KPA Bali Sebut Banyak Konflik Agraria di Bali Belum Terselesaikan

- Konflik agraria di Bali belum terselesaikan sejak era 90-an
- Sebaran konflik agraria terbanyak di Kabupaten Buleleng
- KPA Bali berharap Pemprov Bali serius menangani kasus konflik agraria
Denpasar, IDN Times - Menjadi satu-satunya pembicara perempuan dalam diskusi publik Forum Peduli Bali bertajuk Konflik Pertanahan di Bali: Dinamika Alih Fungsi Lahan, dan Solusinya, Ni Made Indrawati mewakili Komite Pembaruan Agraria (KPA) Bali memaparkan masalah konflik agraria di Bali. Kata perempuan yang akrab disapa Indra ini, konflik agraria di Bali telah terjadi sejak era 90-an dan masih berlangsung saat ini.
Hanya sebagian kecil konflik agraria di Bali yang dapat terselesaikan dengan perjuangan advokasi bertahun-tahun. “Jadi untuk konflik agraria di Bali yang dari sekian kasus, baru empat (terselesaikan) itu pun belum tuntas,” tutur Indra pada Rabu (26/11/2025) di Warung Kubu Kopi Denpasar. Lalu, di mana saja sebaran konflik agraria di Bali? Berikut pembahasan selengkapnya.
Konflik agraria di Bali tersebar pada sejumlah daerah, terbanyak di Buleleng

Indra memaparkan, sebaran konflik agraria di Bali ada di sejumlah kabupaten. KPA Bali menangani di empat kabupaten, yaitu Klungkung, Tabanan, Gianyar, dan Buleleng. “Tetapi yang paling banyak mencuat letupan konflik pertanahan adalah di Kabupaten Buleleng,” tutur Indra.
Indra menyebutkan di Buleleng ada konflik agraria di Kecamatan Sumberklampok, Sumberkima, Sendang Pasir, dan lainnya. Konflik Agraria di Sumberklampok telah selesai dengan adanya pemberian reforma agraria oleh Gubernur Bali, Wayan Koster, kepada petani di wilayah tersebut. Sementara itu, konflik agraria di Sendang Pasir belum terselesaikan hingga saat ini sejak mencuat di tahun 90-an.
Di Kabupaten Gianyar, terjadi konflik agraria di Dusun Selasih, Desa Puhu, Kecamatan Payangan. Indra mengajak para peserta diskusi menjelajah memori ingatan masa lalu, tahun 2019 para ibu di Dusun Selasih bertelanjang dada menghadang alat berat yang akan meratakan kebun pisang seluas 144 hektare di wilayah itu. Kebun itu bertahun-tahun jadi sumber nafkah para petani, tapi perusahaan besar akan membangun resor mewah. Selain di Gianyar, Tabanan juga masih ada dalam pusaran konflik agraria.
“Kita bahkan sudah menyampaikan beberapa kali ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Bali, tetapi sampai detik ini juga masih banyak konflik-konflik yang belum terselesaikan,” tegasnya.
Status petani gurem semakin melemahkan petani Bali, agraris hanya jadi julukan

Menyelesaikan konflik agraria, kata Indra, butuh energi dan persiapan yang besar, sebab persoalan agraria begitu kompleks. Ia juga menyoroti cita-cita kedaulatan pangan yang tidak sesuai dengan realitas. Pasalnya, Indra kerap menjumpai banyak petani di Bali berstatus sebagai petani gurem yang hanya mengelola sekitar 20 are luasan lahan pertanian. Kondisi itu, bagi Indra melemahkan peran petani dan tujuan kedaulatan pangan.
“Kalau kita kaitkan bagaimana menjaga tanah Bali ini. Sementara masyarakat yang membutuhkan tapak membutuhkan media untuk bertani itu masih dibayang-bayangi ketidakpastian,” tuturnya.
Indra menegaskan, petani di Bali masih dibayang-bayangi penggusuran karena kepentingan tanah lebih mengutamakan oligarki atau kapitalisme, yaitu pengusaha bermodal. Ia berharap adanya Panitia Khusus Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (Pansus TRAP) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bali, mampu menelaah masalah agraria lebih dalam.
KPA Bali berharap Pemprov Bali semakin serius menangani kasus konflik agraria

Meskipun saat ini hasil penanganan konflik agraria cukup baik secara nasional, tapi penguatan dan keseriusan penanganan konflik harus konsisten. Termasuk membentuk badan pelaksana reforma agraria, agar mempercepat penanganan konflik agraria yang solutif. Saat ini, peran KPA hanya sebagai fasilitator bukan sebagai eksekutor penyelesaian konflik.
“Sangat berharap kami juga mendorong pembentukan pansus percepatan penyelesaian konflik pertanahan di bumi Bali,” harapnya.
Indra meyakini pembentukan pansus percepatan penyelesaian konflik pertanahan di Bali, dapat menjadi terobosan baru agar konflik agraria di Bali tidak semakin menumpuk. “Kami tawarkan adalah segera pembentukan pansus penyelesaian konflik agraria di bumi Bali supaya tidak menumpuk-numpuk terus karena kalau dihitung konflik pertanahan di Pemuteran salah satunya itu sudah berumur 35 tahun sekarang,” tegas Indra.


















