Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Jangan Nikahi Tubuh yang Belum Tumbuh

ilustrasi anak bermain (pexels.com/Tatiana Syrikova)
ilustrasi anak bermain (pexels.com/Tatiana Syrikova)

Di abad ketika manusia sudah bisa mengirim orang ke luar angkasa, ironi terbesar kita adalah masih tak mampu menjaga anak-anak dari pelaminan yang terlalu dini. Pernikahan anak terus terjadi bukan karena cinta yang tumbuh, tetapi karena kemiskinan, tradisi, dan pandangan usang yang menganggap masa depan bisa ditukar dengan mahar.

Fenomena ini bukan sekadar catatan statistik di laporan tahunan atau isu yang sesekali menghiasi media sosial. Ia adalah sebuah kenyataan yang sering terabaikan, mengakar kuat di banyak desa dan lorong kota, di mana keputusan besar tentang hidup anak ditentukan bukan oleh mereka sendiri. Di balik senyum kaku di pelaminan, ada cerita yang jarang diungkap, tentang mimpi yang dipangkas, pendidikan yang terhenti, dan masa anak-anak yang dicuri.

Lalu mengapa pernikahan dini masih terus terjadi di Indonesia? Jawabannya bukan sesederhana karena cinta atau sudah jodoh, melainkan rumit, berlapis, dan sering kali untuk saling menguatkan. Berikut enam alasan pernikahan dini masih terus terjadi di Indonesia.

1. Kemiskinan

Ilustrasi kemiskinan (Pexels.com/ahmedakacha)
Ilustrasi kemiskinan (Pexels.com/ahmedakacha)

Di banyak keluarga, terutama di daerah pedesaan atau kantong kemiskinan perkotaan, beban ekonomi membuat anak terutama perempuan dianggap sebagai beban finansial tambahan. menikahkan mereka dianggap sebagai jalan pintas untuk mengurangi tanggungan keluarga. Mahar atau bantuan finansial dari pihak laki-laki kadang dipandang sebagai solusi cepat atas kesulitan ekonomi.

Dampaknya, anak yang dinikahkan kehilangan kesempatan pendidikan dan keterampilan kerja, sehingga ketika dewasa ia cenderung tetap berada di garis kemiskinan.

2. Norma budaya dan tekanan sosial

Ilustrasi budaya. (Pexels.com/sahilprajapati)
Ilustrasi budaya. (Pexels.com/sahilprajapati)

Di beberapa daerah, menikahkan anak di usia muda adalah warisan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Ada anggapan bahwa perempuan yang terlalu lama tidak dinikahkan akan menjadi aib atau tidak laku. Tekanan dari keluarga besar dan masyarakat membuat orang tua merasa lebih baik menikahkan anak lebih cepat daripada menghadapi cibiran atau gosip.

Dampaknya, norma ini menjadi pembenaran sosial, sehingga orang tua merasa tidak salah meski keputusan tersebut merampas masa depan anak.

3. Tafsir agama yang disalahpahami

Ilustrasi agama (Pexels.com/davidmceachen)
Ilustrasi agama (Pexels.com/davidmceachen)

Sebagian masyarakat memaknai teks keagamaan secara literal tanpa mempertimbangkan konteks sosial modern, lalu menggunakannya untuk membenarkan pernikahan anak. Padahal, banyak tokoh agama menegaskan bahwa inti ajaran adalah perlindungan, bukan eksploitasi anak.

Dampaknya, perdebatan menjadi sensitif, karena menyinggung keyakinan seseorang. Hal ini membuat advokasi jauh lebih sulit dilakukan tanpa pendekatan kultural dan dialog lintas tokoh agama.

4. Rendahnya akses pendidikan

ilustrasi anak-anak (Pexeles.com/rebeccazaal)
ilustrasi anak-anak (Pexeles.com/rebeccazaal)

Anak-anak yang putus sekolah atau memiliki pendidikan rendah lebih rentan dinikahkan muda. Banyak orangtua beranggapan sekolah tidak memberi manfaat langsung, apalagi jika peluang kerja di daerahnya masih minim.

Dampaknya, tanpa pendidikan, anak kehilangan peluang untuk mengembangkan potensi diri, memperoleh pekerjaan layak, atau membangun kemandirian ekonomi.

5. Kurangnya edukasi seksual dan kesehatan reproduksi

ilustrasi anak-anak (Pexels.com/arthurkrijgsman)
ilustrasi anak-anak (Pexels.com/arthurkrijgsman)

Di banyak keluarga dan sekolah, pembicaraan tentang seksualitas dianggap tabu. Akibatnya, anak-anak tidak memahami risiko kehamilan dini, kesehatan reproduksi, atau hak atas tubuh mereka sendiri. Kehamilan di luar nikah sering memicu pernikahan terburu-buru demi menutup sebuah aib.

Dampaknya, anak yang menikah karena terpaksa sering menghadapi kekerasan rumah tangga, risiko kesehatan ibu dan bayi, serta trauma psikologis.

6. Lemahnya penegakan hukum

Ilustrasi  (Pexeles.com/katrinbolovtsova)
Ilustrasi (Pexeles.com/katrinbolovtsova)

Meskipun Undang-Undang Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 menetapkan usia minimal menikah 19 tahun, ada celah melalui dispensasi pengadilan yang kerap disalahgunakan. Banyak permohonan dispensasi dikabulkan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang pada anak.

Dampaknya, hukum menjadi sekadar formalitas, bukan perlindungan nyata. Regulasi kehilangan kekuatan untuk mencegah pernikahan dini secara efektif.

Menikahkan anak di usia dini bukan sekadar melanggar hukum, tapi juga melukai kemanusiaan. Di balik baju pengantin dan senyum yang dipaksa, ada tubuh yang belum tumbuh sempurna dan mimpi yang diputus sebelum sempat berlari. Kita, sebagai orang dewasa, tidak bisa terus bersembunyi di balik alasan tradisi, ekonomi, atau tafsir yang menutup mata terhadap penderitaan anak. Melindungi mereka bukan pilihan, melainkan kewajiban. Sebab, setiap anak berhak tumbuh tanpa beban pelaminan, dan setiap mimpi berhak tumbuh tanpa dipaksa terkubur di hari pernikahan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Irma Yudistirani
EditorIrma Yudistirani
Follow Us