingga mencari sekolah yang lebih bagus untuk anak-anaknya.

Sementara untuk pengeluaran perumahan, BPS Bali menyetarakannya sebagai biaya untuk sewa rumah atau kontrak rumah. Kardita berandai jika seseorang memiliki rumah pribadi di desa, maka itu akan dihitung sebagaimana orang itu menyewa rumah di desa. Begitu pula di perkotaan, rumah pribadi dianggap hitungannya sebagai rumah sewa. Sehingga diperoleh data yang ada pada grafik.

Apa tanggapanmu terkait data ini, guys? Share pendapatmu di kolom komentar ya.

Share
Topics
Editorial Team
Irma Yudistirani
EditorIrma Yudistirani
Follow Us