Akademisi Desak Pemprov Beri Solusi Pasca Penyegelan Usaha Petani Jatiluwih

- Sejarah Jatiluwih sebagai tempat rekreasi tentara Belanda sejak tahun 1945
- Tiga zona perencanaan wilayah Jatiluwih untuk menghindari konflik antara pariwisata dan pertanian
- Sarjana usulkan pembentukan Badan Pengelola WBD untuk menjaga kelestarian lahan sawah di Jatiluwih
Tabanan, IDN Times - Penyegelan tempat usaha di kawasan Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih, Tabanan yang dilakukan oleh Panitia Khusus Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (Pansus TRAP) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali berbuntut panjang. Penyegelan yang dilakukan bersama Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Bali pada Selasa (2/12/2025) terhadap 13 bangunan usaha karena dianggap melanggar tata ruang Lahan Sawah Dilindungi (LSD) dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) di Subak Sawah Jatiluwih diprotes petani.
Mereka melakukan protes dengan memasang seng dan pagar dari plastik di area sawahnya, pada Kamis (4/12/2025) dan Jumat (5/12/2025) mereka. Petani ingin mengais rezeki dari pariwisata sambil mengelola lahan sawah mereka. Penyegelan itu bagi mereka menghambat aktivitas ekonomi dan pariwisata.
Akademisi Pertanian Universitas Udayana (Unud), I Made Sarjana mengatakan penyegelan usaha di Jatiluwih oleh Pansus TRAP DPRD Bali tidak menyelesaikan masalah.
“Sekarang baru disidak oleh Pansus TRAP DPRD Bali dengan Satpol PP Provinsi dan Sekda Tabanan, tapi itu tidak menyelesaikan masalah, malah menimbulkan masalah baru sekarang. Karena dia bertindak tegas, tapi tidak memberikan solusi,” ujar Sarjana kepada IDN Times Jumat (6/12/2025).
1. Sejarah singkat Jatiluwih, jadi tempat rekreasi tentara Belanda

Jauh sebelum masalah antara pelestarian sawah, ekonomi, dan pariwisata muncul, Sarjana menceritakan awal mula Jatiluwih menjadi objek wisata seperti sekarang. Zaman perang revolusi sejak tahun 1945, tentara Belanda bersama sekutu yang berperang dengan tentara Jepang memiliki Kamp Militer di Tabanan.
“Menurut cerita orang lokal di sana itu bahwa setiap akhir pekan tentara-tentara itu berangkat ke Jatiluwih untuk mandi, untuk mencari bahan pangan, sayur-mayur, beras dan lain-lain,” kata Sarjana.
Setelah Indonesia berhasil merebut kembali kemerdekaan, tentara Belanda kembali ke negaranya. Para tentara pensiunan Belanda ingin kembali bernostalgia ke Jatiluwih. Mulailah saat itu cerita dari mulut ke mulut soal sawah Jatiluwih dan menjadi terkenal di luar negeri. Mereka mulai datang mengajak teman-teman pensiunan tentaranya.
2. Tiga zona sebagai saran untuk perencanaan wilayah Jatiluwih

Kembali ke masa kini, berbagai narasi muncul pasca penyegelan usaha di Jatiluwih. Misalnya ketidakadilan yang diterima masyarakat lokal, satu sisi pengusaha besar boleh membangun di sawah. Bagi Sarjana, polemik itu dapat diredakan dengan adanya perencanaan menyeluruh terhadap Jatiluwih.
“Perencanaan secara komprehensif Jatiluwih, semua stakeholder dilibatkan terus dicarikan dibuat zona-zona itu, harusnya sih memungkinkan,” ujar Sarjana.
Perencanaan itu menjadi penting agar pariwisata dan pertanian tidak saling bersinggungan dan menimbulkan konflik. Sarjana memaparkan, dalam perencanaan pariwisata ada pembagian tiga zona. Zona pertama adalah kawasan subak yang tidak boleh beralih fungsi. Zona kedua yaitu jalan setapak dan fasilitas pariwisata dengan bahan bangunan lokal dan ramah lingkungan, contohnya bambu. Sementara itu, zona ketiga adalah kawasan komersial untuk pariwisata misalnya untuk kawasan parkir, toko suvenir, restoran, hingga akomodasi.
3. Sarjana usulkan segera bentuk Badan Pengelola WBD

Sarjana mengamati tumbuhnya pariwisata di tengah lahan sawah Jatiluwih adalah kontribusi pemerintah dan masyarakat. Sebagai regulator pemerintah tidak dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat. Satu sisi, desakan ekonomi dan krisis generasi, membuat petani mulai memanfaatkan lahan mereka untuk fasilitas pariwisata. Status warisan budaya dunia (WBD) yang tidak sejalan dengan tanggung jawab menjaga kelestarian lahan, bagi Sarjana harus dicarikan solusi.
Janji pemerintah membentuk Badan Pengelola WBD belum terwujud. Sarjana menyoroti peran badan ini jadi krusial sebab fokus pada pelestarian. Ini berbeda dengan Badan Pengelola DTW yang berfokus ke pengembangan wisata.Karena badan pengelola WBD itu kan berarti yang di yang difokuskan adalah pelestarian itu.
“Badan Pengelola WBD fokus ke konservasi alamnya, konservasi budaya subak itu. Tapi kalau pariwisata ini kan lebih melihat nilai-nilai ekonomi, sebenarnya berbeda. Ini tidak ada mungkin karena berbagai kepentingan itu,” imbuhnya.
Pria yang juga menjabat sebagai Ketua Lab Subak dan Rekayasa Agrowisata Fakultas Pertanian Unud menyampaikan bahwa Pansus TRAP DPRD Bali memiliki kuasa untuk meminta Gubernur Bali segera membentuk Badang Pengelola WBD. Selain Jatiluwih, Badan Pengelola WBD nantinya secara bersama-sama dapat menyusun rencana detail untuk pelestarian warisan budaya untuk seluruh subak di Bali.
Saat ini ada 24 subak di Bali masuk dalam WBD, empat subak di Tampak Siring dan 20 subak di Catur Angga Batukaru, Tabanan. Kata Sarjana, subak lainnya di Bali perlu mendapat perhatian rencana detail zonasi, agar alih fungsi lahan sawah di Bali tidak semakin bertambah.
4. Edukasi pelestarian sawah kepada warga lokal dan perlu dialog bersama

Edukasi kepada warga lokal soal urgensi pelestarian sawah juga jadi krusial. Mengoptimalkan aspek ekonomi dengan kesadaran pelestarian yang minim akan berdampak ke generasi di masa depan.
“Kalau misalnya nanti semua sawah status WBD dicabut dari Jatiluwih dan sekitarnya, generasi mendatang anak cucunya itu tidak memiliki kesempatan yang sama menikmati Jatiluwih memiliki peluang pariwisata,” tutur Sarjana.
Ia menegaskan agar semua pihak mulai mendiskusikan langkah yang berkelanjutan dan menyeluruh. “Perlu duduk bersama dengan kepala dingin, bagaimana dan apa yang harus kita lakukan bersama untuk mencegah agar Jatiluwih tidak sampai status WBD-nya hilang.”















