Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Warga Menjaga Sungai, Saat Negara Alpa Merawat

cover (3).jpg
Ilustrasi warga menuntut keadilan lingkungan. (IDN Times/Aditya Pratama)
Intinya sih...
  • Penelitian di tahun 2015 telah memprediksi potensi banjir parah di Denpasar
  • Komunitas yang aktif menjaga sungai menawarkan secercah harapan
  • Lemahnya penindakan hukum terhadap perusahaan yang mencemari sungai
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Denpasar, IDN Times - Harman Assegaf tak biasanya mendengar suara getaran yang sangat keras. "Terrt, terrt, terrt!" Ia tidak tahu persis dari mana arah suara itu berasal. Saat itu pukul 05.15 Wita, ia sedang menunaikan ibadah salat di tokonya, Armana Batik, Jalan Sulawesi Nomor 90, Kota Denpasar. Sekitar 15 menit kemudian, Harman mengambil kunci dan memutuskan keluar toko. Dari kesaksiannya, ia melihat ketinggian air di Jalan Sulawesi sekitar 80cm (centimeter). Kira-kira pukul 05.30 Wita itulah ia mendengar suara yang berbeda. "Bruk bruk bruk!" Harman lari ke jalan, dan baru menyadari Tasnim Textile berjarak satu bangunan dari kanan tokonya roboh.

"Waktunya cepat sekali," kata Harman.

Tasnim Binti Ibrahim (53) bersama putranya, Farwa Husain Bin Shiraz Husain (32), hanyut terbawa arus Tukad (Sungai) Badung bersama reruntuhan kain, dan benda lainnya. Mereka tinggal di Toko Tasnim Textile, dan ditemukan meninggal dunia satu hari setelah kejadian. Harman saat diwawancara IDN Times pukul 10.49 Wita, masih belum tahu kondisi tokonya karena tak berani masuk untuk memastikan.

Rabu, 10 September 2025 adalah hari duka bagi warga Bali. Toko Armana Batik milik Harman Assegaf baru diketahui ikut roboh beberapa jam setelah diwawancara. Begitu pula Toko Centrum di samping kanannya, dan ada empat orang yang tinggal di sini. Mereka adalah Maimunah (75) ditemukan meninggal; sang anak, Nadira (48), ditemukan meninggal; sang cucu, Khusay (23), ditemukan selamat; dan menantu, Muis (50), selamat. Hingga Minggu, 14 September 2025 pukul 08.00 Wita, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan 17 orang meninggal dan lima orang hilang dalam peristiwa ini. Total ada 620 jiwa terdampak banjir.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bali juga mencatat lebih dari 120 titik banjir menerjang tujuh wilayah administrasi. Kota Denpasar menjadi wilayah dengan jumlah paling tinggi terkena dampak banjir, yaitu sebanyak 81 titik. Berikutnya Kabupaten Gianyar 14 titik, Kabupaten Badung sebanyak 12 titik, Kabupaten Tabanan delapan titik, Kabupaten Karangasem dan Jembrana masing-masing empat titik. Terakhir, di Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung. Sedangkan tanah longsor juga terjadi di 12 titik Kabupaten Karangasem, lima titik di Kabupaten Gianyar, dan satu titik di Kabupaten Badung.

BNPB menetapkan status tanggap darurat bencana selama satu minggu. Itu berarti, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali harus segera bersurat agar Pemerintah Pusat bisa membantu penanganan dampak bencana. Menurut pemerintah, banjir di Kota Denpasar ini paling parah dalam satu dekade. Penanggulanganbencana.denpasarkota.go.id [1] merilis sebuah foto banjir setinggi pinggang hingga leher orang dewasa pada 20 Februari 2015. BPBD Kota Denpasar bahkan menyatakan bencana ini tercatat sebagai kejadian luar biasa.

Beberapa titik lokasi yang tergenang banjir di Denpasar yaitu Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah, sekitar Universitas Udayana (Unud), Jalan Raya Puputan, Jalan Tukad Bilok, Jalan Buluh Indah, Jalan Gunung Agung, Jalan Sari Gading, Jalan Pulau Serangan, Jalan Satelit, Lingkungan Bumi Ayu, Jalan Danau Tempe, Perum Purnawira, Perum Padang Asri, Jalan Gunung Payung, Jalan Teuku Umar, Jalan Ahmad Yani, Jalan Cokroaminoto, Pemogan, Jalan Imam Bonjol, Jalan Hayam Wuruk, Jalan WR Supratman, Ubung, Padang Sambian, dan Jalan Mahendradata.

Saking luar biasanya, Pemerintah Kota (Pemkot) Denpasar mengadakan Focus Group Discussion (FGD) Analisis Banjir Kota Denpasar di Kantor Badan Lingkungan Hidup Denpasar pada tanggal 23 April 2015. Mereka mengundang Pusat Pengelolaan Ekoregion (PPE) Bali dan Nusa Tenggara untuk menyampaikan hasil risetnya; Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Denpasar; Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Denpasar; BPBD Kota Denpasar; Dinas Tata Ruang dan Perumahan Kota Denpasar; Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Denpasar, serta camat se-Kota Denpasar.

