“Ketika bhuana agung kacau, maka bhuana alit tubuh manusia kacau.”
Implementasi Teks Leluhur Bali di Dunia Nyata, Jauh Panggang dari Api

Gianyar, IDN Times - Ritual keagamaan Hindu Bali berjalan karena sumber-sumber teks leluhur berupa lontar. Kajian tentang lontar tumbuh dengan pesat, tapi implementasinya sehari-hari kian asat. Jro Penyarikan Duuran (setara sekretaris utama) Batur, I Ketut Eriadi Ariana, mengatakan ini menjadi tamparan keras bagi orang Bali.
“Kritik yang pedas untuk orang Bali, sering meromantisme teks narasi leluhur tapi kita lupa melakukan tindak perilaku. Mandala-mandala ini kacau balau. Sawah hilang, tidak ada hutan, laut penuh sampah ini kekacauan kosmos,” tutur Eriadi dalam diskusi tentang kosmologi Bali.
Diskusi bertema The Living Universe: Ritual, Nature, and Art in Balinese Cosmology atau dalam Bahasa Indonesia Alam Semesta yang Hidup: Ritual, Alam, dan Seni dalam Kosmologi Bali adalah rangkaian agenda Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2025. Eriadi dan dua pembicara lainnya, Purwita Sukahet dan Ketut Karja, membahas kosmologi Bali beserta serta terhadap alam dan seni di Taman Baca Ubud, Kabupaten Gianyar, pada Minggu (2/11/2025).
1. Sudah saatnya berhenti romantisme naskah lama, urgensi implementasi nyata

Eriadi menuturkan, topik tentang kosmologi Bali tak dapat terpisah dari konsep Rwa Bhineda, yaitu keseimbangan semesta. Contohnya di kehidupan nyata, yaitu konsep mengelola ruang dari hulu ke hilir. Titik tengahnya hulu dan hilir itu, kata Eriadi disebut dengan nama Madya Mandala, yang dapat jadi sumber pemanfaatan energi.
“Orang Bali hidup di antara dua kekuatan ini. Kami di Batur salah satu hulu Bali, terhubung juga dengan kawasan hilir. Sistem pasihan, pasih artinya cinta kasih, akhiran '-an'. Artinya, tempat diberikan cinta, dengan energinya air dan memberikan kehidupan di tengah,” tutur Eriadi.
Namun, Eriadi mengamati pemanfaatan ruang oleh manusia kian serampangan dan merangsek wilayah hulu. Ia menyoroti fenomena proyek investasi berlebihan, membuat alam hulu dan hilir kian terancam.
2. Kekacauan kosmos mengakibatkan gangguan kesehatan

Eriadi menjelaskan secara ringkas isi dari Lontar Bhuana Kosa, yaitu berisi konsep penyatuan bhuana agung (makrokosmos) dan bhuana alit (mikrokosmos).
Ia juga mengamati jalan sekitar Ubud yang banjir dalam hitungan menit setelah hujan pada Minggu, 2 November 2025. Melalui pengamatan di sekitar, Eriadi menegaskan bahwa kekacauan kosmos ini berkaitan dengan tingkah laku dan daya hayat manusia yang lemah. Baginya, bencana adalah cara alam mereset kekacauan dan manusia harus merenungi itu dan berbenah.
3. Kosmologi Bali dalam konteks kesenian, dua seniman lintas generasi berbicara

Pada konteks kesenian, seorang Pelukis Tradisional Bali, Wayan Karja, bercerita bahwa Ia telah mempelajari kosmologi Bali sejak kecil.
“Saya mempelajari kosmologi sejak kecil, tapi sungguh rumit,” tuturnya.
Meskipun kesulitan, Karja tetap melanjutkan pembelajaran kosmologi itu dari keluarganya, sehingga menjadi inspirasi berkarya. Misalnya dengan konsep pembabakan waktu, pagi-sore, siang-malam. Selama berkarya, Karja tetap mempertahankan penggunaan warna-warna pokok ala Bali, seperti putih, kuning, merah dan hitam.
Sementara itu, Seniman Milenial sekaligus Pendiri Gurat Institute, Purwita Sukahet, menyampaikan lontar Bali menjadi sarana baginya untuk mewacanakan seni rupa. Dari hasil risetnya, kosmologi Bali dan seni visual begitu kompleks.
“Setelah saya masuk, ada 16 arah mata angin, di tengah itu ternyata ada tiga. Kalau di Bali Siwa, Sada Siwa, Paramasiwa, untuk menemukan warna di tengah kalau gak salah Siwa Tattwa yang tak berwarna alias bening seperti embun pagi hari,” papar Purwita.
Purwita melanjutkan, penarikan pemahaman kosmologi Bali dalam kesenian membuatnya melek terhadap isu lingkungan. Konsep sakral baginya tidak dapat dirusak.
“Kalau tidak boleh menebang, ya jangan. Kalau tidak boleh membangun, ya jangan. Disakralkan,” tegasnya.

















