Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Pemberitaan Kekerasan Terhadap Anak, Jurnalis Jangan Egois

Data Pengaduan KPAI 2024. (bankdata.kpai.go.id)

Pernahkah kamu menghitung berapa jumlah kata dengan kata dasar “perkosa” saat membaca satu pemberitaan berbasis online secara utuh mengenai kekerasan seksual dengan korban anak? Pernahkah ketika membacanya dan telah menghitung kata tersebut, kemudian membayangkan jika korban itu anak, keponakan, sepupu, anak teman, anak tetangga dekat, anak saudara, bagaimana dampak psikologisnya?

Selain kata, beberapa pemberitaan dilengkapi dengan menggambarkan kejadiannya secara detil, seperti di mana tempat tinggalnya, bagaimana peristiwanya, bagimana lingkungannya. Kira-kira, penulisnya yang notabene jurnalis atau wartawan itu menggunakan empatinya, kah, saat membuat beritanya? Ke mana fungsi editor sebagai orang yang mengedit berita yang disetorkan jurnalis lapangannya?

Coba kalau kita selancar di mesin pencarian, hampir judul pemberitaan itu menggunakan: anak diperkosa. Kemudian bisa jadi lanjutan beritanya, misalnya anak korban perkosaan depresi hingga trauma. Sepenting itu harus selalu diberitakan kelanjutannya dari sisi anak? Sedangkan pemberitaan kelanjutan pelaku sering lewat begitu saja.

Namun menjadi seperti kabur apakah mungkin maksud hati wartawan atau medianya ingin membela korban? Bisa jadi pemberitaan itu sendiri dapat membahayakan korban. Bahkan hanya judul pun malah bisa menyakiti korban. Jejak digital dan rekam berita itu bisa selamanya ada baik di media cetak, siber, radio maupun televisi.

Berkurangnya sensitivitas

Peraturan yang mengatur etika jurnalis meliput isu anak. (aji.or.id)

Entah apakah demi sensasi serta persaingan antamedia, sehingga kode etik jurnalistik dan hak-hak anak menjadikan wartawan atau medianya mengabaikannya? Tak lagi mempertimbangkan layakkah berita itu, termasuk dampaknya yang bakal muncul dari berita penuh sensasi itu.

Sadar atau tidak disadari, media terperosok dalam eksploitasi hak anak, khususnya berita kekerasan seksual. Atas nama mengejar pageview, clikbait, rating siaran (media elektronik). Rasa-rasanya makin berkurang dan lemah sensitivitas wartawan, editor, serta medianya. Di mana nurani media yang seharusnya turut mempertimbangkan masa depan anak korban dari pemberitaanya.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bersama United Nations Internasional Children’s Emergency Fund (Unicef) menyusun Pedoman Peliputan dan Pemberitaan Tentang Anak (2020). Panduan tersebut memuat prinsip-prinsip penting yang perlu dipahami serta dipraktikkan. Alasan penyusunan pedoman ini yang termuat di dalamnya, tentunya agar pemuatan berita dapat sejalan dengan semangat melindungi hak-hak anak demi masa depannya.

Seperti beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 mengenai Pers, memuat pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Pers nasional juga menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.

Selanjutnya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 Tentang Penyiaran, memuat penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidik, hiburan yang sehat, kontrol, dan perekat sosial. Begitu pula termuat dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Lembaga penyiaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada anak dengan menyiarkan waktu program siaran sesuai golongan program siaran, dan memberikan perhatian khusus agar lembaga penyiaran wajib memperhatikan kepentingan anak dalam setiap aspek produksi siaran.

Maka, selayaknya memang jurnalis memiliki peran dan tanggung jawab untuk melindungi martabat anak, seperti dalam Pedoman Peliputan dan Pemberitaan Anak. Yaitu sikap “melindungi martabat” anak itu sendiri, antara lain ditunjukkan dengan meliput dan mempublikasikan tema anak secara proporsional dan menghindari sensasionalisme, terutama jika peristiwanya akan berdampak buruk pada anak. Misalnya, anak korban perundungan, korban kejahatan seksual, dan kasus- kasus lainnya.

Rambu-rambu bagi jurnalis dalam pedoman itu, antara lain tidak mewawancarai anak sebagai saksi dalam kasus yang pelaku kejahatannya belum tertangkap. Jurnalis tidak mewawancarai anak yang menjadi korban dan/atau pelaku kejahatan seksual. Mewawancarai anak –terutama-- yang menjadi korban kejahatan seksual, bisa membuatnya merasa mengalami kekerasan yang sama dua kali dan dapat memicu trauma lebih mendalam.

Jurnalis tidak mewawancarai anak yang dalam perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK). Jurnalis menghormati hak anak yang memberikan indikasi keengganan untuk diwawancarai. Sikap menghormati itu ditunjukkan dengan tidak melakukan upaya lanjutan jika anak memang tidak memberi kesediaan untuk diwawancarai.

Bisa dicabut

ilustrasi anak baca buku (pexels.com/Kindel Media)

Mengenai pencabutan berita, pemberitaan yang sudah dipublikasikan, berdasarkan Pedoman Pemberitaan Media Siber (2021), memang tidak dapat dicabut begitu saja karena alasan penyensoran dari pihak luar redaksi. Akan tetapi, ada pengecualian berita dapat dicabut jika terkait masalah SARA, kesusilaan, masa depan anak, pengalaman traumatik korban atau berdasarkan pertimbangan khusus lain yang ditetapkan Dewan Pers.

