Beda Nih, Pemerintah di Klungkung Bali Kritik Masyarakat Pakai Mural

Benar-benar beda dari yang lain

Klungkung, IDN Times - Dalam beberapa pekan terakhir, mural "berbau" mengkritik pemerintah di beberapa daerah dihapus oleh aparat. Alasannya, mural itu dianggap melanggar aturan mengenai ketertiban lingkungan, serta kalimat yang terdapat pada karya seni tersebut dinilai bernada provokatif dan menghasut.

Hal ini sampai menjadi perbincangan dan viral, karena dianggap mencederai kebebasan berekspresi maupun berpendapat.

Namun hal berbeda justru terjadi di Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali. Justru pemerintahnya yang mengkritik pola hidup masyarakat melalui mural.

Baca Juga: Nusa Penida Kembangkan Kerang Abalon, Kesukaan Orang Korea Nih!

1. Mural ini dilukis di sepanjang tembok TOSS Karangdadi

Beda Nih, Pemerintah di Klungkung Bali Kritik Masyarakat Pakai MuralIDN Times/Wayan Antara

Mural ini mungkin dapat dikatakan sebagai mural terpanjang di Bali. Muralnya terlukis di sepanjang tembok Tempat Olah Sampah Setempat (TOSS) di Dusun Karangdadi, Desa Kusamba, Kabupaten Klungkung. Panjang temboknya sekitar 500 meter.

Mural ini diinisiasi oleh Bupati Klungkung, I Nyoman Suwirta, dan rampung dilukis pada awal tahun 2021.

"Mural di Karangdadi itu dilukis oleh seniman-seniman lokal Klungkung," ungkap Suwirta, Jumat (27/8/2021).

Konsep mural tersebut juga sesuai dengan keinginan Suwirta tentang pengelolaan lingkungan. Suwirta enggan menyebut berapa biaya dari mural itu. Namun pembiayaannya juga dibantu oleh CSR (Corporate Social Responsibility) dari pihak swasta.

Baca Juga: 5 Tradisi Unik di Klungkung Bali, Jadi Incaran Para Fotografer Dunia

2. Mengkritik perilaku masyarakatnya yang berdampak kepada lingkungan

Beda Nih, Pemerintah di Klungkung Bali Kritik Masyarakat Pakai MuralIDN Times/Wayan Antara

Mural tersebut menggambarkan bagaimana pola hidup masyarakat sekitar, dan dampaknya terhadap lingkungan. Dari tembok paling sisi timur, tergambar jelas bagaimana sampah menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) akibat dari pengelolaan sampah yang belum berjalan di setiap desa. Bagaimana sampah-sampah itu mengotori lingkungan perumahan dan bahkan laut. Lalu ada pula gambaran sungai dan parit yang tercemar sampah, hingga akhirnya menimbulkan bencana banjir.

Sampah yang dibakar juga menghasilkan gas berbahaya dan dapat memicu kebakaran, serta bagaimana lingkungan yang kotor membuat kesehatan masyarakat terganggu dan merusak ekosistem.

Sisi sebaliknya tergambar di tembok sebelah barat. Digambarkan bagaimana perilaku masyarakat yang mau mencoba mengelola sampahnya. Seperti pemilahan sampah dari rumah, dan dikelola dengan baik oleh Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) di setiap desa.

Sampah organik yang telah dipilah lalu dikelola menjadi pupuk organik yang dapat menyuburkan tanaman. Kemudian mural berupa sampah plastik yang dapat dijual dan memberikan tambahan penghasilan bagi masyarakat.

Selain itu, ada pula mural lingkungan yang asri dan indah setelah masyarakatnya mampu mengelola sampah dengan baik.

3. Mural sebagai media edukasi dan berekspresi

Beda Nih, Pemerintah di Klungkung Bali Kritik Masyarakat Pakai Mural

Menurut Suwirta, mural itu sebenarnya sebagai media edukasi yang dapat menarik minat anak-anak dan masyarakat untuk belajar mengolah sampah. Sekaligus mengkritisi pola hidup masyarakat masa kini yang masih mengabaikan dampak lingkungan.

"Mural edukasi ini dibuat untuk memberikan pemahaman yang lebih, agar kesadaran masyarakat memilah sampah dari rumah tentunya semakin meningkat," ujar Suwirta.

Ia enggan berkomentar ketika disinggung mengenai mural-mural yang dihapus oleh aparat karena mengkritik pemerintah. Tetapi ia menilai, mural hanyalah media berekpresi yang seharusnya dilindungi oleh undang-undang.

"Mural hanyalah media, tergantung bagaimana kita mengekspresikan pesan kita. Kalau mengedukasi, tidak mungkin dihapus aparat kan? Kecuali kalau menulisnya di tembok orang dan tidak ada izin," ungkapnya sembari tertawa.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya