Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

RUU Masyarakat Adat Belum Disahkan, di Mana Suara Adat Bali?

Ilustrasi masyarakat adat. (IDN Times/Yuko Utami)
Intinya sih...
  • RUU Masyarakat Adat terkatung-katung hingga 15 tahun
  • Arimbi Heroepoetri menegaskan pentingnya RUU Masyarakat Adat untuk pengakuan masyarakat adat sebagai manusia dengan hak-haknya.
  • RUU Masyarakat Adat akan masuk Prolegnas Periode 2024-2029 bersama RUU Perampasan Aset dan RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).

Gianyar, IDN Times - Hampir 15 tahun, Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat terkatung-katung. Arimbi Heroepoetri dari DebtWATCH Indonesia dan Tim Substansi Koalisi menegaskan, RUU Masyarakat Adat penting untuk segera disahkan.

“Kami ingin masyarakat adat diakui utuh sebagai masyarakat, sebagai manusia yang dari tradisi budayanya sampai akses kepada sumber-sumber penghidupannya. Dan itu adalah wilayah adat,” kata Arimbi dalam diskusi Pada Diskusi bertajuk Jalan Panjang Menanti Pengakuan Keadilan, dan Penghormatan Hak Masyarakat Adat.

Mengutip situs resmi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, RUU Masyarakat Adat akan masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Periode 2024-2029. RUU Masyarakat Adat ini masuk Prolegnas Periode 2024-2025 bersama RUU Perampasan Aset dan RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).

1. Arimbi menilai, ada 11 hal yang harus termuat dalam UU Masyarakat Adat

Ilustrasi Hukum (IDN Times/Fadillah)

Arimbi menjabarkan 11 hal yang harus termuat dalam UU Masyarakat Adat, antara lain pengaturan soal istilah dan definisi masyarakat adat, pendaftaran masyarakat adat, Hak Asasi Manusia (HAM) dan prinsipnya, aturan tentang pemulihan hak, hak atas identitas serta budaya.

Selanjutnya, kata dia, aturan tentang penyelesaian konflik, hak atas kekayaan intelektual, hak anak dan pemuda adat, hak perempuan adat, tindakan khusus sementara bagi masyarakat adat, tanggung jawab negara serta non-negara.

“Yang lain adalah harus ada soal yang jelas tentang resolusi penyelesaian konflik, karena sudah ratusan tahun konflik itu terjadi dan gak selesai. Adanya pembungkaman dan penyingkiran atau segala macamnya,” kata Arimbi dalam diskusi yang digelar 31 Maret 2025 itu. 

2. Tutupan hutan terbaik berada di wilayah masyarakat adat

Ilustrasi hutan adat. (IDN Times/Yuko Utami)

Sementara itu, Uli Artha Siagian dari Tim Kampanye Koalisi RUU Masyarakat Adat dan Walhi Nasional menjabarkan riset Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) dan Forest Watch Indonesia (FWI), di mana hutan terbaik yang ada saat ini secara tutupan, 70 persennya berada di wilayah masyarakat adat.

“Jadi kalau kemudian masyarakat adat tidak memiliki payung hukum untuk melindungi wilayah adat mereka, yang 70 persennya itu adalah hutan-hutan terbaik saat ini. Maka secara langsung, hutan-hutan tersisa kita akan hilang akibat aturan atau kebijakan sektoral lainnya,” kata 

Kaoem Telapak dan Koordinator Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, Veni Siregar mengungkapkan, pendekatan hak asasi manusia penting digunakan sebagai landasan penguatan RUU Masyarakat Adat.

“Bahwa pengakuan terhadap masyarakat adat sebagai subjek hukum itu menjadi hal yang penting. Sehingga dia bisa mewarnai isu apa aja,” ucap Veni.

3. RUU Masyarakat Adat belum dapat perhatian di Bali

Kantor Majelis Desa Adat (MDA) Bali. (IDN Times/Yuko Utami)

Sementara itu pegiat masyarakat adat di Bali, Ni Made Puriati berpendapat bahwa RUU Masyarakat Adat kurang mendapat perhatian di Bali. “Desa adat di Bali selama ini, saya lihat nyaman dengan stigma yang disematkan orang lain sebagai desa yang aman, tentram, dan sejahtera. Tanpa mereka sadari, desa adat sudah digerogoti dari semua sisi,” ujar Puriati.

Perempuan yang pernah menjabat sebagai Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) 2024 itu menambahkan, desa-desa adat di Bali seakan-akan tidak peduli dengan masalah dan ketidakadilan yang terjadi pada masyarakat adat di luar Bali. 

“Ini sangat terlihat dari sikap cuek, tak peduli, dan tidak aktifnya MDA (Majelis Desa Adat) Bali sebagai payung dari desa-desa adat di Bali untuk turut menyuarakan dan memperjuangkan RUU MA ini,” kata perempuan yang karib disapa Denik ini.

Meskipun begitu, Denik masih memaklumi dengan desa adat yang disibukkan oleh urusan internal masing-masing. Namun, MDA yang dibentuk Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali ini semestinya mengambil sikap atas perjuangan masyarakat adat dengan turut mengawal RUU MA.

“Peradaban Bali dalam ancaman, apalagi di daerah lainnya di luar Bali, tidak hanya peradaban, wilayah bahkan identitas mereka pun hampir punah dan bahkan hilang,” ungkapnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ni Komang Yuko Utami
Ita Lismawati F Malau
Ni Komang Yuko Utami
EditorNi Komang Yuko Utami
Follow Us