Sejarah dan Sebaran Tari Gambuh, Tari Lakon Tertua di Bali
Tempo gamelan pelan tapi kadang cepat, tak hanya menari, terkadang mereka berdialog dengan Bahasa Bali halus. Beberapa tokoh utamanya berdialog dengan Bahasa Kawi atau Jawa Kuno.
Mereka adalah para penari Gambuh yang serba bisa. Berdasarkan catatan sejarah Lontar Candra Sengkala, Gambuh tercipta dan tumbuh karena Raja Udayana yang menyukai seni tari Bali dan Jawa.
Pengaruh budaya Jawa dalam Gambuh erat kaitannya dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit. Migrasi elite Kerajaan Majapahit ke Bali pada abad ke-15, menghasilkan perpaduan budaya lewat sastra Jawa seperti cerita Panji. Cerita inilah menjadi inspirasi alur maupun karakter dalam Tari Gambuh. Lalu apa saja fakta tari lakon tertua di Bali ini? Ini selengkapnya.
Masa feodal, raja-raja di Bali ikut menari sebagai tokoh utama
Masa kerajaan di Bali, popularitas Gambuh hanya sampai di lingkaran bangsawan. Tarian ini menunjukkan kehidupan raja berwibawa yang membantu warga. Termasuk kisah asmara pangeran dan putri raja. Raja-raja Bali pada masa lalu bahkan secara langsung memerankan peran raja dalam Tari Lakon Gambuh ini.
Selain tokoh raja, ada peran lainnya dengan strata sosial berbeda, seperti kepala pelayan dan asistennya serta pengawal raja. Beberapa kerajaan di Bali masa itu memiliki lokasi spesifik untuk mementaskan Gambuh, yang disebut dengan Bale Pegambuhan.
Tokoh utama dalam Gambuh seperti raja, pangeran, dan putri raja berdialog dengan Bahasa Kawi. Sedangkan, tokoh-tokoh seperti dayang dan punakawan saat saling berdialog menggunakan bahasa Bali. Percakapan dayang dan punakawan ini dapat memudahkan penonton memahami alur cerita tanpa harus mempelajari bahasa Kawi.
Tersebar di beberapa daerah karena kelompok penari
Eksklusivitas Gambuh pada masa kerajaan di Bali, berangsur memudar berkat para seniman yang menyebarkan pakem tarian ini. Sehingga terbentuklah sekaa gambuh atau kelompok-kelompok penari gambuh pada sejumlah daerah di Bali. Gambuh pun mulai lepas dari citra tari eksklusif dengan raja sebagai pemegang kendali peranan seniman.
Para seniman di desa-desa juga mulai menarikan Gambuh dengan lebih dinamis dan ragam gerak variatif. Mereka juga mulai menyeimbangkan penggunaan Bahasa Bali dan Kawi agar lebih mudah dipahami penonton.
Alunan Gambuh menggunakan instrumen gamelan Semar Pagulingan. Tipe gamelan ini cenderung lembut dan pelan. Penggunaan suling sepanjang 90 sentimeter adalah ciri khas gamelan pada Tari Gambuh.
Hampir punah karena minim generasi penerus
Meskipun telah terlepas dari genggaman feodal, Gambuh belakangan tumbuh dengan minimnya generasi penerus. Misalnya di Desa Pedungan, Kecamatan Denpasar Selatan para penari Gambuh telah berusia sepuh. Demi menjaga generasi penerus, Desa Pedungan menjadikan Gambuh sebagai tari bebali, tarian untuk pelaksanaan upacara di pura. Setiap enam bulan sekali, para penari menarikan Gambuh di Pura Puseh Desa Pedungan.
Momen Pentas Kesenian Bali (PKB) menjadi sarana menggaet anak muda untuk ambil peran dalam Tari Gambuh. Tak hanya di Desa Pedungan, seniman di Bali Utara tepatnya Banjar Dinas Ancak, Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng masih menarikan Gambuh lewat Sekaa Gambuh Yohana Pura Sari Abangan. Sementara di Desa Kedisan, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar, Tari Gambuh berdenyut melalui Sekaa Gambuh Kaga Wana Giri.
Eksklusivitas Gambuh pada masa kerajaan di Bali, berangsur memudar berkat para seniman yang menyebarkan pakem tarian ini. Sehingga, terbentuklah sekaa gambuh atau kelompok-kelompok penari gambuh pada sejumlah daerah di Bali. Gambuh pun mulai lepas dari citra tari eksklusif dengan raja sebagai pemegang kendali peranan seniman.
Para seniman di desa-desa juga mulai menarikan Gambuh dengan lebih dinamis dan ragam gerak variatif. Mereka juga mulai menyeimbangkan penggunaan bahasa Bali dan Kawi agar lebih mudah dipahami penonton.