AJI Denpasar Desak Usut Tuntas Kasus Kekerasan Jurnalis di Bali

- Intimidasi dan kekerasan jurnalis saat meliput aksi belum ditangani serius
- Catatan kekerasan nonfisik jurnalis di Bali
- Kekerasan terhadap jurnalis melanggar demokrasi dan HAM
Denpasar, IDN Times – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar mencatat bahwa jurnalis di Bali masih bekerja dalam situasi yang jauh dari aman, sepanjang 2025. Ketua AJI Denpasar, Ayu Sulistyowati mengungkap, kasus kekerasan terhadap jurnalis yang berulang menunjukkan lemahnya komitmen negara dalam menjamin kebebasan pers.
Padahal, kata dia, kebebasan tersebut dijamin negara melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. ”Sepanjang 2025, kami masih melihat pola kekerasan terhadap jurnalis terus berulang, khususnya saat peliputan aksi demonstrasi dan isu-isu publik yang sensitif,” kata Ayu dalam rilis akhir tahun, Sabtu (27/12/2025).
Menurutnya, hal itu juga menandakan bahwa jurnalis belum sepenuhnya dilindungi ketika menjalankan tugas untuk kepentingan publik.
1. Intimidasi dan kekerasan jurnalis saat meliput aksi belum ditangani serius

AJI Denpasar mencatat, kasus paling serius terjadi pada 30 Agustus 2025, saat sejumlah jurnalis mengalami intimidasi dan kekerasan ketika meliput aksi demonstrasi di Denpasar, termasuk di kawasan Mapolda Bali. Dalam insiden itu, seorang jurnalis DetikBali bernama Febiola mengalami tindakan represif, meskipun telah menjalankan tugas jurnalistik dan menunjukkan identitas pers.
Menurut Ayu, lebih dari 100 hari sejak lapor awal September hingga akhir Desember 2025, penanganan kasus tersebut belum menunjukkan perkembangan yang berarti. Tidak adanya kejelasan proses hukum dan penetapan tersangka memperlihatkan lemahnya akuntabilitas aparat penegak hukum.
”Kekerasan terhadap jurnalis bukan hanya persoalan profesi, tetapi ancaman serius terhadap demokrasi. Jika pelakunya tidak diproses secara hukum, maka pesan yang muncul adalah kekerasan bisa dibiarkan dan dinormalisasi,” tegasnya.
2. Catatan kekerasan nonfisik jurnalis di Bali

Selain kekerasan fisik, AJI Denpasar juga mencatat berbagai bentuk kekerasan nonfisik yang dialami jurnalis di Bali sepanjang 2025. Bentuk tersebut seperti intimidasi, perampasan alat kerja, pemaksaan penghapusan data liputan, ancaman hukum, hingga serangan digital. Jurnalis perempuan juga dilaporkan mengalami kekerasan berbasis gender, baik secara langsung di lapangan maupun di ruang digital.
Sementara itu, Direktur Lembaga Advokasi dan Bantuan Hukum Indonesia (LABHI) Bali, I Made Suardana menilai, kondisi itu sebagai potret buruk perlindungan jurnalis di Bali. Ia menyebut, harapan agar kerja jurnalis mendapatkan perlindungan hukum selama 2025, akhirnya hanya sekadar wacana dan slogan.
”Kasus kekerasan terhadap wartawan DetikBali pada 30 Agustus 2025 sampai hari ini belum ada tindak lanjut yang berarti, apalagi penetapan tersangka. Ini sangat miris karena dugaan pelakunya adalah aparat,” ujar Suardana.
Ia juga menyoroti praktik persekusi terhadap jurnalis, termasuk perampasan alat kerja dan pemaksaan penghapusan data liputan saat aksi demonstrasi.
”Catatan ini menjadi potret kelam dan buruknya kepemimpinan Kapolda Bali jika kasus ini tidak mampu dibereskan sebelum Januari 2026. Jika polisi tidak menindak anggotanya sendiri, peristiwa serupa sangat mungkin terulang kembali,” katanya.
3. Kekerasan terhadap jurnalis melanggar demokrasi dan HAM

Sementara itu, Koordinator Advokasi LBH Bali, Ignatius Rhadite menilai bahwa tindakan intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis merupakan pelanggaran serius terhadap demokrasi dan hak asasi manusia atau HAM.
”Tindakan tersebut jelas melanggar Konstitusi, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Ini juga merupakan bentuk pengkhianatan terhadap mandat Reformasi,” ujar Rhadite.
Ia menambahkan, berulangnya kekerasan terhadap jurnalis menunjukkan kuatnya budaya arogansi dan kekerasan di tubuh aparat penegak hukum. Ini berpotensi menyeret negara kembali pada praktik otoritarianisme pra-Reformasi.
Menurut Rhadite, langkah pelaporan pidana atas kasus-kasus tersebut ditempuh untuk mencegah keberulangan dan memastikan adanya pertanggungjawaban hukum. Namun, lambannya penanganan perkara justru memunculkan situasi impunitas.
”Setelah lebih dari 100 hari dilaporkan, tidak ada perkembangan signifikan. Aparat negara sebagai pelaku dugaan pelanggaran HAM tidak dimintai pertanggungjawaban, sementara aktivis dan masyarakat sipil yang kritis justru kerap dikriminalisasi,” ujarnya.


















