Bali dan Masalah Tersembunyi: Akses Internet Belum Merata

Karangasem, IDN Times - Gemerlap dunia pariwisata di Bali Selatan menyisakan kelam bagi beberapa wilayah. Karangasem, misalnya. Diagungkan karena penuh ragam ritus Hindu, justru menjadi kabupaten termiskin di Bali.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali, Persentase Penduduk Miskin Provinsi Bali Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2023-2024, kemiskinan di Karangasem tahun 2024 sebesar 6,52 persen. Angka itu menjadikan Karangasem sebagai kabupaten paling miskin di Bali.
Efek kemiskinan ini menjalar ke segala sektor, termasuk akses teknologi dan internet. Data BPS Provinsi Bali menunjukkan Karangasem sebagai kabupaten dengan persentase terendah bagi penduduk yang mengakses internet, yaitu sebesar 57 persen. Artinya, dari sampel yang diteliti, separuh lebih penduduk di Kabupaten Karangasem berusia 5 tahun ke atas tidak mengakses internet.
Karangasem berada di sisi paling Timur Pulau Bali. Saat berada di wilayah dataran rendah, akses internet masih mudah dijangkau. Namun, semakin ke dataran tinggi l, akses internetnya kian sulit. Selama perjalanan liputan ke Desa Ban, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, batang sinyal di gawai satu per satu menghilang.
Lupa alamat rumah seorang kawan di Desa Ban, gawai justru kehilangan sinyal. Hujan yang memeluk jalan berpasir, menyulitkan perjalanan. Sore itu, saya dan seorang teman memutuskan berteduh sejenak di sebuah warung kecil. Segelas teh hangat menimpali ingatan saya yang mulai lupa lanskap Desa Ban. Akses jalan di Desa Ban tidak lebih baik dari Desa Daya, lokasi warung kecil saat saya menepi.
Gawai saya tidak menunjukkan tanda-tanda menangkap sinyal, setali tiga uang dengan gawai teman saya. Saya coba bertanya pada perempuan penjaga warung, adakah internet yang bisa kami gunakan. Perempuan itu meminta kami menunggunya. Ia meminta adik lelakinya mengambil voucher.
Saya hanya mendengar sekilas percakapan mereka. Lima menit kemudian, si adik datang memberikan secarik kertas kecil kepada perempuan, yang kami ketahui sebagai si kakak. Perempuan itu lalu memberikan secarik kertas kecil itu kepada kami. Sembari meminta kami membayar sebesar Rp5 ribu.
Pada secarik kertas kecil itu tertulis pemilik usaha voucher internet beserta kapasitasnya. Seharga Rp5 ribu, voucher itu menyediakan paket internet 1GB yang berlaku selama 3 hari. Tertulis juga di kertas itu, username dan kombinasi 4 angka sebagai kata sandi internet. Sayang, saya lupa menanyakan provider apa yang mereka gunakan.
Setelah terhubung internet dan mendapatkan informasi dari kawan di Desa Ban, kami melanjutkan perjalanan. Beberapa meter keluar dari radius kawasan warung itu, voucher internet sudah tidak dapat digunakan. Satu sisi, provider gawai teman saya mampu menangkap sinyal. Namun, semakin memasuki kawasan rumah kawan di Dusun Manikaji, Desa Ban, Kecamatan Kubu, kondisi gawainya setali tiga uang dengan gawai saya.
Kawan kami menggunakan gawai ayahnya sebagai hotspot. Tak tega dengan kami yang tidak dapat berselancar di internet, kawan kami menawarkan hotspot. Kawan kami bercerita bahwa hanya ada satu provider yang mampu menyediakan internet di desa mereka. Ia berharap agar akses internet jauh lebih baik dengan menyediakan beragam provider.
Ketersediaan internet yang layak adalah bagian dari hak asasi manusia (HAM). Kesenjangan ekonomi berdampak pula pada ketersediaan akses internet layak. Secara umum, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengesahkan Declaration of Human Rights (1948) sebagai pengakuan dan berjalannya hak asasi manusia. Lalu agar mengikat, disahkan ICCPR dan ICESCR agar PBB dapat mengawasi negara-negara yang meratifikasi kedua perjanjian tersebut.
Dunia internasional sudah mengatur hak digital, poin penting deklarasi World Summit on the Information Society (WSIS) yaitu menghormati HAM secara sepenuhnya, termasuk dalam ruang siber. Internet memiliki beragam manfaat di bidang pendidikan, mempermudah komunikasi, membuat ruang publik baru, dan banyak peluang kolaborasi.
Apa yang terjadi pada Desa Daya dan Desa Ban di Kabupaten Karangasem adalah potret kesenjangan yang nyata. Saat warga kota mengeluh karena kecepatan internet yang segitu-segitu saja, warga di desa bertahan dengan voucher dan hotspot keluarga.