Ketar-Ketir Eksportir dan UMKM di Bali, Minim Kepastian Regulasi

Denpasar, IDN Times - “Kita sangat struggling (susah payah) sebenarnya dengan kondisi Bali saat ini di mana kita tidak ada kapal atau direct (langsung) dari Bali untuk kontainernya,” kata CEO PT Lini Trans Sejahtera, Faried Reza Nusyirawan, lesu.
Pengiriman produk ekspor jalur laut selama ini harus melalui kontainer di Kota Surabaya, Jawa Timur. Meskipun pengiriman jalur laut belum memenuhi ekspektasinya, Reza memilih pengiriman lewat jalur udara karena keluasan ruang penerbangan.
PT Lini Trans Sejahtera adalah mitra kargo dari Naralia Group Indonesia sebagai eksportir produk usaha kecil dan menengah (UMKM) khas Bali. Selasa (29/7/2025) siang, Naralia Group Indonesia mengekspor produk vanila, kayu manis, dan madu ke Hongkong.
CEO CV Naralia Group, Mulianingsih, mengatakan dalam sambutannya, nilai produk ekspor ketiga produk itu sebesar US$ 350 ribu atau sekitar Rp5,6 miliar lebih.
Meskipun nilainya besar, eksportir dan UMKM sebagai mitra mengalami sejumlah tantangan. Selepas terombang-ambing kepastian tarif Trump, apa kendala lainnya? Berikut cerita selengkapnya.
1. Permintaan pasar ekspor dinamis, eksportir harus pandai menyesuaikan diri

Mulianingsih atau karib disapa Lia memaparkan, ekspor produk UMKM Bali ini adalah hasil dari pelaksanaan pameran di Hongkong. Melalui pameran itu. peluang kerja sama dengan pembeli atau buyer terjalin. Memulai usaha eksportir sejak 2009, Lia mengaku setiap saat harus memperhatikan permintaan pasar ekspor yang dinamis.
“Perkembangan permintaan pasar ekspor yang semakin dinamis membuat kami dan UMKM harus terus giat dan kreatif dalam mengembangkan produk,” kata Lia di Lini Cargo, Jalan Gatot Subroto (Gatsu) Barat, Kota Denpasar, Selasa (29/7/2025).
2. Terpelanting pandemik COVID-19, hingga menanti implementasi pascakesepakatan tarif Trump

Sementara, Reza sebagai penyedia alur transportasi ekspor, mengatakan kondisi ekspor tahun 2025 ini cukup stabil. Meskipun sempat terpelanting karena pandemik COVID-19, pihaknya perlahan bangkit dari situasi tak menguntungkan itu.
“Kalau di Bali sendiri cukup stabil ya. Cuman kita kena hit (pukulan) setelah adanya pandemik. Itu aja jadi menurun,” tutur Reza.
Adanya kesepakatan tentang tarif Trump sebesar 10 persen, Reza belum memberikan banyak pandangan. Kini, Ia hanya mengamati situasi dan menunggu petunjuk pelaksana untuk eksportir pascakesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Amerika Serikat (AS).
“Harusnya berpengaruh. Karena paling tidak lebih rendahlah dari yang sebelumnya, di atas 30 persen dari sebelumnya,” kata dia.
Kejatuhan perekonomian Bali dipertegas paparan data Gubernur Bali, Wayan Koster. Koster mengatakan, ekonomi Bali tahun 2020 minus 9,3 persen. Kemudian tahun 2021 positif 1,46 persen. Tahun-tahun berikutnya ada peningkatan secara perlahan, seperti saat tahun 2022 sebesar 4,8 persen.
“Pengalaman pandemik COVID-19 kami telah membuat program transformasi agar Bali tidak bergantung pada satu kantung pariwisata, supaya Bali lebih berkelanjutan perekonomiannya,” kata Koster dalam agenda Pelepasan Ekspor Produk CV Naralia Group.
Ia memaparkan, Bali akan mengembangkan produk unggulan, selain pariwisata sebagai langkah transformasi ekonomi. Sektor yang akan dikembangkan seperti pertanian organik, kelautan dan perikanan, serta manufaktur khas Bali.
3. Produk lokal bergulat pada ketidakpastian hukum

Menteri Perdagangan Republik Indonesia (Mendag RI), Budi Santoso, berkata pengembangan produk UMKM dapat melalui program UMKM Bisa Ekspor. Dalam program ini, Kementerian Perdagangan RI akan mengajari tata cara inovasi dan pemasaran produk UMKM.
“Manajemennya kita ajari, kemudian siap adaptasi. Itu semacam marketplace-nya gitu, dan strateginya,” kata dia.
Budi menyebutkan ada sekitar 600 UMKM yang telah menjalani program presentasi dan promosi produk. Melalui pembinaan itu, total nilai transaksi setelahnya mencapai US$87,04 juta atau sekitar Rp1,3 triliun.
Sementara, Koster menyoroti regulasi yang belum memihak UMKM dan eksportir. Lelaki asal Desa Sembiran, Kabupaten Buleleng ini mengatakan ada peraturan yang melarang perdagangan produk garam lokal tradisional Bali. Larangan dalam aturan itu karena kadar yodium garam tradisional Bali kurang dari 20 persen.
Larangan itu membuat pihak Pemprov Bali mengambil langkah alternatif dengan mengeluarkan surat edaran yang bekerja sama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Melalui surat edaran itu, produk garam tradisional Bali dapat masuk ke pasar modern, mal, hingga minimarket.
“Jadi Pak Menteri, kita di Indonesia ini masih ada regulasi yang kurang berpihak kepada produk lokal,” kata Koster.
Menurutnya, sebelum berbicara melepas ketergantungan produk impor, langkah awal adalah mengubah regulasi. Selain garam tradisional Bali, Koster mencontohkan arak Bali yang awalnya dilarang karena aturan masa orde baru. Pascaterbit peraturan gubernur, pemasaran dan marketing arak bali kian luas dan merambah ekspor.
“Jadi ke depan kita harus lebih berpihak kepada produk-produk yang dihasilkan oleh masyarakat kita sendiri agar impor produk itu bisa kita kendalikan,” ujarnya.