Realitas di Balik Rendahnya Indeks Ketimpangan Gender Bali

Denpasar, IDN Times - Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali merilis laporan Indeks Ketimpangan Gender (IKG), pada Senin (5/5/2025) lalu. Kepala BPS Provinsi Bali, Agus Gede Hendrayana Hermawan, memaparkan IKG di Bali lebih baik dibandingkan nasional.
“Kalau di Bali pembangunan terkait kesetaraan gender sudah lebih baik dari nasional,” kata Hermawan saat diwawancarai di Kantor BPS Bali pada Senin lalu, 5 Mei 2025. Berdasarkan penghitungan BPS Bali, poin IKG di Bali sebesar 0,239 pada 2023. Sementara tahun 2024 menjadi 0,183 alias turun 0,056 poin.
1. BPS Bali menjelaskan ada penyempurnaan pengukuran kesetaraan gender

Hermawan menjelaskan, data IKG telah melalui penyempurnaan. Sebelumnya, Indonesia mengadopsi dari UNDP menjadi Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). Kini UNDP menggantinya menjadi Gender Inequality Indeks (GII), dan Indonesia mengadopsinya jadi Indeks Ketimpangan Gender (IKG).
IKG mengukur kerugian potensial dalam capaian pembangunan manusia karena ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam beberapa aspek. Aspek itu di antaranya kesehatan reproduksi, pemberdayaan, dan pasar tenaga kerja.
Tahun 2024, IKG di Bali sebesar 0,183 poin dan nasional sebesar 0,421 poin. Jika melihat data perkembangan IKG per Kabupaten/Kota di Bali, hanya Gianyar dan Tabanan yang memiliki IKG lebih rendah dibandingkan Bali.
2. Pengamat menilai, banyak yang harus diperjuangkan dalam kesetaraan gender

Sekretaris LBH APIK Bali, Ni Luh Putu Anggreni, menilai banyak yang harus diperjuangkan dalam kesetaraan gender di Bali.
“Kalau dari sudut pandang saya, tentang penegakan hukum yang berkeadilan masih banyak yang harus diperjuangkan,” kata Anggreni saat dihubungi IDN Times pada Kamis, 8 Mei 2025.
Anggreni menuturkan, penegakan hukum berkeadilan gender masih jauh untuk perempuan miskin, perempuan disabilitas, dan kelompok rentan lainnya.
3. Perlu edukasi dan sosialisasi secara konsisten

Sepanjang menangani kasus dan mendampingi korban, Anggreni mengamati pelayanan lembaga layanan hukum masih belum maksimal mendukung perempuan.
“Masih kurang aparat penegakan hukum yang sensitif gender,” kata dia.
Menurut Anggreni, perlu upaya edukasi dan sosialisasi berbagai produk hukum terkait pelindungan perempuan dan anak.
“Sosialiasi dan edukasi melindungi perempuan dan anak serta peran pendampingan dalam pemberian layanan hukum bagi korban kekerasan," ujarnya.