Dalam laman ppebalinusra.menlhk.go.id [2], Kepala PPE Bali dan Nusa Tenggara kala itu, Novrizal Tahar, menyatakan kajian analisis banjir ini perlu disampaikan agar Kota Denpasar tidak menjadi Jakarta Jilid II. Dari hasil analisis timnya, curah hujan pada tanggal 20 Februari 2015 itu di atas 50mm (milimeter) per hari, kondisi topografi kota landai, adanya penurunan tingkat infiltrasi air hujan ke dalam tanah akibat banyaknya ruang terbangun, kapasitas drainase kurang memadai, kurang terawatnya saluran drainase (penyempitan, pendangkalan, dan penyumbatan oleh sampah), serta kurangnya area RTH (ruang terbuka hijau) khususnya di Kecamatan Denpasar Barat. Karena RTH di kawasan ini hanya seluas 524,20ha (hektare) atau 21,72 persen dari total wilayah Kota Denpasar.

PPE Bali-Nusra juga merekomendasikan perbaikan saluran drainase di wilayah-wilayah yang banjir, menambah luasan RTH di Kecamatan Denpasar Barat, meningkatkan infiltrasi air ke tanah dengan sistem peresapan air dan lubang biopori, larangan pembuangan limbah atau sampah ke saluran drainase atau sungai, menyiapkan sarana penampungan sampah, perawatan saluran drainase secara rutin (penggelontoran, pembersihan sampah, gulma, dan lumpur), perlindungan daerah resapan air, serta pengendalian aliran dari daerah hulu.

Tapi kondisi di lapangan secara gamblang memperlihatkan faktanya 10 tahun kemudian. Banjir kembali terjadi. IDN Times telah mengumpulkan beberapa titik banjir di Kota Denpasar dari hasil pemberitaan bali.idntimes.com, media massa online, hingga media sosial. Titik lokasi banjir di Kota Denpasar sangat tergambar jelas dalam peta di atas. Coba perbesar petanya menggunakan simbol (+) di pojok kiri bawah. Lalu tekan simbol anak panah di pojok kiri atas. Usap layar ke atas, dan pilih kotak di samping topografi hingga keluar simbol centang. Setelah itu, pilih satu titik di dekat lokasi banjir pada Maps. Nanti akan muncul penjelasan seberapa tinggi kontur Bali di kawasan banjir, dari hulu sampai hilir.

Tukad Ayung melintasi tiga Kabupaten: Bangli, Gianyar, Badung, dan hilirnya ke Kota Denpasar. Titik banjir di Kota Denpasar berada dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Badung dan DAS Mati. Kedua DAS ini masih satu kesatuan dengan DAS Ayung. Silakan ketuk layar di satu titik warna hijau yang berdekatan dengan lokasi banjir untuk melihatnya.

Memang, curah hujan dalam sehari pada Selasa, 9 September 2025 di Kecamatan Denpasar Barat tercatat 204,6mm. Begitu pula di Stage of Sanglah tercatat 188,4mm. Angka curah hujan ini merupakan akumulasi penghitungan selama 24 jam, dari tanggal 9 September 2025 mulai pukul 08.00 Wita hingga keesokan harinya di jam yang sama. Menurut Balai BMKG Wilayah III Denpasar, kedua curah hujan ini tergolong ekstrem karena angkanya di atas 150mm dalam sehari. Intensitas hujan ekstrem ini dipicu oleh kombinasi aktivitas Madden–Julian Oscillation (MJO), gelombang Kelvin, dan Rossby ekuator yang aktif bersamaan dengan kondisi atmosfer labil di Bali. Sehingga memperbesar risiko terbentuknya awan konvektif secara masif. BMKB Bali juga rutin mengeluarkan peringatan dini hujan ringan periode 7-9 September 2025 di berbagai platform sebagai upaya pencegahan semua pihak.

Persoalan penanganan sampah di Bali begitu masif. Sampah-sampah organik harus diolah di masing-masing rumah tangga maupun usaha. Dari yang awalnya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali terancam dipidana jika tidak segera menutup Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Suwung yang open dumping akhir 2025, sampai Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurrofiq, mempersilakan Bali untuk membuang 210 ton lebih sampah yang terbawa banjir ke TPA Suwung selama satu bulan.

Faisol juga menyinggung perubahan lahan di hulu tersisa 3 persen saja yang ditumbuhi pepohonan. Sementara di hilir menghadapi permasalahan sampah, hingga sistem drainase di sempadan sungai. Ia meminta pejabat pemerintah daerah (pemda) Bali untuk tidak main-main menangani persoalan ini. Ia memberi tenggat waktu tiga tahun untuk menanami pepohonan.

