Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Alih Fungsi Lahan, Perlahan Namun Pasti Menggerus Pulau Bali

Ilustrasi pembangunan vila di Badung. (IDN Times/Yuko Utami)
Ilustrasi pembangunan vila di Badung. (IDN Times/Yuko Utami)

Denpasar, IDN Times -  Alih fungsi lahan menggempur lahan pertanian, khususnya sawah di Bali, menjadi efek domino ke berbagai persoalan. Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali, alih fungsi lahan menambah kerentanan bencana di Bali. Direktur Eksekutif Walhi Bali, Made Krisna Dinata, mengamati lahan sawah di empat wilayah kabupaten atau kota yakni Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita).

Selama rentang 2018 hingga 2023, persentase penyusutan lahan sawah berkisar antara 3 hingga 6 persen dari luas masing-masing wilayah kabupaten/kota tersebut.

“Perkembangan wilayah dan pertumbuhan lahan terbangun menjadi satu penyebab berkurangnya luasan lahan pertanian, khususnya sawah di wilayah Metropolitan Sarbagita,” kata Krisna kepada IDN Times, Senin (15/9/2025).

1. Temuan Walhi Bali, setiap wilayah Sarbagita mengalami penurunan luas lahan sawah signifikan

WhatsApp Image 2025-07-08 at 12.03.18.jpeg
Saluran air di area jalan jebol Pasar Bajera, Tabanan. (IDN Times/Wira Sanjiwani)

Kota Denpasar mengalami penurunan lahan sawah sebanyak 784,67ha (hektare) atau 6,23 persen dari luas wilayah. Luasan sawah di Kabupaten Badung berkurang 1099,67ha dan Kabupaten Gianyar berkurang 1276,97ha. Penyusutan lahan sawah terbesar berada di Kabupaten Tabanan yaitu seluas 2676,61ha. Krisna menyampaikan, penurunan lahan sawah adalah konsekuensi dari perkembangan wilayah. Akibatnya, kebutuhan akan lahan memicu terjadinya alih fungsi lahan pertanian.

Sementara, temuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) RI, kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Ayung yang hanya menyisakan 1.500ha tutupan hutan dari total 49.500ha atau sekitar 3 persen. Padahal, secara ekologis, minimal 30 persen tutupan pohon diperlukan untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi DAS Ayung tergolong vital karena di bawahnya terdapat Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan. Jika hanya tersisa 3 persen, kapasitasnya untuk menahan curah hujan ekstrem sangat rendah.

Menteri LHK RI, Hanif Faisol Nurofiq, mengatakan sejak 2015 hingga 2024, Bali telah kehilangan 459ha hutan akibat konversi menjadi lahan nonhutan. Angka ini relatif kecil dibanding provinsi lain. Tapi untuk Bali, angka itu sangat signifikan karena dampaknya langsung terasa terhadap daya dukung lingkungan. Merespon temuan data pusat dan desakan lainnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali yang sempat menampik alih fungsi lahan sebagai faktor banjir, kini mengeluarkan kebijakan moratorium alih fungsi lahan produktif untuk fasilitas komersial. Kebijakan itu diputuskan pada Sabtu, 14 September 2025.

2. Tata ruang Bali buruk, sempadan pantai dan sungai jadi korban

WALHI Bali ungkap dampak alih fungsi lahan sebagai penyebab bencana. (Dok.IDN Times/WALHI Bali)
WALHI Bali ungkap dampak alih fungsi lahan sebagai penyebab bencana. (Dok.Walhi Bali)

Dampak atas hilangnya lahan pertanian berimplikasi pada lemahnya fungsi subak sebagai sistem irigasi tradisional Bali dan hidrologis alami.

“Subak memiliki fungsi sebagai saluran irigasi dan mendistribusi air yang turut menjaga dan mengatur sistem hidrologis air,” jelas Krisna.

Berdasarkan riset Guru Besar Pertanian Universitas Udayana (Unud), Almarhum Prof I Wayan Windia, setiap 1ha sawah mampu menampung 3000 ton air apabila tinggi airnya 7cm (centimeter).

Fungsi lahan sawah yang beralih, membuat air tidak tertampung secara maksimal. Menurutnya, hal ini tentu akan mengganggu sistem hidrologis air alami, air menjadi tidak tertampung dan teririgasi dengan baik.

"Sehingga timbulah banjir seperti yang kita lihat ini,” kata dia.

Krisna menyampaikan, implementasi tata ruang Bali amat buruk karena pihaknya kerap mendapati berbagai rencana pembangunan yang acapkali melabrak tata ruang. Misalnya, pembangunan akomodasi pariwisata yang mengalihfungsikan lahan sawah dan perkebunan menjadi bangungan. Termasuk pembangunan yang melabrak sempadan pantai dan sungai. Bahkan pembangunan yang dilakukan di kawasan rawan bencana.

“Hal ini tentu akan menjadi suatu kombinasi yang sangat krusial yang mengantarkan Bali pada situasi kerentanan terhadap bencana, salah satunya banjir,” terangnya.

3. Pemerintah Bali harus tegas melindungi Bali dari UU Cipta Kerja

Ilustrasi Hukum (IDN Times/Fadillah)
Ilustrasi Hukum (IDN Times/Fadillah)

Ada berbagai upaya nyata yang mesti dilakukan dalam mitigasi potensi ancaman bencana di kemudian hari. Krisna menyebutkan, upaya nyata itu dengan menghentikan segala bentuk pembangunan yang berpotensi menyebabkan alih fungsi lahan. Penghentian atau moratorium pembangunan akomodasi pariwisata yang masif di kawasan Sarbagita harus menjadi langkah awal.

Selain menata ruang agar tidak melanggar sempadan pantai dan sungai, lngkah nyata lainnya adalah dengan tidak membangun di kawasan zona hijau. Termasuk melakukan pemulihan nyata di berbagai titik atau lahan kritis di hulu Bali.

“Serta menghentikan ambisius pembangunan mega proyek yang mengorbankan lahan pertanian,” kata Krisna.

Mega proyek yang dimaksud Krisna di antaranya rencana pembangunan Jalan Tol Gilimanuk-Mengwi, Pengembangan kawasan Pelabuhan Sangsit, serta pembangunan akomodasi pariwisata yang amat mssif dilakukan di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung.

Krisna juga menyampaikan agar Pemprov Bali tidak tunduk dengan kebijakan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Ia menegaskan, semestinya Pemprov dapat mendorong Pemerintah Pusat agar meninjau ulang UU Cipta Kerja maupun menghentikan praktik Online Single Submission (OSS).

Share
Topics
Editorial Team
Irma Yudistirani
EditorIrma Yudistirani
Follow Us

Latest News Bali

See More

Alih Fungsi Lahan, Perlahan Namun Pasti Menggerus Pulau Bali

15 Sep 2025, 22:19 WIBNews