Tak Ada Suka Sama Suka dalam Kasus Kekerasan Seksual Anak

Ipung: tak ada damai untuk terdakwa anak WNA Jepang

Denpasar, IDN Times – Seorang anak berkewarganegaraan Jepang, berinisial FS (17), terjerat tindak pidana dalam kejahatan seksual. Terdakwa melakukan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, pada Sabtu (5/11/2022) lalu, di sebuah kafe di Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Kasus ini pun terus berlanjut.

Kuasa hukum FS, Nyoman Ferry Supriadi, saat dikonfirmasi pada Senin (5/12/2022), mengaku bahwa kliennya FS sudah mencabut surat kuasa per 1 Desember 2022 lalu. Dengan begitu, saat ini pihaknya tidak lagi menjadi kuasa hukum FS.

Namun sebelum kuasa dicabut, Nyoman Ferry Supriadi mengungkapkan bahwa pihak keluarga FS berencana meminta maaf kepada keluarga korban. Dalam kasus ini, dianggap perbuatan tersebut dilakukan suka sama suka sehingga antara FS dan korban bersedia berpergian ke kafe di Jimbaran.

Mendapati pernyataan tersebut, pihak kuasa hukum korban menegaskan bahwa dalam perkara kekerasan seksual anak, tidak ada istilah suka sama suka. Mengapa?

Baca Juga: Cara Pelimpahan WNA Jepang Pemerkosa Anak di Bali Dikritik, Mengapa?

1. Kekerasan seksual terhadap anak merupakan kejahatan luar biasa

Tak Ada Suka Sama Suka dalam Kasus Kekerasan Seksual Anakilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Aditya Pratama)

Kuasa hukum korban, Siti Sapurah, yang kerap disapa Ipung, mengkritik keras istilah suka sama suka yang digaungkan dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak. Ia menekankan bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 perubahan kedua dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, berangkat dari Perpu Nomor 1 Tahun 2016 yaitu penetapan perubahan pengganti Undang-Undang yang khusus mengatur tentang apa yang terdapat atau diatur di dalam pasal 81 tentang persetubuhan anak di bawah umur, dan pasal 82 tentang perbuatan pencabulan terhadap anak di bawah umur yang tergolong kasus kejahatan seksual.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo sebelumnya juga mengungkapkan bahwa kasus kejahatan seksual terhadap anak harus diselesaikan dengan cara-cara yang luar biasa. Artinya bahwa tidak dikenal istilah suka sama suka.

“Kasus kejahatan seksual terhadap pada tahun 2016 ini dicetuskan oleh Bapak Presiden Joko Widodo mengatakan kejahatan yang luar biasa, yang harus diselesaikan dengan cara-cara luar biasa. Artinya apa? Dalam kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak tidak dikenal dengan istilah suka sama suka,” terangnya.

2. Terdakwa FS sudah merencanakan melakukan tindakan kekerasan seksual

Tak Ada Suka Sama Suka dalam Kasus Kekerasan Seksual AnakIlustrasi kekerasan seksual terhadap perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Ipung mengungkapkan dalam kasus kekerasan seksual yang dilakukan FS ini, jelas sesuai yang diterangkan dalam pasal 81. Barang siapa yang mengajak, membiarkan orang yang diajak untuk melakukan perbuatan persetubuhan dengan tipu muslihat, bujuk rayu.

“Jelas di sini ada. Tipu muslihat dan bujuk rayu ada. Ayo dong kita cari tempat sepi, itu bukan bujuk rayu? Tipu muslihat diajak dia minum sampai mabuk dan dia tidak berdaya. Ini seharusnya memberatkan si anak pelaku,” jelasnya.

Dari informasi yang dia himpun, perlakuan kekerasan seksual yang dilakukan terdakwa ini bukan kali pertama. Terdakwa telah melakukan kekerasan seksual persetubuhan anak terhadap adik kelasnya di sekolah sebelumnya. Kasus ini ia sampaikan tidak berlanjut ke jalur hukum. Kemudian terdakwa pindah sekolah dan melakukan kekerasan seksual serupa dengan korban yang saat ini menjadi kliennya.