Kebijakan tanpa laku dan bakti tidak akan ada artinya, perlu merestorasi pola pikir selain infrastruktur

Berjarak 4,5km (kilometer) dari Jalan Sulawesi ke arah timur, desir angin di Tukad Bindu membuat daun saling bersentuhan. Aliran air sungai terlihat tenang pascahujan ekstrem 10 September 2025. Kala itu, I Gusti Rai Ari Temaja terjaga. Ia berkoordinasi agar gerbang sungai segera ditutup. Lelaki yang karib disapa Gung Nik ini berkata, dirinya telah mengamati adanya gejala hujan deras pada dinihari pukul 02.30 Wita.

“Jam 3 pagi sudah mulai nelepon, sudah ditutup (gerbang sungai). Kalau itu terlambat, malah celaka lagi,” kata Gung Nik saat ditemui di Tukad Bindu, Jalan Turi Nomor 68a, Kelurahan Kesiman, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar Sabtu lalu, 13 September 2025.

Membaca tanda alam terdengar mustahil. Tapi bagi Gung Nik, itu dapat dilakukan ketika mengabdi pada alam. Ia mengistilahkannya dengan membaca riak alam. Sebulan sebelum hujan ekstrem, Gung Nik mengingatkan warga sekitar Tukad Bindu agar berhati-hati di Bulan September hingga Oktober 2025.

“Mohon hati-hati jika bergiat ke sungai. Terus sebelum dua harinya juga saya ke Tukad Bindu. Saya mohon agar relawan siapkan sensor, tolong pokoknya, sudah harus ready mau ada apa. Kayak gitu,” jelasnya.

Sebelum mulai mengabdi pada Tukad Bindu, Gung Nik mengaku perjalanan untuk menata tempat ini tak mudah. Tidak semua orang langsung ingin terlibat, Gung Nik dan rekan lainnya berupaya memberikan nilai kemanfaatan. Satu di antaranya menggerakkan ekonomi di bantaran sungai. Sejak itu, perlahan beberapa orang mulai ikut menata Tukad Bindu, dan mencoba peluang usaha tanpa merisak sempadan sungai. Melalui prinsip pengelolaan komunitas, tujuan Gung Nik bersama beberapa penggagas lain agar warga merasa memiliki dan terlibat bersama menjaga sungai.

Sebelum 2010, warga tidak berani datang ke wilayah Tukad Bindu. Dahulu, sungai ini selalu dikaitkan dengan hal-hal tenget (seram). Menurut Gung Nik, seram itu karena pada dasarnya resem (kotor atau jorok). Melihat kondisi sungai tak terurus dan tertata, Gung Nik bersama dua rekan yang lain: Ida Bagus Made Suryadharma, Kelian Adat Banjar Ujung; dan Ida Bagus Ketut Suantara (almarhum), Lurah Kesiman, menginisiasi Tukad Bindu.

Lima belas tahun berlalu, pelestarian Tukad Bindu masih berjalan. sampai sekarang. Gung Nik dan rekan relawan lainnya mengupayakan mental block warga berubah, bahwa sungai itu tidak seram. Justru sungai seram karena tidak dirawat. Ia juga kerap mengedukasi warga di sekitar sungai agar memahami perannya.

“Yang ada di bantaran punya peran maksimal. Makanya bantaran ini diselamatkan sehingga mampu mengurangi musibah,” tutur Gung Nik. 

Sementara, pihaknya rutin berkoordinasi dengan berbagai stakeholder. Sistem informasi adanya bahaya di masa kini tersampaikan melalui komunikasi gawai. Gung Nik mengatakan, ada berbagai grup bersama warga beserta para komunitas untuk saling mengingatkan dan menjaga. Selain rutin mengedukasi cara menjaga sungai, Gung Nik dan relawan Tukad Bindu juga terlibat dalam pengelolaan sampah bersama warga.

Pihaknya menggunakan metode warisan leluhur untuk mengelola sampah, meletakkan sampah daun di tanah, dan membiarkannya mengalami pembusukan alami. Sesekali membakar daun, karena Gung Nik meyakini tumbuhan juga butuh karbondioksida setelah menghasilkan oksigen. Menurutnya, pola penanganan sampah di masa lalu saling berkaitan dengan satu makhluk hidup dan lainnya.

“Apa yang sudah diwariskan, kita polakan lagi, tidak mengganggu yang lain. Karena istilahnya kita, restorasi itu mengembalikan apa yang menjadi pola pikiran, bukan restorasi dalam arti wujud infrastruktur saja,” jawabnya.

Setelah warga ikut bahu-membahu saling memiliki dan menjaga sungai, terbentuk laku atau kebiasaan sehari-hari. Bagi Gung Nik, apa yang diterapkannya bersama warga adalah ilmu itu sendiri karena langsung dapat diaplikasikan, didiskusikan, dan dibicarakan. Menularkan nilai kebermanfaatan akan memperluas partisipasi, sehingga menguatkan kolaborasi.

“Nah, makanya sekarang polanya ya kita yang menggerakkan dulu, menciptakan sebuah nilai sehingga ada partisipasi. Partisipasi ini akan berkolaborasi,” ujar Gung Nik.

