Setelah semua yang saya lihat, saya mulai bertanya pada diri sendiri. Kapan banjir di Bali berubah dari peringatan menjadi kebiasaan?
Sudahkah Keseimbangan Alam Bali Terjaga?

Memasuki Desember, Bali selalu terasa berbeda bagi saya. Bukan hanya karena akhir tahun dan liburan yang semakin dekat, tetapi juga karena perubahan musim yang kian terasa. Langit gelap yang terkadang bertahan berjam-jam, suara air tak putus menghantam atap, dan udara lembap menyelimuti ruang-ruang aktivitas.
Bagi sebagian orang, suasana ini mungkin memberi kesan akhir tahun yang tenang. Namun bagi mereka yang tinggal di daerah rawan banjir, Desember justru datang bersama rasa khawatir yang sulit diabaikan.
Ketika hujan turun berjam-jam, dengan cepat linimasa dipenuhi potongan video jalanan tergenang, foto rumah terendam, hingga pesan singkat dari teman yang sekadar menulis, “Di sini banjir.” Di antara semua unggahan itu, ada satu kalimat yang hampir selalu sama dan terasa akrab di pikiran, “Banjir lagi.”
Kalimat itu terdengar sederhana, tetapi menyimpan persoalan besar. Kata lagi seolah menandakan bahwa banjir telah menjadi sesuatu yang lumrah, sebuah rutinitas tahunan yang diterima tanpa banyak pertanyaan.
Kita mengeluh sebentar, membersihkan lumpur, lalu melanjutkan hidup, seakan semuanya akan kembali normal. Sampai hujan berikutnya turun lama, dan cerita yang sama kembali terulang. lagi dan lagi.
Bagi masyarakat yang tinggal di kawasan rawan, hujan berjam-jam bukan sekadar cuaca. Ia adalah tanda siaga. Barang-barang mulai diangkat, kendaraan dipindahkan, dan mata tak lepas memantau permukaan air.
Kewaspadaan ini lahir bukan dari kepanikan sesaat, melainkan dari pengalaman yang berulang. Banjir tidak lagi mengejutkan bagi mereka, melainkan diantisipasi sebagai kemungkinan yang selalu hadir setiap musim hujan.
Saya tidak menuliskan ini untuk memojokkan satu atau dua pihak, apalagi mencari siapa yang paling salah. Tulisan ini lahir dari kegelisahan pribadi dan sebuah ajakan untuk berhenti sejenak dan berkaca. Barangkali yang perlu kita lakukan bukan saling menyalahkan, melainkan bersama-sama merefleksikan diri.
sudah sejauh mana kita menjaga ruang hidup kita sendiri?
Bali, dan khususnya umat Hindu, sebenarnya tidak kekurangan nilai untuk belajar dari situasi ini. Kita mengenal Tri Hita Karana sebagai pegangan hidup. Dalam konteks banjir yang terus berulang, saya merasa bagian palemahan menjadi yang paling perlu kita renungkan bersama.
Palemahan mengingatkan bahwa alam bukan sekedar latar tempat kita hidup, melainkan ruang yang ikut menentukan keberlangsungan kehidupan sehari-hari. Namun kenyataannya, keseimbangan itu sering kali terabaikan.
Lahan hijau perlahan menyusut, sungai semakin sempit, daerah resapan tertutup bangunan, dan sampah masih dengan mudah kita lepaskan dari genggaman. Semua ini mungkin tampak sepele jika dilihat satu per satu, tetapi dampaknya terasa nyata ketika hujan turun berjam-jam dan air tak lagi punya tempat untuk pergi.
Bali hari ini terus bergerak, tumbuh, dan dibangun. Ruang-ruang terbuka berganti fungsi, halaman rumah mengeras oleh semen, dan sungai tak selalu lagi diberi ruang untuk menjalankan perannya secara alami.
Pembangunan tentu bukan sesuatu yang sepenuhnya keliru, tetapi ketika ia berjalan tanpa menjaga keseimbangan dengan alam, akibatnya sering kali baru kita rasakan saat hujan datang lama dan air mulai meluap.
Dalam keseharian, terganggunya keseimbangan dengan alam kerap hadir lewat kebiasaan-kebiasaan kecil. Saluran air yang tertutup karena parkir sembarangan, sampah yang dibuang dengan pikiran “nanti juga hanyut”, atau halaman rumah yang sepenuhnya tertutup tanpa ruang resapan.
Kebiasaan-kebiasaan ini mungkin terasa biasa, tetapi jika dilakukan bersama-sama, alam kehilangan kemampuannya menampung air. Saat itulah hujan yang seharusnya membawa kesejukan justru berubah menjadi ancaman.
Dalam situasi seperti ini, hujan sering menjadi pihak yang paling cepat disalahkan. Cuaca disebut ekstrem, alam dianggap tak bersahabat. Padahal, jika keseimbangan alam masih dijaga, hujan seharusnya tidak selalu berujung bencana. Hujan akan tetap menjadi sesuatu yang indah dan menenangkan, bukan ancaman yang datang disetiap akhir tahun.
Sebagai daerah yang hidup dari pariwisata, Bali sebenarnya sangat bergantung pada keseimbangan alamnya sendiri. Pantai, sawah, sungai, hingga udara yang bersih adalah alasan banyak orang datang dan kembali.
Namun ketika hujan turun berjam-jam dan banjir merendam jalan-jalan utama, pariwisata ikut terdampak. Perjalanan terhambat, aktivitas terganggu, dan Bali yang dikenal indah perlahan akan memperlihatkan sisi rapuhnya.
Refleksi ini kembali saya arahkan ke diri sendiri.
Apakah selama ini saya sudah cukup peduli pada lingkungan sekitar?
Apakah saya pernah benar-benar memikirkan ke mana air hujan mengalir, atau ke mana sampah yang saya buang bermuara?
Atau jangan-jangan, saya juga termasuk orang yang merasa aman selama dampaknya belum benar-benar saya rasakan sendiri?
Mungkin inilah yang perlu kita sadari bersama. Banjir di Bali bukan hanya tentang air yang meluap, tetapi tentang keseimbangan antara manusia dan alam yang perlahan terabaikan. Selama banjir terus kita terima sebagai rutinitas tahunan, selama itu pula peringatan dari alam akan datang dengan cara yang sama. Berulang, semakin keras, dan semakin sulit diabaikan.
Barangkali sudah saatnya kita berhenti sejenak. Bukan untuk saling menyalahkan, melainkan untuk bertanya dengan jujur pada diri sendiri.
Jika Tri Hita Karana terus kita gaungkan, sudahkah palemahan benar-benar kita rawat, atau baru kita ingat saat alam mulai memberi peringatan?


















