Bagaimana Penjajah Memecah Bali dengan Kasta?

Kesalahpahaman tentang kasta berawal sejak Belanda menginjakkan kaki di Pulau Dewata. Kasta menciptakan ruang konflik kelas yang tak berkesudahan. Mulanya tak ada istilah kasta, Bali mengenal istilah warna.
Basa Bali Wiki menjelaskan, Catur Warna sebagai empat golongan strata kehidupan dalam masyarakat Hindu (Brahmana, Kesatria, Wesia, Sudra), baik dari segi keturunan maupun pekerjaan. Warna ini berasal dari ajaran Hindu di India, yaitu Wangsa atau Catur Wangsa.
Penulis Made Kembar Kerepun dalam bukunya berjudul Mengurai Benang Kusut Kasta: Membedah Kiat Pengajegan Kasta di Bali membedah berbagai polemik akibat kasta. Sejatinya, istilah yang sesuai dengan ajaran Hindu adalah Catur Warna, di antaranya Brahmana, Kstria, Waisya, dan Sudra. Sejatinya merupakan pembagian pekerjaan atau peran di masyarakat.
1. Kasta sebagai alat politik memecah-belah Bali

Meningkatnya atensi politik di Bali pada masa kerajaan berimplikasi terhadap pertumbuhan kerajaan-kerajaan kecil di Bali. Ramainya kerajaan di Bali ini menjadi celah bagi penjajah Belanda untuk mengatur siasat politik pemecah belah agar menguasai Bali. Pada masa itu, Belanda menerapkan adanya kasta sebagai jurang pemisah secara vertikal antara masyarakat dengan raja-raja.
Kepiawaian Belanda mengecoh masyarakat Bali di masa itu berhasil membuat masyarakat kebingungan. Pemahaman mereka tentang Catur Warna, yang merupakan pembagian peran di masyarakat, kian bias.
I Gede Juliantara dalam jurnal ilmiah berjudul Menanam Angin Menuai Badai: Baliseering dan Potret Ambivalensi Wajah Politik Kolonial Belanda Abad XX menjelaskan, Belanda mengalihkan konflik kasta dan ekonomi di Bali pada tahun 1846 dengan melawan kerajaan-kerajaan di Bali. Perang berdarah pun tak terelakkan.
Pascaperang, Belanda cuci tangan dengan proyek baliseering. Tujuannya untuk mengembalikan citra positif Belanda di mata dunia. Namun, konflik kasta masih meruncing. Hingga muncul perlawanan dari kelas sosial menengah Bali yang terdidik. Mereka mengkritik kaum tri wangsa melalui majalah Surya Kanta. Tak mau kalah, kaum tri wangsa membalas kritik kelas menengah dengan Majalah Bali Adnyana.
2. Dahulu, Bali tak mengenal kasta

Kerepun memberikan bukti bahwa tak ada kasta di Bali pada zaman Bali kuno. Pada zaman itu tidak ada gelar kebangsawanan bagi para Ksatria. Tak ada gelar seperti Ida Bagus, I Gusti Ngurah, Cokorda, dan sejenisnya.
Pada masa Pemerintahan Raja Kresna Kepakisan dan keturunannya mulai menggunakan struktur adat dan sosial bernama kasta. Gagasan itu disokong oleh tokoh-tokoh agama dari Jawa yang datang ke Bali, di antaranya Danghyang Nirarta dan Danghyang Astapaka.
Desa-desa Bali Aga, seperti Tenganan Pegeringsingan di Kabupaten Karangasem dan Trunyan di Kabupaten Bangli, tidak mengenal sistem kasta. Sistemnya egaliter, sejajar, dan horizontal. Tidak ada Brahmana, Ksatria, Wesia, dan Sudra.
Kerepun juga menuliskan Bali hanya mengenal Catur Warna. Kasta jika mengacu pada India merupakan pembagian sistem sosial berdasarkan keturunan. Adapun Catur Warna adalah pembabakan berdasarkan peranan pekerjaan, bukan darah ataupun keturunan.
3. Perkembangan kasta di masa kini

Catatan kelam kasta di Bali masih membekas. Beberapa masyarakat ada yang masih fanatik dengan kasta. Mereka yang berkasta kerap melarang keturunannya menikah dengan masyarakat tak berkasta. Kekhawatiran turun kasta masih dirasakan, Belanda berhasil menjajah Bali hingga saat ini.
Penulis Gede Aryantha Soetama dalam tulisannya berjudul Berbeda Kasta, Satu Kita dalam buku kumpulan esai Bali Tikam Bali, pembicaraan tentang kasta memendam persoalan lama. Menurut Aryantha, persoalan itu meliputi feodalisme dan hubungan kekerabatan yang vertikal tertutup. Menurutnya, pembahasan tentang kasta tak dibahas dalam forum terbuka yang resmi, tetapi masyarakat membahasnya dalam suasana tertutup.
Namun, sisi lainnya kasta tidak lagi menjadi pegangan menentukan peranan. Kemajuan peradaban membuat masyarakat dari warna apa pun, dapat mengambil peranan apa pun. Sehingga mengutamakan kompetensi dan keluhuran budi adalah bekal untuk menentukan peran.
Hal tersebut sejalan dengan tulisan Wayan Parthiana bertajuk Beberapa Perubahan dan Pergeseran Nilai-nilai Sosial Budaya dalam Masyarakat Bali mencoba memandang persoalan kasta di masa depan. Parthiana menuliskan, di masa depan kasta tak lagi bersifat vertikal tertutup, tapi berubah menjadi horizontal terbuka. Bagaimana menurut kamu, sudahkah demikian?