Alih Fungsi Hutan Mengepung Bali, Bayang-Bayang Bencana di Depan Mata

Denpasar, IDN Times - Pascabanjir bandang di Bali pada 10 September 2025, kondisi hutan sebagai sumber resapan air menuai sorotan tajam. Terutama kondisi hutan di wilayah hilir Bali dari luasan 400 hektare, hanya tersisa 12 hektare. Perwakilan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Bali, Ni Made Puriati, menyampaikan perubahan kondisi hutan di Bali adalah efek dari Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021 Tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial.
Puriati memaparkan, Permen Pengelolaan Perhutanan Sosial menempatkan posisi hutan adat sebagai bagian dari hutan negara, dengan permohonan pengelolaan diajukan dalam skema perhutanan sosial kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) RI. Padahal, satu sisi hutan adat merupakan hak yang melekat pada masyarakat hukum adat yang diberikan juga oleh negara melalui putusan MK dan ditindaklanjuti oleh Kementerian LHK RI.
Regulasi ini, menurut Puriati, telah melemahkan posisi masyarakat adat. Kondisi ini semakin nelangsa ketika Bali hanya punya luasan hutan yang sedikit.
“Saat ini situasi di Bali bahwa hutan-hutan sudah banyak berubah itu karena Peraturan PS, Peraturan PS itu Peraturan tentang Perhutanan Sosial,” ujar Puriati dalam diskusi RUU Masyarakat Adat di Hotel Neo Kota Denpasar beberapa waktu lalu.
1. Sejumlah titik di Bali mengalami alih fungsi hutan

Ada sejumlah daerah di Bali yang mengalami alih fungsi hutan di Bali. Hutan yang semestinya natural dengan pohon besar asli, digantikan oleh tanaman pangan berakar serabut. Fenomena itu terjadi di Kabupaten Jembrana. Kata Puriati, pembabatan hutan di Jembrana tak terelakkan dan berganti menjadi kebun jagung.
“Nah, ini banyak banget yang sekarang ini di Bali. Hutan itu dibabat menjadi hutan jagung di Bali Barat (Jembrana) dan Bangli,” kata dia.
Ia juga mengaku kecewa atas sikap Dinas Kehutanan di Bali dan daerah yang mengkhawatirkan pemberian hak hutan adat kepada masyarakat adat akan mengurangi luasan hutan. Puriati menegaskan, itu adalah logika yang tak masuk akal.
“Logikanya tidak masuk akal karena masyarakat adat tentu akan merawat hutan ini sebagai sumber kehidupannya, bukan sebagai hal yang untuk dikomersilkan. Nah, kalau mereka menjadi sumber kehidupan berarti sumber air, sumber semuanya ada di sana,” tegasnya.
2. Pemetaan hutan adat dan penantian RUU Masyarakat Adat

Satu solusi bagi Puriati terhadap carut-marut wilayah hutan di Bali dengan RUU Masyarakat Adat. Melalui RUU Masyarakat Adat semestinya jadi perlindungan awal bagi masyarakat adat sebagai subjek dan wilayahnya sebagai objek. Termasuk perlindungan hutan adat dari upaya penguasaan bisnis destruktif. Selain melalui regulasi, solusi yang telah dilakukan melalui pemetaan wilayah dan hutan adat. Masyarakat adat yang tengah berjuang dalam pengusulan hutan adat sebelumnya telah melakukan proses panjang pemetaan wilayah hutan adat, contohnya adalah Desa Adat Dalem Tamblingan.
“Kami sedang berjuang untuk pengajuan pengusulan hutan adat. Kami sekarang di BRWA bersama Yayasan Wisnu dan juga MDA (Majelis Desa Adat) mendorong pemetaan wewidangan (wilayah) desa adat ini bersama Aman (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Bali,” papar Puriati.
Solusi lainnya, Puriati mendesak perombakan besar-besaran atas sistem Online Single Submission (OSS) yang kerap disebutkan sebagai penyebab alih fungsi lahan karena melegalkan praktis bisnis dengan bebas dalam pemanfaatan lahan hijau.
“OSS itu sekarang menjadi momok bagi desa adat. Padahal desa adat adalah desa memulai di hak otonom, tapi desa adat merasa tidak memiliki hak itu. Semua diatur oleh negara,” kata dia.
Satu sisi, Puriati mengkhawatirkan kepekaan dan pengetahuan prajuru (pengurus) desa adat dalam melindungi wilayah adatnya. Sebab, beberapa kasus desa adat terlibat dalam sewa tanah adat kepada investor. Ia menyatakan agar Majelis Desa Adat (MDA) Bali mengambil peran dalam mencerdaskan para pemimpin adat.
“Sekarang kekhawatiran kami di Bali ini adalah Prajuru Desa Adat ini tidak memahami keotonomiannya,” ujar Puriati.
3. Pemerintah pusat dan daerah semestinya memilah implementasi regulasi Perlindungan Perhutanan Sosial

Sementara itu, Anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), I Ketut Kariyasa Adnyana, juga menyoroti adanya regulasi pusat yang membuat hutan dengan mudah terkelola sebagai kawasan industri. Baginya, kebijakan dalam Permen Pengelolaan Perhutanan Sosial tidak dapat diterapkan pada seluruh wilayah Indonesia, terutama bagi wilayah dengan luasan hutan terbatas seperti Bali.
Bagi Kariyasa, regulasi Pengelolaan Perhutanan Sosial jadi celah bagi korporasi memanfaatkan hutan seluas-luasnya untuk kepentingan bisnis. Ia menegaskan, pemerintah daerah (pemda) selayaknya punya taji untuk memilah regulasi yang ada.
“Nah, tidak mesti harus diterapkan di Bali, gak cocok seperti itu karena hutan di Bali adanya hutan kecil, hutannya rata-rata hutan lindung,” tutur Kariyasa.
Kariyasa mengaku pihaknya telah berdialog dengan Komisi V DPR RI yang membidangi sumber daya alam.
“Karena bidangnya di Komisi V, mereka itu harus melihat juga peraturan itu tidak mesti diterapkan kepada daerah-daerah seperti Bali yang hutannya kecil dan rata-rata hutan lindung,” tegasnya.


