Gung Nik bercerita, umat Hindu Bali selalu mempersembahkan sesajen persembahyangan di jalan maupun perempatan. Itu baik, tapi Gung Nik mempertanyakan kenapa sesajen itu dibiarkan begitu saja setelah dihaturkan. Kenapa tidak ikut membersihkannya, kenapa sesajen itu ditinggalkan? Sederet pertanyaan yang tak dapat dijawab. Namun, dari cerita itu, Gung Nik menegaskan bahwa eling atau sadar terhadap keberadaan Sang Pencipta harus seiring dengan bakti atau laku sehari-hari.

Ketika mempersembahkan sesuatu harus ingat dan tanggung jawab. Rasa memiliki bukan hanya urusan pribadi. Itu yang masih jauh dari angan. Gung Nik mengamati, urusan menjaga alam masih menjadi tanggung jawab sekelompok. Memupuk kesadaran masing-masing individu menjadi tantangan baru di tengah era kehidupan individualis.

Gung Nik menyampaikan, hingga saat ini tak terbayang dirinya telah 15 tahun menjadi penjaga Tukad Bindu. Selain di Tukad Bindu, Ia kerap membantu bersih-bersih sungai di wilayah lain Kota Denpasar. Kegiatan itu tanpa imbalan, Ia datang karena panggilan hati.

“Kalau saya pribadi kebetulan saya sebagai pengabdi ya. Karena selama ini saya jujur ya, bukan masalah ketertarikan, memang dibawa ke sana (sungai) saya. Langkah saya selanjutnya juga gak tahu,” ucapnya.

Peristiwa banjir bandang 10 September 2025 lalu, bagi Gung Nik adalah efek multifaktor. Selain curah hujan ekstrem, kesadaran manusia untuk menjaga lingkungan, dan alih fungsi lahan juga menjadi faktor luapan air begitu dahsyat. Gung Nik berpesan, tak ada yang salah, begitu pula tak ada yang benar. Menurutnya, ini adalah pelajaran agar saling mengingatkan dan berbenah.

“Kita bisa membaca apa yang menjadi tanggung jawab kita sebagai tamu di bumi ini,” kata Gung Nik.

Manusia mencari nafkah dan penghidupan, mengganti pohon penahan hujan dengan kembang kol dan tanaman perkebunan berakar serabut. Gung Nik mengatakan, semua manusia memang benar karena berhak mencari penghidupan. Tapi menurutnya, akan menjadi salah jika melupakan risiko-risiko ke depannya.

Gung Nik berpesan, “Di sinilah kita harus mawas diri. Kalau bisa, dibangkitkan kegotong-royongan itu, saling mengingatkan. Kalau orang Bali bilang pada ngisi, pada isinin (saling berpegangan dan mengisi).”

WhatsApp Image 2025-09-14 at 12.46.23.jpeg
Warga memanfaatkan Tukad Bindu untuk memancing secara gratis. Sempadan sungainya juga terbebas dari bangunan. (IDN Times/Yuko Utami)

Hasil analisis tim PPE Bali-Nusra pada 2015 lalu dan peristiwa banjir Bali 10 September 2025 menjadi temuan fakta, bahwa banjir bukan semata-mata terjadi karena curah hujan ekstrem. Akademisi Arsitektur dan Pegiat Tata Ruang, Prof Putu Rumawan Salain, lebih cenderung menilai kawasan di Jalan Sulawesi dan sekitarnya merupakan arsitektur masa lalu yang tidak memiliki sempadan sungai. Rumawan menduga, ketiadaan bantaran maupun sempadan sungai karena aturan tata ruang di masa lalu belum mengaturnya.

“Jadi tidak ada bantaran sungainya sebagai batas antara bangunan dan jarak ke sungai,” kata Rumawan kepada IDN Times Kamis lalu, 11 September 2025.

Jalan Gajah Mada, Jalan Sulawesi, Jalan Kartini, dan sekitarnya merupakan kawasan Heritage Kota Denpasar. Bangunan pecinan dengan sentuhan gaya Belanda di area ini, menurut perkiraan Rumawan telah berdiri sekitar 50 tahun lebih. Ia mengatakan, bangunan berusia setengah abad lebih itu tidak dilakukan penelitian lebih lanjut oleh otoritas terkait. Begitu pula pemilik toko yang merasa tak ada masalah dengan bangunan, menjadi titik buta yang tidak terawasi.

Selain itu, arus air sungai dari bawah terus merongrong dasar bangunan. Konstruksi bangunan di wilayah tersebut-yang saling menyatu satu sama lain-mengakibatkan efek domino pada bangunan lainnya. Jika satu bangunan roboh, maka bangunan di sebelahnya juga berpotensi mengalami hal serupa. Semestinya ini menjadi evaluasi seluruh pihak. Penelitian ulang terhadap konstruksi bangunan di titik bencana sangat dibutuhkan. Bencana kemarin adalah kesempatan baik untuk melakukan pengkajian ulang terhadap seluruh sisi bangunan yang berada di tepi dan sekitar Sungai Badung.

