- Menuntut penghentian upaya pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto;
- Partai politik, DPR RI dan MPR RI untuk menolak usulan Soeharto sebagai pahlawan nasional;
- Presiden dan DPR RI memerintahkan aparat penegak hukum untuk segera melanjutkan proses penegakan hukum dengan menyeret keluarga Soeharto dan kroninya yang terlibat kasus KKN maupun pelanggaran Hak Asasi Manusia ke pengadilan;
- Presiden Prabowo memerintahkan Jaksa Agung untuk segera melanjutkan proses penyelidikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu ke tahap penyidikan pelanggaran HAM berat;
- Presiden Prabowo dan DPR RI untuk berhenti menerbitkan kebijakan yang mengkhianati mandat reformasi, membahayakan demokrasi, HAM dan negara hukum.
Masyarakat Sipil Bali Menolak Usulan Gelar Pahlawan Kepada Soeharto

Denpasar, IDN Times - Penolakan usulan gelar pahlawan kepada Soeharto meluas ke seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Bali. Masyarakat sipil Bali yang tergabung dalam Koalisi MUAK atau Masyarakat untuk Adili Kejahatan HAM, menggelar doa bersama di Pura Dharma Praja Udiana Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali.
Koordinator Koalisi MUAK, Tomy Wiria, mengatakan doa bersama itu bertujuan agar Indonesia terhindar dari kejahatan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
“Doa bersama ini dilatarbelakangi atas diusulkannya pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto yang memiliki rekam jejak pelanggaran HAM berat selama 32 tahun memimpin Indonesia,” kata Tomy, Jumat (7/11/2025).
Sebelum doa bersama dilakukan pada pukul 11.00 Wita, aparat kepolisian mengerumuni masyarakat yang mengikuti doa bersama. Sehingga masyarakat tidak membentangkan spanduk Tolak Gelar Pahlawan Soeharto. Pihak keamanan Kantor DPRD Bali juga turut melarang masyarakat agar tidak membentangkan spanduk tersebut.
"Sepanjang doa bersama, pihak intel secara intens memotret masyarakat yang sembahyang di Pura Dharma Praja Udiana sehingga kekhusyukan dalam berdoa terganggu,” lanjut Tomy.
Selain doa bersama, bentuk penolakan masyarakat sipil di Bali dengan menggelar Aksi Kamisan Bali bertajuk Tolak Gelar Pahlawan Soeharto pada Kamis, 6 November 2025, di Monumen Perjuangan Rakyat Bali Bajra Sandhi, Kota Denpasar. Berikut poin-poin selengkapnya, tuntutan penolakan gelar pahlawan kepada Soeharto.
1. Koalisi MUAK menyatakan usulan gelar pahlawan kepada Soeharto adalah bentuk manipulasi sejarah

Melalui rilis resmi yang diterbitkan Koalisi MUAK, ada sejumlah poin penolakan dan keberatan atas usulan Menteri Sosial, Saifullah Yusuf alias Gus Ipul, yang berencana memberi gelar pahlawan nasional kepada mantan presiden Republik Indonesia ke-2, Soeharto. Sebelumnya, Partai Golongan Karya (Golkar), mengusulkan gelar pahlawan tersebut. Sementara, Pemerintah Pusat telah menerima usulan itu, kini tengah dalam proses pengkajian Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan bersama Presiden RI, Prabowo Subianto.
Rencananya, pengumuman atas hasil kajian itu akan dilaksanakan pada 10 November 2025, tepat pada Hari Pahlawan. Tomy, mewakili Koalisi MUAK, menegaskan bahwa usulan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto merupakan bentuk pengaburan bahkan manipulasi sejarah. Tujuannya untuk menghapus dosa Soeharto sebagai pelaku pelanggaran HAM berat, korupsi, kolusi dan nepotisme di bawah rezim Orde Baru.
Selama 32 tahun, Soeharto menampilkan kekuasaan otoriter dan penuh kekerasan. Transisi rezim kekuasaan Soekarno ke Soeharto, sejak akhir Desember 1965-1966, setidaknya 80 ribu jiwa menjadi korban kekerasan politik di Bali.
“Atas nama pembangunan pariwisata, rezim yang dipimpin Soeharto bersama Pemerintah Daerah (Pemda) Bali mengambil alih tanah adat di kawasan Tamblingan dan Tanah Lot dengan menggusur warga setempat,” tegas Tomy.
1. Koalisi MUAK menyebutkan sederet pelanggaran HAM berat di masa Pemerintahan Soeharto

Selain pelanggaran berat di atas, ada sederet pelanggaran berat lainnya. Mulai dari Peristiwa Talangsari, Lampung 1989. Laporan Keadaan HAM di Indonesia 1989 menyebut peristiwa tersebut menewaskan 31 orang dan beberapa orang lainnya dipenjara karena dituduh subversif.
Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, ada 13 orang masih dinyatakan hilang; Peristiwa Rumoh Geudong Aceh 1989-1998; hingga kerusuhan Mei 1998. Berdasarkan Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta mengungkapkan temuan adanya pelanggaran HAM yakni peristiwa 85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 kasus perkosaan.
Di sisi lain, Soeharto melalui Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, mengeksploitasi sumber daya alam maupun manusia. UU tersebut menyatakan bahwa hutan adalah kekayaan alam yang dikuasai negara, dan hutan perlu dilindungi dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat.
“Di mana undang-undang ini tidak mengakui pemukiman-pemukiman atau seluruh kawasan yang dikelola oleh rakyat di dalam kawasan hutan yang berimplikasi terhadap penggusuran paksa,” kata Tomy.
3. Jejak korupsi, kolusi, dan nepotisme pada era Orde Baru

Koalisi MUAK juga memaparkan jejak korupsi Soeharto tergambar melalui TAP MPR XI/MPR/1998, tertanggal 13 November 1998. Soeharto dituding sebagai pelaku korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Namun, dengan dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) tertanggal 12 Mei 2006, upaya menyelidiki kejahatan pidana korupsi Soeharto terhenti.
Tomy mengatakan, tuntutan reformasi untuk mengadili Soeharto terasa bagaikan angin lalu dan semakin jauh untuk dicapai. Padahal sejarah melalui regulasinya memandatkan negara menyeret Soeharto dan kroni-kroninya untuk bertanggung jawab secara hukum tercantum dalam TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 Tentang pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
“Apabila Soeharto dianugerahkan sebagai pahlawan nasional diterima, dapat dikatakan bahwa Presiden Prabowo turut melanggengkan KKN dan mengkhianati rakyat beserta amanat reformasi 1998,” tegas Tomy.
Koalisi MUAK lima poin tuntutan dalam pernyataan sikap, diantaranya sebagai berikut.

















