Singkatnya Penulisan Ulang Sejarah Indonesia bak Bikin Skripsi 2 Bulan

Gianyar, IDN Times - Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang dibentuk sejak Januari 2025, rencananya akan selesai Agustus 2025 mendatang bertepatan pada perayaan 80 tahun Republik Indonesia. Ada 100 orang lebih sejarawan dan arkeolog yang dilibatkan dalam penulisan ulang sejarah ini.
Sejarawan Prof Dr Anhar Gonggong MA mengatakan, ada sederet masalah dari tenggat waktu yang singkat untuk penulisan ulang sejarah. Menurutnya, 100 orang penulis akan menyulitkan proses penulisan dengan 10 judul buku, ditambah waktu yang singkat.
“Pikiran saya sebagai seorang yang belajar sejarah, nulis skripsi dua bulan tidak mungkin,” kata Anhar, pada Minggu (29/6/2025).
1. Menulis ulang dan penelitian paling singkat selama dua tahun

Anhar memperkirakan dari pengalamannya menulis buku sejarah, butuh waktu paling singkat dua tahun jika menulis ulang sejarah. Laki-laki berusia 81 tahun ini berkata, menulis ulang sejarah tidak hanya sekadar mengutip dari berbagai sumber disertasi dan menuliskannya.
“Harus penelitian dan penulisan. Dua-duanya tidak mudah karena penelitian butuh waktu penulisan juga,” kata dia.
Menurutnya, lebih baik jika proyek penulisan ulang sejarah Indonesia ini ditunda. Pemerintah dapat memikirkan ulang landasan dan tujuan dari penulisan ini. Baginya, waktu penulisan ini menjadi krusial karena buku sejarah akan menjadi landasan pemikiran dan arah bangsa.
2. Penulisan ulang sejarah juga terjadi di negara lain

Melalui Webinar Nasional bertajuk Menulis Ulang Indonesia: Tinjauan Kritis dari Perspektif Hukum, Budaya, dan Politik, Anhar menyebutkan bahwa penulisan ulang sejarah hal biasa, karena terjadi di negara lainnya seperti Jepang, Tiongkok, Korea Selatan, dan lainnya.
Pada masa awal reformasi, ia bercerita orang-orang menarik semua buku sejarah dari sekolah. Karena pada masa itu, orang menganggap isi buku itu adalah kebohongan. Kala itu, tidak hanya pembakaran, tetapi tuntutan terhadap sumber ilmu akan jadi persoalan, khususnya terkait sejarah bangsa. Kondisi di masa lalu ini membuat dirinya menegaskan agar pemerintah memetakan kembali tujuan penulisan ulang sejarah ini.
Menurut Anhar, pemerintah harus memiliki tim khusus dengan materi ajar yang jelas, seandainya 10 jilid buku itu telah jadi dan akan dipaparkan ke sekolah. Ia berpendapat, pemerintah jangan asal meringkas isi buku untuk bahan ajar.
3. Menunda bahasan sejarah

Anhar mengungkapkan, dalam penulisan sejarah, fakta-faktanya harus jelas dan dapat dipercaya. Jika sekadar isu, tak dapat dikatakan sebagai fakta sejarah.
“Bisa dipertanggungjawabkan dan sumbernya jelas. Inilah yang menyebabkan, saya katakan tunda dulu bahasan sejarahnya, daripada bertengkar,” ujarnya sembari tersenyum kecil.
Ia menambahkan, pemerintah tidak dapat mengabaikan penelitian resmi bahwa ada 50 orang Tionghoa yang diperkosa. Menurutnya, daripada mendebatkan istilah massal, pemerintah harus membuka mata atas sumber sejarah yang masih hidup, dan berupaya menemukan fakta-fakta lainnya.