“Sayangnya, dia tidak bertemu dengan orang yang bisa diajak berdamai. Sampai kasus ini masuk ke kepolisian. Harusnya yang dipasang oleh polisi, penyidik atau jaksa ini adalah pasal 76 D jo pasal 81 ayat 5. Kenapa? Korbannya lebih dari satu,” jelasnya.

Pasal 76 D juncto 81 ayat 5 UU RI Nomor 17 Tahun 2016 atas perubahan kedua dari UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak ini memilik ancaman kurungan penjara minimal 10 tahun maksimal 20 tahun.

3. Dalam perkara ini tidak ada damai maupun diversi

Tak Ada Suka Sama Suka dalam Kasus Kekerasan Seksual Anakilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Aditya Pratama)

Dengan pasal tersebut, menurut Ipung seharusnya dalam perkara ini tidak ada kata damai ataupun melakukan diversi. Termasuk terkait dengan pengajuan penangguhan penahanan. Dalam hal ini, ia mempertanyakan siapa yang bisa menjamin pelaku anak tidak mengulangi perbuatannya.

Ipung mendengar dari terdakwa FS yang mengatakan bahwa FS mengakui sudah pernah melakukan pelecehan seksual terhadap anak asal Indonesia dan tidak ditangkap oleh polisi. Kedua, bahwa FS hanya ingin melakukan atau menjalin pertemanan yang sama-sama menguntungkan.

Terdakwa anak FS juga disebut selalu membekali tasnya dengan satu kotak kondom. Artinya, tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan memang sudah dipersiapkan oleh terdakwa FS.

“Itu artinya tidak ada bahasa pembenar untuk berdamai atau melakukan diversi,” ungkap Ipung.

Diversi terhadap perkara anak ini ia ungkapkan boleh dilakukan jika ancaman pidananya di bawah atau sama dengan 7 tahun. Lalu apa alasan mengapa terdakwa anak FS ini harus ditahan?

Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak mengatakan dengan jelas jika anak pelaku di atas 14 tahun plus 1 hari sampai 18 tahun, harus dilakukan penahanan, atau boleh dilakukan penahanan badan.

4. Soroti sistem persidangan yang hanya menguntungkan pihak terdakwa anak

Tak Ada Suka Sama Suka dalam Kasus Kekerasan Seksual AnakIlustrasi pengadilan. (IDN Times/Sukma Shakti)

Sebelumnya, pada Selasa (29/11/2022), kasus ini telah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Denpasar secara daring. FS ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Anak yang berada di Kabupaten Bangli sejak saat itu hingga tanggal 3 Desember 2022.

Kasi Intel Kejaksaan Negeri Denpasar, Putu Eka Suyanta, pada Senin (5/12/2022) menyampaikan bahwa pihak FS tidak mengajukan penangguhan penahanan dan saat ini dilanjutkan dengan penahanan oleh Hakim.

“Besok online (sidang),” jawab Eka.

Menangapi hal tersebut, Ipung menekankan bahwa kliennya tidak mendapatkan keadilan dalam hal ini. Karena sidang dilakukan secara online dan pihak korban diminta datang ke Pengadilan Negeri Denpasar.

Sementara pihak terdakwa anak FS tidak dihadirkan ke pengadilan. Atas hal ini, pihak korban telah mengajukan keberatan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang kemudian disampaikan bahwa penetapan sidang online ini dilakukan oleh hakim. Pihak korban pun akhirnya kembali bersurat ke Ketua Pengadilan Negeri Denpasar.

“Lho kok enak, terdakwa enak-enak di ruang tertutup. Klien saya dan semuanya dihadirkan di ruang sidang. Adil nggak buat Indonesia? Kok kita menginjak-nginjak Undang-Undang kita sendiri?" tegasnya.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya