Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Awig Jadi Pilar Pelestarian Hutan Bali di Tengah Perubahan Iklim

Kegiatan pelestarian hutan berbasis pariwisata budaya di Samsara Living Museum.. (IDN Times/Wayan Antara)
Intinya sih...
  • Menteri Kehutanan RI, Raja Juli Antoni menyoroti aturan adat Bali, seperti awig-awig, sebagai pilar utama pelestarian hutan.
  • Awig-awig dianggap lebih efektif dalam menjaga hutan daripada hukuman formal karena sanksi sosial yang bersifat kolektif.
  • Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat adat, dan lembaga diperlukan untuk mencapai target FOLU Net Sink 2030.

Karangasem, IDN Times - Menteri Kehutanan RI, Raja Juli Antoni menyambangi Samsara Living Museum di Desa Jungutan, Kecamatan Bebandem, Karangasem, Jumat (6/12/2024).  Dalam kunjungannya itu, ia menyinggung bagaimana aturan adat di Bali, seperti awig-awig, dapat menjadi pilar utama dalam pelestarian hutan.

Salah satunya, kata dia, dalam menghadapi derasnya pengaruh industri pariwisata dan ancaman perubahan iklim.

Raja Juli Antoni mengungkapkan, awig-awig dapat mendukung target pemerintah dalam mencapai FOLU Net Sink 2030, sebuah upaya mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) melalui pengelolaan lahan dan hutan.  

“Saya percaya desa dengan tradisi dan budaya yang kuat memiliki aturan adat yang mengikat masyarakat. Ini sangat efektif untuk menjaga hutan dan lingkungan,” ujar Raja Juli Antoni dalam acara bertema pelestarian hutan berbasis pariwisata budaya tersebut.

1. Peran awig-awig dalam pelestarian hutan

Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni. (IDN Times/Wayan Antara)

Menurut Menhut, sanksi sosial yang diterapkan melalui awig-awig lebih efektif dibandingkan hukuman formal. Ia mencontohkan bahwa pelaku penebangan liar kerap kali tidak jera, meskipun dihukum penjara. 

Namun, sanksi adat yang bersifat kolektif sering kali membuat masyarakat lebih patuh dalam menjaga hutan.  

“Di Bali, awig-awig seperti AD/ART di desa adat. Sanksi sosial dalam awig-awig bisa berupa denda atau hukuman adat yang bersifat mendidik, sesuai kesepakatan masyarakat setempat,” jelasnya.  

Ia juga menambahkan bahwa jika aturan adat ini disesuaikan dengan tantangan perubahan iklim saat ini, maka akan sangat membantu pemerintah dalam mencegah kerusakan hutan.  

2. Kolaborasi untuk FOLU Net Sink 2030

Kegiatan pelestarian hutan berbasis pariwisata budaya. (IDN Times/Wayan Antara)

Menhut menegaskan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, masyarakat adat, dan lembaga untuk mencapai target FOLU Net Sink 2030. Target ini bertujuan menciptakan kondisi di mana hutan menyerap lebih banyak emisi karbon daripada yang dilepaskan.  

“Tanpa kolaborasi semua pihak, target ini akan sulit tercapai,” ungkapnya.  

Acara yang bertujuan memadukan pelestarian lingkungan berbasis budaya ini juga dihadiri oleh Wakil Menteri Kebudayaan RI, Giring Ganesha, serta berbagai pemangku kepentingan lainnya.

3. Menhut Raja mengingatkan kearifan lokal untuk melestarikan hutan

Wakil Menteri Kebudayaan, Giring Ganesha saat menyambangi Museum Samsara(IDN Times/Wayan Antara)

Hal serupa diungkapkan Wakil Menteri Kebudayaan RI, Giring Ganesha. Menurutnya masyarakat di Bali selama ini telah memiliki kearifan lokal yang disebut Tri Hita Karana, yang selama ini menjadi pedoman masyarakat untuk menjaga hubunhan dengan tuhan, manusia, dan lingkungan.

"Tri Hita Karana, ada Parhyangan bagaimana menjaga hubungan dengan Tuhan. Bagaimana tradisi leluhur, yang meyakini Tuhan selalu menjaga hutan di sini. Pawongan, hubungan antar manusia melalui kesadaran kolektif untuk melestarikan hutan dan lingkungan. Serta Palemahan, menjaga keseimbangan dengan alam, melalui konservasi hutan berbasis budaya," jelas Giring.

Share
Topics
Editorial Team
Ita Lismawati F Malau
EditorIta Lismawati F Malau
Follow Us