“Jadi ini warning (peringatan) yang luar biasa dan saya merasakan sampai ingin menyampaikan duka yang mendalam bagi yang wafat karena banjir ini. Ini pekerjaan besar. Kemudian setelah bencana terjadi, kita harus berpikir terhadap pemanfaatan kembali kepada bangunan-bangunan yang ada di sekitar bantaran sungai itu. Jadi perlu mengadakan evaluasi ulanglah,” paparnya.

Rumawan menilai, suatu kawasan sebagai wilayah budaya atau heritage harus dipenuhi oleh tanggung jawab pencatatan kawasan zona pendukung yang disiplin. Pencatatan ini meliputi pengecekan, pemeriksaan ornamen dan bahan bangunan. Pengecekan ini turut memerhatikan konstruksinya, apakah masih layak atau tidak.

Secara teknis, Rumawan mengatakan, pengecekan dan perbaikan terhadap struktur jika bangunan telah berusia 25 tahun. Menurut Rumawan, pemerintah sangat memungkinkan untuk melakukan pengecekan struktur ini. Namun, jika dibiarkan secara pribadi maka pemilik gedung dapat mengecek dengan sertifikat layak fungsi (SLF). 

“Karena ini rentan, sejujurnya kan ini baru banjir. Belum lagi ada gempa, belum lagi kalau masalah electricity di Gajah Mada yang kabelnya saling tumpang tindih,” kata Rumawan. 

Pengamatan Rumawan bahwa kawasan heritage Denpasar semakin banyak aktivitas pembangunan dan alih fungsi lahan. Dari yang semula pertokoan kecil dan rumah penduduk, menjadi perkantoran hingga usaha besar lainnya. “Nah, itu semua harus dikaji dari segi aspek tata ruang, karena dengan demikian dia (perkantoran dan lainya) akan membebani jalan. Karena mobil akan banyak, membebani parkir dan yang lain,” tutur Rumawan.

Alih fungsi lahan yang berlangsung dengan tertutup bagi Rumawan menjadi awal kekacauan pemanfaatan ruang. Ini mengakibatkan sederet masalah seperti sampah, banjir, dan lainnya. Menurutnya, pemerintah sebagai regulator menyediakan kepastian atas kebijakan ruang.

Termasuk fungsi pengawasan yang layu, harus dibangkitkan. Rumawan menegaskan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali maupun Kota/Kabupaten aktif melakukan pengawasan atas tata ruang dan pemanfaatannya.  “Kemudian DPRD kan melalui pengawasan. Nah, sekarang dengan kejadian ini mestinya DPRD perlu aktif dong melakukan pengawasan,” tegasnya. 

Sementara, untuk pemilik gedung Rumawan menyarankan agar segera mengasuransikan gedung. Bagi penyewa, harus aktif mengecek kondisi gedung lama yang melebihi setengah abad agar tidak melebihi gedung.

infografis (1).jpg
Infograsif Sumber Pencemaran Sungai di Berbagai Daerah Indonesia. (IDN Times/Aditya Pratama)

Suara penjaga sungai menggema se-Nusantara

Banjir di Bali adalah rangkaian kemelut yang tak hanya membawa kalut. Luapan airnya menghanyutkan usaha, harta benda, dan mereka yang terkasih berakhir meregang nyawa. Rasa dan raga biru membiru, menuai ragu, akankah situasi ini terus beradu? Namun, satu hal yang dapat ditanyakan dalam masing-masing diri, sudahkah kita berkaca dan berbenah? Sudahkah kita berserah dan menghormati seluruh ciptaan-Nya? Sudahkah?

IDN Times Hyperlocal telah mengumpulkan cerita warga hingga komunitas dari berbagai daerah. Mereka melawan ketika sungai–sumber penghidupan dan sosialnya–terusik. Degradasi lingkungan semakin nyata, namun kebijakan dan laku pemerintah terlalu melemah.

Sungai Lematang termasuk satu dari sembilan sungai besar di Sumatra Selatan yang dapat dilalui kapal besar. Sungai ini berperan sebagai jalur perekonomian, sosial, dan budaya di Daerah Batanghari Sembilan (Sungai Lematang, Musi, Ogan, Komering, Kelingi, Rawas, Batanghari Leko, Banyuasin, dan Lalan). Tapi sekarang, warga di tiga desa daerah Kecamatan Merapi Barat, Kabupaten Lahat tidak lagi menggunakan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari. Sebab anak sungai yang mengaliri Desa Keboer, Desa Muara Maung, dan Desa Telatang disinyalir mengandung zat beracun seperti limbah B, dan limbah rumah tangga yang berasal dari drainase pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.

Ketua Yayasan Anak Padi Lahat, Sahwan, bercerita pencemaran itu terlihat dari perubahan pola para petani di sana. Mereka tidak mau menggunakan air sungai untuk pertanian, maupun mencari tambahan pendapatan dan lauk dari sungai. Dulu airnya jernih. Kini, terkadang warna air sungainya hitam, berbau, dan bikin gatal di kulit. Petani lebih memilih membuat sumur ketimbang menggunakan air sungai.

