Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Membaca Tanda Alam Lewat Warisan Lontar Tetenger Jagat

Ilustrasi langit terbelah (unsplash.com/@davidmarcu)
Ilustrasi langit terbelah (unsplash.com/@davidmarcu)

Denpasar, IDN Times - Apakah kamu melihat ramalan cuaca di gawai, atau kamu pernah memerhatikan berbagai fenomena alam di sekitarmu? Sebelum adanya berbagai fitur canggih ramalan cuaca, ternyata nenek moyang di Bali punya cara unik meramal cuaca hingga membaca tanda alam.

Akademisi Bahasa Bali Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), Ida Bagus Putra Manik Aryana, menyebutkan ada beberapa naskah lontar Bali yang memuat tulisan tentang cara membaca tanda alam lho. Penasaran apa saja koleksi lontar itu, dan gimana menafsirkan isi lontar pada masa sekarang? Yuk baca selengkapnya di bawah ini.

1. Ada beragam koleksi lontar membaca tanda alam, mimpi, dan lainnya

ilustrasi mimpi (pexels.com/Ivan Oboleninov)
ilustrasi mimpi (pexels.com/Ivan Oboleninov)

Aryana menyebutkan berbagai koleksi lontar di Bali seperti Tutur Tetenger Mwang Pangipian, Usada Tetenger (Tatilik Jati), Geguritan Sipta, Sipta Gati Sipta Kara, Prawesa, dan Roggha Sanggara Bhumi. Pada Lontar Tetenger misalnya, memuat berbagai teks bacaan soal tanda-tanda alam. Lontar Tetenger Jagat berisi ramalan tanda-tanda alam, apabila ada langit seperti terbelah, akan ada bencana yang datang.

Sementara, lontar seperti Tutur Tetenger Mwang Pangipian memuat arti mimpi dan cara mencegah mimpi buruk jadi pembawa sial di kehidupan nyata. Aryana melanjutkan, membahas isi naskah lontar dengan topik ramalan, masyarakat akan terbagi dalam dua kubu, yakni percaya atau tidak percaya.

“Kewajiban kita bagi yang tahu untuk memberikan kepada kalian, apakah kalian menerima, mau percaya atau tidak, ini kembali kepada diri kalian masing-masing,” kata Aryana dalam diskusinya di Gedung Ksirarnawa, Kota Denpasar Rabu lalu, 16 Juli 2025.

2. Bagaimana manusia modern memaknai Lontar Tetenger Jagat?

ilustrasi bertanya pada Tuhan (pexels.com/Sinitta Leunen)
ilustrasi bertanya pada Tuhan (pexels.com/Sinitta Leunen)

Naskah Lontar Tetenger Jagat memuat tanda-tanda fenomena alam, misalnya jika ada fenomena tidak sewajarnya, masyarakat harus waspada. Aryana mencontohkan, fenomena alam ulat tiba-tiba menyerbu pemukiman adalah contoh fenomena tak wajar. Bagi Aryana, masyarakat masa kini dapat memaknai fenomena tersebut dengan menjaga ekosistem makhluk hidup.

“Kalau dicari penjelasannya secara ilmiah, pasti ada sesuatu di ekosistemnya di mana predatornya tidak berfungsi dan melakukan tugasnya,” kata Aryana.

Ia menyayangkan adanya burung-burung pemakan ulat yang ditangkap dan dipelihara. Sebab, burung sebagai predator maupun ulat adalah bagian dari rantai makanan.

Hewan membantu adanya penciptaan keseimbangan alam secara alami. Tumbuhan tidak perlu pestisida untuk membasmi ulat karena burung akan memakan ulat. Meskipun tak semua ulat dimakan, Aryana memaknainya bahwa itu ulat yang memakan tumbuhan sudah jadi haknya. Manusia modern tidak dapat hanya memikirkan soal higienitas, sebab Aryana mengingatkan naskah kuno telah menuliskan bahwa proses rantai makanan adalah bentuk keseimbangan alam.

3. Menjaga ekosistem, ritual mulai dari yang sederhana saja

Ilustrasi sembahyang di pura. (IDN Times/Yuko Utami)
Ilustrasi sembahyang di pura. (IDN Times/Yuko Utami)

Aryana berkata isi lontar tersebut memuat pesan menjaga ekosistem alam, juga berisi cara meredakan bencana dengan ritual. Urutan ritual ini sesuai kemampuan manusia dari tingkatan Nista, Madya, dan Mandala.

Tingkat nista atau dasar misalnya, manusia bisa menghaturkan segehan (sesajen berupa nasi kepal dan bawang jahe garam). Segehan ini sebagai penetralisir atas mimpi buruk tersebut, mendatangkan dewa dan meredam bhuta.

Kini, koleksi lontar yang disebutkan Aryana tersimpan rapi di Museum Gedong Kirtya, Kabupaten Buleleng. Gimana. kamu penasaran dengan isi lontar lainnya? Keren banget ya leluhur kita, sebagai generasi penerus jangan rusak alam terus ya.

Share
Topics
Editorial Team
Irma Yudistirani
EditorIrma Yudistirani
Follow Us