Mengulik Ragam Pilihan Nganten ala Hindu Bali

Gianyar, IDN Times - Sugihartawan, generasi z di Bali tahun ini usianya 25 tahun. Lelaki yang karib disapa Wawan ini menikah pada Maret 2022 lalu. Pernikahannya mendadak, dengan pendanaan yang mendesak, dan tetap memilih nganten atau menikah ala Hindu Bali di kampung halamannya, Kabupaten Karangasem.
Pilihan ini karena Wawan menuruti kesepakatan bersama antara keluarganya dan keluarga sang istri.
“Karena dari pihak mempelai perempuan gak mau di griya (rumah untuk golongan brahmana atau pendeta. Jadinya keluarga dari mempelai perempuan gak bisa banyak nyaksinin (menyaksikan),” tulis Wawan saat dihubungi via pesan WhatsApp. Seperti apa kisah Wawan dan ragam pilihan nganten di Bali? Baca selengkapnya di bawah ini.
Menikah di kampung halaman, Wawan menghabiskan sekitar Rp45 juta

Wawan menjelaskan bagaimana prosesi yang dijalani saat memilih menikah di kampung. Pertama, Wawan melali (pergi menuju kediaman istri). Melali bertujuan untuk memperkenalkan diri kepada sanak keluarga sang istri. Setelah saling mengenal, Wawan dan istrinya menjalani prosesi mesadok.
“Habis itu bilang lagi kalau mau ke sana di lain hari untuk kasih kabar mau nyuang (meminang) anaknya, dan bawain duasa (hari baik untuk melangsungkan upacara di Bali) di hari tersebut kita berdiskusi,” kata Wawan.
Setelah prosesi mesadok, Wawan berkata Ia dan sang istri melakukan prosesi nyuang. Prosesi ini mengharuskan mempelai pria ke kediaman sang istri untuk meminta izin kepada kelian banjar (setara ketua RT) dan prajuru adat di kediaman istri, sebagai satu syarat pernikahan di Bali. Prosesi ini disebut dengan nama ngidih.
“Habis itu natab (menggerakkan kedua tangan di depan dada saat upacara) di rumah yang perempuan dulu, biak kaon anterin mempelai perempuan ke sanggahnya,” jelas Wawan.
Seusai prosesi natab di kediaman mempelai perempuan, dilanjutkan ke rumah mempelai pria untuk untuk prosesi natab, biak kaon, gedong-gedongan, dan wida-widana. Saat ditanya biaya yang dihabiskan untuk nganten di kampung halaman, Wawan merogoh kocek lebih dari Rp45 juta.
Kisah alternatif nganten di Bali ala Griya Buruan

Kini masyarakat mulai memilih griya sebagai alternatif tempat untuk melaksanakan prosesi nganten, tanpa ribet dan mudah. Contohnya di Griya Buruan. Lengkapnya bernama Pasraman Griya Gde Wayahan Buruan di bawah Yayasan Griya Gede Wayahan Buruan, Kabupaten Gianyar. Ida Bagus Adi Ananda adalah pendiri pasraman tersebut pada 2020. Gus Ade, begitu ia akrab disapa, menjelaskan bahwa sebelum mendirikan pasraman, pernikahan dan upacara manusia yadnya lainnya sudah lama berlangsung di Griya Gede Wayahan Buruan.
“Awalnya dari sana (Griya Gede Wayahan Buruan), sejak 15 tahun lalu sudah berjalan,” ujar Gus Ade.
Serupa dengan krematorium, prosesi upacara Manusia Yadnya yang berlangsung di griya banjir pro dan kontra dari masyarakat.
“Dulu kita banyak kendalanya. Alternatif ritual itu ada pro dan kontranya. Dulu masih kental sekali sistemnya, gotong royong. Nguopin istilahnya. Banyak yang menghujat, dikira griya itu tempat bisnis padahal gak gitu,” kata dia.
Namun, ia mengamati seiring perjalanan waktu, masyarakat mulai beralih ke griya.
“Mulai ada orang kerja, sibuk upacara di rumah, untuk mencari yang nguopin (membantu) agak susah. Waktunya lama. Masyarakat semakin beralih ke griya untuk melakukan upacara, tidak mengurangi arti dan makna. Cepat, praktis, dipuput Sulinggih,” kata Gus Ade.
Pelaksanaan upakara di Griya Buruan, menurut Gus Ade telah disesuaikan dengan dresta dan adat di Desa Buruan. Pihak griya juga memperhatikan riwayat mempelai yang akan menikah. Misalnya, bagi mempelai yang bujang, kelian adat maupun desanya wajib hadir. Begitu pula pasangan janda maupun duda, harus diperlihatkan dahulu dokumen sah perceraiannya secara hukum.
Berbagai tarif menikah di griya

Gus Ade menjelaskan, harga paket nganten di griya menyesuaikan dengan kemampuan masyarakat Bali. Jika menikah dengan prosesi mekala-kalaan saja, dipatok seharga Rp 2 juta. Sedangkan harga Rp 5 juta maupun Rp 6 juta bisa sampai prosesi mejaya-jaya hingga mesakap di duur. Ada pula paket seharga Rp45 juta, sudah termasuk tamu undangan dengan kapasitas 200 orang, konsumsi, dan dekorasinya.
Hingga saat ini, Gus Ade mengaku tak pernah memasang iklan untuk nganten di Griya Buruan. Kemungkinan iklan itu berjalan dari mulut ke mulut, sebab nganten di griya hadir sebagai alternatif nganten hemat.
“Kalau kita menghabiskan dana untuk biaya pernikahan yang besar, bagaimana ke depannya nanti. Belum lagi ada yang berencana punya anak,” kata Gus Ade.
Puncak keramaian nganten di Griya berlangsung saat sasih kapat (bulan keempat), purnama, hingga tilem di bulan tertentu. Termasuk juga ramai menyelenggarakan upacara tiga bulanan dan semacamnya. Gus Ade mengungkapkan, dalam sehari terdapat 8 pasangan yang menikah, dengan pembagian sistem privat dan bersama. Bagi yang memilih berlangsung privat, pasangan yang menikah hadir pukul 6 pagi hingga pukul 10 pagi. Begitu selanjutnya, hingga pukul 9 malam merupakan jam terakhir.
Terdapat 5 sulinggih yang memuput karya di dalam Griya Buruan. Terdapat 60 orang pegawai yang bertugas di bidang pembuatan sesajen (banten) maupun pelaksana acara saat upacara berlangsung. Gus Ade mengungkapkan, pihak UMKM juga dilibatkan untuk memenuhi stok banten (sesajen).
“Lebih banyak kita memakai UMKM masyarakat. Mereka jahit sendiri, kita beli di sana, di sini khusus produksi dan buat banten. H-3 acara buat persiapan banten,” ungkap Gus Ade.