Elliot Cass, seorang jurnalis Child Rights International Network (CRIN), yang juga penulis dan pendukung Ethical Journalism Network (EJN), pernah menulis artikel berjudul Children in the News: Even Child Rights Groups are not Picture Perfect di EJN (2019).

Dua paragraf nukilan artikel tersebut: “How media portray children and how they deal with them is one of the key challenges facing ethical journalists and to help them get it right, reporters might expect children’s rights groups to provide not only good sources and relevant information, but model standards for portrayal of young people.”

Terjemahan lepasnya kurang lebih, Elliot menekankan bagaimana cara media menggambarkan anak-anak, dan cara mereka menangani anak-anak merupakan satu tantangan utama yang dihadapi jurnalis yang beretika. Untuk membantu mereka melakukannya dengan benar, wartawan mungkin mengharapkan kelompok yang peduli hak anak untuk tidak hanya menyediakan sumber yang baik dan informasi yang relevan, tetapi juga standar model untuk penggambaran anak muda.

Indonesia melalui Dewan Pers telah menerbitkan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak di 2019. Pedoman itu memuat 12 rincian penting untuk dicermati selama proses jurnalistik hingga menjadi produk jurnalistik.

Pedoman itu di antaranya wartawan memberitakan secara faktual dengan narasi yang bernuansa positif, empati, tidak memuat deskripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis. Lalu ada pedoman agar wartawan mempertimbangkan dampak psikologis anak dan efek negatif pemberitaan yang berlebihan.

https://dewanpers.or.id/assets/documents/pedoman/1903060524_2019-02_Pedoman_Pemberitaan_Ramah_Anak.pdf

Pentingnya menghargai anak

Prinsip Dasar Hak Anak (Unicef). (aji.or.id)

Ada beberapa perbedaan usia anak, di antaranya menurut Konvensi Hak Anak PBB, anak didefinisikan semua orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali ditentukan lain oleh hukum suatu negara. Di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Dalam Lokakarya Daring Peningkatan Kapasitas untuk Jurnalis tentang Krisis Iklim, Keamanan Air dan Hak Anak yang digelar United Nations Internasional Children’s Emergency Fund (Unicef) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia pada Februari 2025, para narasumber selalu mengingatkan dan menekankan pentingnya memahami etika jurnalistik demi melindungi anak-anak. Tak hanya memberikan rambu-rambunya, jurnalis diharapkan juga perlu mempromosikan perlindungan anak ini.

Paparan Ignatius Setiawan Cahyo Nugroho dari Unicef, menekankan terdapat enam prinsip pelibatan anak dalam segala hal, termasuk ketika wartawan menjalankan peliputannya. Yaitu:

  • Menghormati martabat dan hak setiap anak dalam setiap situasi
  • Berikan perhatian khusus pada hak mereka atas privasi dan kerahasiaan, hak untuk menyampaikan pendapat, berpartisipasi dalam keputusan yang memengaruhi mereka, serta hak untuk dilindungi dari bahaya dan dampak negatif
  • Melindungi kepentingan terbaik setiap anak di atas kepentingan lain, termasuk dalam advokasi isu anak dan promosi hak-hak anak
  • Dalam menentukan kepentingan terbaik anak, berikan pertimbangan yang layak terhadap hak anak untuk didengar, sesuai dengan usia dan tingkat kematangannya
  • Berkonsultasi dengan pihak yang paling dekat dengan situasi anak dan yang paling memahami konsekuensi politik, sosial, serta budaya dari setiap laporan atau peliputan
  • Tidak menerbitkan cerita atau gambar yang dapat membahayakan anak

Setiawan Cahyo dalam paparannya menekankan perlunya media memegang akurasi dan keadilan, privasi dan kerahasiaan, perlindungan dari bahaya, dan representasi yang berimbang. Akurasi dan keadilan yang dimaksud merupakan peliputan yang sensasional atau berlebihan dapat mendistorsi realitas dan meningkatkan risiko atau stigma terhadap anak.

Privasi dan kerahasiaan itu mengungkap identitas anak dapat membahayakan mereka, maka hindari menuliskan nama lengkap, foto, lokasi, atau detil identitas lainnya. Kemudian perlindungan dari bahaya ini berupa peliputan yang harus dilakukan dengan ramah anak dan senstif agar tidak menimbulkan trauma ulang dan menggunakan bahasa positif.

Representasi yang berimbang ini, menurut Setiawan, wartawan harus memberikan suara dengan cara bertanggung jawab dan etis. Hindari stereotip yang memperkuat presepsi negatif terkait gender, disabilitas atau latar belakang ekonomi.

Akuntabilitas dan profesionalisme jurnalis harus bersedia mengoreksi kesalahan dan mengakui jika peliputannya yang dilakukannya tidak adil atau menyesatkan. Peliputan yang etis berarti menghindari konflik kepentingan dan memastikan perspektif yang berimbang.

So, jika masih menemukan berita-berita sensasional, khususnya mengenai kekerasan seksual yang bertentangan dengan hak anak, mari kritisi bersama. Agar jurnalis tetap humanis dan tak egois.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Irma Yudistirani
EditorIrma Yudistirani
Follow Us