Warga bersama pegiat lingkungan telah menganalisis kondisi Sungai Lematang yang tercemar. Mereka menyuarakannya secara luring dan daring. Termasuk melayangkan protes ke perusahaan yang beroperasi, maupun Dinas Lingkungan Hidup dan Kementerian Lingkungan Hidup. Keresahannya bukan untuk menutup PLTU. Melainkan ingin memastikan kepatuhan perusahaan terhadap izin lingkungan. Semestinya, izin ini akan memudahkan pemerintah menganalisis kondisi sungai berdasarkan rentang waktu sejak sebelum PLTU dibangun, masa konstruksi, hingga beroperasi.

Jika keluhan itu tidak ada tanggapan, ke depannya warga akan menempuh langkah hukum sebagai jalan terakhir. Mereka perlu melakukan perlawanan, karena sumber penghidupannya di sungai terusik.

"Bisa juga nonlitigasi dengan mediasi atau advokasi bersama lembaga lingkungan," kata Sahwan saat diwawancara IDN Times Jumat lalu, 12 September 2025.

PP Nomor 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur kegunaan air berdasarkan kelasnya. Kelas Satu, dapat digunakan untuk air baku air minum; Kelas Dua, dapat digunakan sebagai prasarana atau sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, mengairi pertanaman; Kelas Tiga, digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, dan mengairi tanaman; dan Kelas Empat digunakan untuk mengairi pertanaman. Sungai Way Seputih di Kecamatan Sragi, Kabupaten Lampung Selatan masuk klasifikasi Sungai Kelas Tiga. Itu berarti, kualitas airnya tidak layak konsumsi.

Tambang pasir ilegal di bantaran Sungai Way Seputih sampai hari ini masih beraktivitas tanpa pengawasan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung menyoroti ada potensi limbahnya dibuang ke badan sungai. Direktur Walhi Lampung, Irfan Tri Musri, menilai pemda tidak serius. Pemerintah tidak punya rencana strategis dan inisiatif besar untuk meningkatkan kualitas sungai.

Pihaknya mendorong pemda agar meningkatkan target penetapan kelas sungai dari Kelas Tiga menjadi Kelas Dua. Kemudian meminta adanya pengawasan ketat terhadap aktivitas industri dan pertambangan ekstraktif yang bisa mencemari sungai, mendesak langkah penegakan hukum serius bagi pelaku perusak sungai, serta menuntut langkah perbaikan kawasan hulu sungai sebagai bagian dari pemulihan ekosistem.

“Upaya penyelamatan sungai tidak bisa ditunda,” kata Irfan Jumat, 12 September 2025.

Sungai Brantas termasuk sungai terpanjang kedua di Jawa Timur yang melewati 13 kabupaten/kota. Tetapi 46,7 persen penduduk Jawa Timur yang menggantungkan hidupnya pada sungai ini menghadapi kenyataan pahit. Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) bersama Jaringan AKSI Brantas menemukan lebih dari 4000 bangunan liar berupa pemukiman, gudang, fasilitas umum (fasum), dan bisnis berdiri di hulu hingga hilir sungai. Temuan ini hasil pantauan mereka di Kota Malang, Kabupaten Malang, Tulungagung, Kabupaten Blitar, Kabupaten Kediri, Kabupaten Jombang, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Gresik, dan Kota Surabaya.

Mereka juga menguji kualitas air Sungai Brantas dengan parameter DO, pH, TDS, Nitrat, nitrit, Phospat, suhu, keanekaragaman serangga, kadar mikroplastik, dan logam berat. Termasuk mengidentifikasi jenis atau merek sampah plastik melalui brand audit untuk mengetahui produsen yang sampahnya paling banyak ditemukan di sungai. Hasilnya, kondisi Sungai Brantas menunjukkan ada penurunan kualitas air, peningkatan kadar mikroplastik, dan penurunan keanekaragaman spesies ikan di Kali Brantas.

Tim peneliti Ecoton melihat langsung pembuangan limbah cair ke sungai brantas. (Dok. Ecoton).
Tim peneliti Ecoton melihat langsung pembuangan limbah cair ke Sungai Brantas. (Dok.Ecoton).

Pendiri Ecoton, Prigi Arisandi, menyebutkan sumber pencemaran di Sungai Brantas beraneka ragam. Ada limbah industri pabrik kertas, pabrik gula, dan pabrik penyedap rasa yang pernah membuat ikan mati secara massal pada 1972. Lalu limbah rumah tangga seperti pembersih lantai, detergen, pestisida, herbisida, limbah cucian kendaraan, hingga sampah plastik. Limbah sampah plastik yang dibuang langsung ke sungai juga menyebabkan kontaminasi mikroplastik di sepanjang DAS Brantas, dan masuk ke badan air tanpa pengolahan. Sungai Brantas pun jadi tercemar bakteri E-coli.

