Sejarah adalah Fakta, Bukan Suka Semata Tapi Juga Duka Bangsa

Gianyar, IDN Times - Empat bulan lalu, tepatnya pada 10 Juni 2025, dialog sengit antara Pemimpin Redaksi IDN Times, Uni Lubis, dan Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, tayang dalam program dialog Real Talk IDN Times. Tayangan bertajuk Real Talk: Debat Panas!! Fadli Zon vs Uni Lubis Soal Revisi Buku Sejarah telah disaksikan 114 ribu lebih penonton di kanal YouTube IDN Times. Pascatayang, dialog keduanya menuai berbagai respon, terutama penyangkalan Fadli Zon atas kasus pemerkosaan massal yang terjadi pada 1998.
Keterangan Fadli Zon itu menuai kemarahan publik, terutama bagi para aktivis, korban, hingga keluarga korban atas peristiwa itu. Kala itu, Fadli Zon juga menyampaikan rencana ambisius Pemerintah Pusat untuk menulis ulang sejarah Indonesia. Kata Fadli, 100 orang terlibat dalam penulisan ulang sejarah Indonesia dengan luaran 10 jilid buku, yang sebelumnya direncanakan terbit pada 17 Agustus 2025 lalu.
Melalui dialog interaktif bertajuk Rewriting Indonesian History atau dalam bahasa Indonesia Menulis Ulang Sejarah Indonesia, Uni Lubis hadir bersama Sejarawan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sekaligus Sejarawan, Bonnie Triyana.
Keduanya sebagai pembicara dalam dialog yang dipandu oleh Janet Steele, Profesor Jurnalistik dan Hubungan Publik di Universitas George Washington, Amerika Serikat. Bagaimana dialog intens para narasumber dalam agenda Ubud Writers and Readers Festival di Taman Baca Ubud, Kabupaten Gianyar? Ini ulasan selengkapnya.
1. Sejak awal proyek penulisan ulang sejarah tidak transparan

Awal dialog, Uni membicarakan di balik obrolan sengitnya dengan Fadli Zon. Para penonton dari berbagai negara menyimak dengan serius, tampak penasaran. Anggaran penulisan ulang sejarah itu sebesar Rp9 miliar, dengan target 10 jilid buku dan melibatkan 100 orang ahli sejarah.
“Tapi dia (Fadli Zon) tidak pernah mengumumkan 100 orang sejarawan, kecuali para pemimpinnya," kata Uni.
Mendengar perkataan Uni, Janet menimpali dan bertanya kepada Bonnie, “Bonnie, kamu bukan satu dari mereka (100 orang sejarawan) kan?” Bonnie terkekeh dan langsung menyanggah, “Iya bukan.”
Uni melanjutkan, bahwa adanya proyek penulisan ulang sejarah ini berusaha menghapus sejarah kelam masa lalu.
“Semua penulisan sejarah yang ingin dibuat dengan nada positif, tidak dengan fakta, dia menyangkal bahwa pengalaman bangsa dan masyarakat bukan hanya soal yang baik, melainkan juga buruk,” tegas Uni.
2. Sejarah harus ditulis dengan fakta, teknologi memudahkan verifikasi

Uni berpendapat, sejarah harus ditulis dengan fakta. Ia meyakini bahwa prinsip itu sesuai dengan tanggung jawab profesi jurnalis.
“Saya percaya, sebagai jurnalis sejarah harus ditulis dengan fakta dengan segala kebenarannya,” kata dia.
Pada era digital saat ini, Uni bersyukur karena tidak ada lagi yang dapat menciptakan kebenaran tunggal. Sebab, teknologi membuat masyarakat mampu menelusuri fakta-fakta secara mandiri dan saling memverifikasi kebenarannya. Pascadialog dengan Fadli Zon viral, generasi muda beramai-ramai mencari tahu informasi tentang proyek penulisan sejarah. Termasuk ingin tahu lebih dalam apa yang terjadi di masa itu.
“Saya mendengar dari Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, setelah keterangan itu (Fadli Zon-pertanyakan perkosaan massal), buku yang paling banyak diunduh adalah Seri Dokumen Kunci Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Kasus Pemerkosaan,” papar Uni.
3. Sejarah semestinya ditulis dengan inklusif

Sementara itu, Bonnie menyampaikan bahwa sejarah semestinya ditulis dengan lebih inklusif. Inklusivitas penulisan sejarah baginya dengan menghargai sumber langsung maupun pegiat dari berbagai elemen masyarakat. Ketika kekuasaan menulis sejarah, itu jadi upaya kontrol atas memori masyarakat terhadap peristiwa 1998 di bawah Pemerintahan Soeharto.
“Itu (penulisan ulang sejarah) bukan sesuatu yang saya inginkan, bagi saya lebih baik memperkenalkan pendekatan inklusif dalam penulisan ulang sejarah,” tegasnya.
Bonnie melanjutkan, pendekatan inklusif dalam penulisan sejarah harus melibatkan sebanyak-banyaknya kekuatan warga dalam masyarakat. Mulai dari para perempuan, anak-anak, seniman, penulis, dan sebagainya.


















