Merawat Pangan di Bali, Pajegan Bikin Lemah Daya Tawar Petani

Denpasar, IDN Times - Sinar surya begitu terik, hamparan padi menguning menyala cerah karena pantulan matahari. Angin sepoi-sepoi membuat biji padi saling bersentuhan menciptakan suara gemericik yang unik. Satu petak sawah dengan padi menguning di Subak Sembung, Kelurahan Peguyangan, Kecamatan Denpasar Utara, seorang lelaki sibuk mengumpulkan rumput liar yang tumbuh di sela-sela persawahan.
Lelaki bernama Ketut Kembar (53) adalah seorang petani. Kembar bercerita 15 hari lagi akan memanen padinya yang telah menguning. Ia mendengar dari tengkulak, bahwa harga gabah akan menurun. Pada panen sebelumnya, gabah yang dipanen Kembar diberi harga Rp400 ribu. Kini hanya Rp380 ribu per are.
“Harga gabah menurun karena beras bulog yang keluar, gitu yang tiyang (saya) dengar dari tengkulak,” ungkap Kembar saat ditemui di Subak Sembung, pada Rabu (16/10/2024).
1. Sulit menjadi petani

Penghasilan Kembar sebagai petani dihitung berdasarkan luas lahan sawah yang digarapnya. Misalnya panen 50 are, dihargai Rp380 ribu per are. Jika dibagi 3 pihak, maka Kembar mendapat penghasilan sekitar Rp6 juta saat panen saja.
Lelaki asal Kabupayen Karangasem ini telah 30 tahun merantau ke Kota Denpasar. Ia mengaku sehari-hari menjadi petani kerap dilanda kesulitan.
“Dadi petani ten nyidang maju, keweh, pas-pasan, cukup ngajeng manten l, soalnya biaya tinggi mangkin,” keluh Kembar.
Menjadi petani tidak bisa maju, sulit, pas-pasan, hanya cukup untuk makan saja, soalnya biaya sekarang tinggi. Itulah yang diungkapkan Kembar jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia.
Menurut Kembar, semua obat-obatan untuk merawat padi mahal. Beberapa kali Kembar merugi, meski sudah mendapat subsidi pupuk sebanyak 8 karung, di mana per karungnya seberat 50 kilogram. Kondisi cuaca tak menentu berpengaruh terhadap hasil panen padinya yang berjenis Inpari 32.
2. Membaca peta ketahanan pangan Bali

Berdasarkan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan yang diterbitkan Badan Pangan Nasional (Bapanas), Bali secara nasional masuk golongan sangat tahan atau Prioritas 6 dalam kategori indeks ketahanan dan kerentanan pangan. Pada peta tersebut ditandai dengan warna hijau pekat. Namun, apabila dilihat lebih detail per kabupaten/kota di Bali, beberapa wilayah dalam kondisi memprihatinkan.
Misalnya di Desa Abangsongan, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli berwarna merah pekat dalam kondisi sangat rentan. Sedangkan khusus di Kota Denpasar, ketahanan pangan di Kelurahan Peguyangan termasuk dalam kategori agak tahan terhadap kerentanan pangan atau kategori Prioritas 4. Selain Peguyangan, ada beberapa kelurahan lain yang kondisinya serupa seperti Peguyangan Kangin, Kesiman, Dangin Puri Kauh, dan Pemecutan.
3. Ketahanan pangan terancam alih fungsi lahan

Akademisi Pertanian Universitas Udayana (Unud), I Made Sarjana, mengungkapkan beras adalah komoditas politik. Ada dilema dalam menentukan beras.
“Jika harganya tinggi, maka pemerintah dianggap tak becus bekerja. Jika harganya murah, malah petani selaku produsen beras menjerit. Jadi harganya diatur oleh pemerintah agar terkendali,” ungkapnya, pada Selasa (16/10/2024).
Menurut Sarjana, subsidi dari Bulog, biasanya diikuti dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) gabah. HET selayaknya memberi jaminan bahwa petani mendapat untung.
“Hanya saja petani cenderung memasarkan gabahnya dengan sistem pajegan (borongan). Kadang mereka tidak untung karena posisi tawarnya lemah saat negosiasi dengan pembeli gabahnya,” tambahnya.
Berbicara ketahanan pangan di Bali, bagi Sarjana posisi Pulau Dewata sangat rentan, akibat banyaknya alih fungsi lahan sawah untuk infrastruktur dan akomodasi pariwisata. Menurut pengamatannya, lahan sawah semakin sempit. Selain itu, produktivitas padi rendah akibat penggunaan teknologi kimiawi karena kesuburan lahan menurun dan mudah kena serangan penyakit.