“Ini diperparah dengan pembiaran ribuan rumah dan tempat usaha beroperasi di bantaran Sungai Brantas. Limbah cairnya langsung dibuang ke sungai tanpa diolah," katanya saat diwawancara Sabtu lalu, 13 September 2025.

Sistem penanganan sampahnya berjalan dengan baik. Namun, hanya mampu melayani kurang dari 60 persen penduduk di DAS Brantas. Sehingga banyak penduduk di DAS brantas yang membuang sampah ke sungai. Satu sampah rumah tangga paling fenomenal yang dibuang ke sungai adalah popok bayi, mencapai 1 juta piece per hari karena buruknya pelayanan sampah pemda di DAS Brantas.

Lagi-lagi pemerintah setempat, menteri lingkungan hidup, dan menteri pekerjaan umum tidak tegas melakukan penindakan. Mereka saling lempar tanggung jawab, seolah meninggalkan kewenangan dan kolaborasi. Jangan sampai, lemahnya penegakan hukum membuat pelaku terus mengulangi tindakannya tanpa bimbingan.

Beralih ke daerah Jawa Barat, kebiasaan warga yang membuang sampah ke sungai nampaknya menjadi problem umum. Empat puluh enam anak sungai di Kota Bandung bermuara di Sungai Citarum. Komunitas River Cleanup sudah beberapa tahun ini membersihkan anak sungai di Kota Bandung setiap bulan. Tapi bukan sekadar bersih-bersih. Tujuan utama mereka sebenarnya pemberdayaan, membangun kesadaran anak muda dan warga untuk mencegah timbulan sampah.

Perlahan, mereka yang terlibat mulai mengubah perilaku. Banyak yang menjadi fasilitator edukasi secara individual maupun kelompok. Upaya edukasi ini memang butuh waktu lama. Selain di hilir, mereka harus fokus ke daerah hulu. Project Manager River Cleanup Indonesia, Egar Anugrah, bersama anggotanya juga menghadapi sampah tekstil seperti baju, celana, sisa kain, hingga kasur yang sulit dibersihkan di kawasan Bandung Barat.

"Bahkan ada selimut yang masuk sungai. Mungkin ya dibuang warga begitu aja," kata Egar kepada IDN Times Minggu, 14 September 2025.

Kini, River Cleanup akan bersih-bersih di aliran Sungai Cikapundung pada 20 September 2025. Mereka ingin warga terlibat agar bisa melihat sendiri kondisi Sungai Cikapundung. Sampah yang terkumpul nantinya dibawa ke tempat material fasilitas recovery untuk dikeringkan dan ditekan agar bentuknya menipis. Setelah itu dikirim ke pihak ketiga untuk dijadikan refuse derived fuel.

Setelah membersihkan sungai, River Cleanup Indonesia kemudian mengedukasi warga tentang upaya restorasi sungai. dalam kegiatan ini, para pemuda bertemu ketua RT, RW, dan lurah untuk mencari solusi untuk Sungai Cikapundung. Mereka berharap edukasi ini menjadi gerbang transformasi untuk mengubah perilaku warga, dan mengurangi sampah langsung dari rumah tanpa membebani TPA. Ia juga berharap pemda mengeluarkan aturan pelarangan penggunaan plastik sekali pakai.

Menurut Egar, aturan pengurangan sampah plastik sudah tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor P.75 Tahun 2019 Tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen untuk mencapai target pengurangan sampah sebesar 30 persen pada 2029 mendatang. Jadi, ia menantang pelaku industri, apakah serius menjalankan Permen ini dengan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Sebab, saat ini masih banyak produk berukuran plastik kecil yang beredar di toko. Warga seolah tidak punya pilihan, dan harus membeli produk tersebut.

"Produsen harus bertanggung jawab atas produk yang mereka buat. Regulasinya kan sudah jelas. Tinggal implementasi mereka seperti apa. Karena tidak mungkin mengandalkan masyarakat untuk membersihkan sampah plastik di sungai," katanya.

Kawasan pemukiman dan industri memadati bantaran Sungai Deli. Sungai yang dulunya sebagai jalur transportasi hasil perkebunan, dan penangkapan ikan telah berubah total. Sungainya tercemar limbah domestik hingga industri besar. Kota Medan, Sumatra Utara langganan banjir akibat pendangkalan dan penyempitan lahan.

Kelompok warga kemudian tergerak, berinisiatif membersihkan Sungai Deli dari sampah plastik. Mereka adalah Sanggar Sungai Deli (Sasude). Komunitas yang dibentuk pada 2018, lahir dari keprihatinan terhadap anak-anak di tepian Sungai Deli. Tekadnya adalah mengubah pola pikir anak-anak bahwa sungai bukanlah tong sampah.

Sungai Deli mengalami sedikit perubahan. Tepiannya menjadi taman terbuka. Meski begitu, masih saja ada sampah yang mengapung dan menumpuk di tepian sungai. Pola warga di bantaran sungai belum berubah. Menurut Pendiri Sanggar Sungai Deli (Sasude), Lukman Hakim Siagian, satu hal yang paling sulit dilakukan adalah mengajak kerja sama warga untuk membersihkan sungai, dan fasilitas pengelolaan sampah yang belum memadai.

Ia tak mau berhenti, dan lebih memilih komunitas lain yang peduli lingkungan untuk terlibat dalam pelestarian lingkungan.

"Mari kita lestarikan dan rawat sungai agar sungai memberikan manfaat yang baik, untuk sekarang dan masa yang akan datang," kata Lukman Hakim Siagian, saat diwawancara IDN Times Minggu lalu, 14 September 2025.

Warga sudah muak melihat perilaku bebalnya 15 pengrajin tahu di Dusun Karangreja, Kecamatan Kutasari, Jawa Tengah. Limbahnya dibuang langsung ke Sungai Punggawa. Banyak ikan mati, air berubah kehitaman, berbau, mengalir lambat, dan ada endapan busa putih pekat. Pihak desa dan camat sampai turun tangan menegurnya. Bukan sekali, tapi berkali-kali. Para pengusaha menuruti. Namun, ketika perangkat desa diam, mereka kembali beroperasi. Pihak desa kewalahan, sampai pada jenuh mengingatkan.

Sungai Punggawa merupakan bagian dari 96 anak Sungai Klawing yang bermuara ke Sungai Serayu di Jawa Tengah. Para petani terbiasa memanfaatkan sungai ini untuk mengairi sawah. Anak-anak juga kerap bermain dan mandi di sini. Warga kesal melihat pelaku industri ini tidak punya itikad baik. Akhirnya, perwakilan warga meminta advokasi kepada DPC Peradi SAI Purwokerto.

Warga bersama pemerintah desa dan Babinsa Karangreja kemudian ke lokasi, mencari sumber limbah. Mereka menemukan 15 rumah industri tahu yang diduga membuang limbah langsung ke aliran air. Empat belas di antaranya berada di Desa Limbangan, dan satu rumah industri di Karangreja. Kelima belas rumah industri ini kompak: sama-sama tidak punya IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah).

WhatsApp Image 2025-09-16 at 12.14.08.jpeg
Limbah tahu yang berbusa, alirannya mengarah ke Sungai Punggawa di Purbalingga, Minggu (15/6/2025).(IDN Times/Cokie Sutrisno)

Pasal 104 Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, telah mengatur seseorang dapat dipidana 3 tahun dan denda hingga Rp3 miliar jika secara sengaja membuang limbah dan mencemari lingkungan. Begitu pula Pasal 68 huruf a UU Nomor 17 Tahun 2019 Tentang Sumber Daya Air. Juga memberlakukan sanksi pidana minimal 6 bulan dan denda minimal Rp1 miliar bagi pihak yang merusak atau mencemari sumber daya air.

Aktivis lingkungan Forum Relawan Lintas Organisasi (Fortasi) Banyumas Raya, Eddy Wahono, telah melaporkan temuan ini ke Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak Yogyakarta. Sebab mereka yang punya kewenangan atas pengelolaan sungai tersebut. Ia berharap segera dilakukan investigasi teknis dan rekomendasi penegakan hukum dari pemerintah pusat.

“Kelima belas home industri harus segera membangun IPAL. Kalau tidak, ini akan menjadi pelanggaran serius terhadap hukum lingkungan dan sumber daya air,” kata Eddy.

Usaha tahu rumahan memang menjadi tulang punggung ekonomi bagi puluhan keluarga di Desa Limbangan. Situasi ini menggambarkan ketimpangan pembangunan lingkungan yang tak menyentuh sektor informal. Tidak adanya regulasi teknis, minim edukasi lingkungan, dan lemahnya pengawasan daerah memperburuk situasi.

Eddy menyebutkan, tanggung jawab pengawasan ada di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Purbalingga. Warga mendesak agar DLH tidak hanya bersikap reaktif, tapi mulai membina dan mengontrol industri skala kecil secara terstruktur.

“DLH harus hadir, harus ada regulasi IPAL komunal, pelatihan, bahkan insentif bagi pelaku usaha yang mau taat aturan,” saran Eddy Wahono.

Pencemaran Sungai Punggawa bukan hanya tentang limbah tahu. Ia adalah potret carut-marut tata kelola lingkungan di banyak daerah minim pengawasan, lemahnya regulasi usaha kecil, konflik antara ekonomi rakyat dan hak hidup sehat.

Referensi

  • https://www.penanggulanganbencana.denpasarkota.go.id/berita/banjir-di-denpasar-20-februari-2015
  • http://ppebalinusra.menlhk.go.id/focus-group-discussion-analisis-banjir-kota-denpasar/
Share
Topics
Editorial Team
Irma Yudistirani
EditorIrma Yudistirani
Follow Us

Latest News Bali

See More

Warga Menjaga Sungai, Saat Negara Alpa Merawat

16 Sep 2025, 18:30 WIBNews