Industri Pariwisata Biang Kerok 40 Persen Alih Fungsi Lahan di Bali

- Proyek-proyek di Bali melanggar regulasi tata ruang, termasuk lift kaca Pantai Kelingking dan bangunan di Pantai Bingin.
- Industri pariwisata menyebabkan alih fungsi lahan hingga 40%, sementara perumahan berkontribusi sekitar 20-25% terhadap alih fungsi lahan di Bali.
- Konflik agraria di Bali masih tersebar pada sejumlah lokasi, dengan hanya sebagian kecil yang terselesaikan.
Denpasar, IDN Times - Panitia Khusus Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (Pansus TRAP) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bali kian gencar memburu proyek-proyek yang dinilai melanggar regulasi tata ruang di Bali. Proyek itu mulai dari lift kaca Pantai Kelingking, bangunan di Pantai Bingin, dan sebagainya.
“Kalau sanksi administrasi berupa pembongkaran itu saya pikir hal biasa, bongkar saja. Kalau memang sudah enggak benar menggunakan ruang, ya bongkar saja kenapa mesti kita harus takut,” ujar Ketua Pansus TRAP DPRD Bali, Made Suparta, pada Rabu (26/11/2025).
Sementara itu, Agus Samijaya, pengacara dan peneliti isu, mengamati masalah tata ruang di Bali berkaitan dengan sengkarut sistem dan regulasi. Agus menyoroti tumpang tindih regulasi dalam setiap lembaga, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI, Bank Tanah, hingga Badan Pertanahan Nasional (BPN), kata Agus mereka bergerak dengan rezim sendiri.
“Ini tidak sinkron, mengakibatkan terjadinya tumpang tindih bahkan disharmoni regulasi,” kata Agus.
Tanah dari lahan sawah hingga hutan terus berkurang, industri pariwisata jadi penyebab utama

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), alih fungsi lahan terhadap tanah sawah produktif di Bali hampir 700 sampai 1.000 hektare per tahun. Sementara itu tanah di kawasan hutan mengalami alih fungsi lahan hampir 460 hektare per tahun.
“Bayangkan Bali dengan luasan wilayah yang sangat kecil dibandingkan provinsi lain, ini menurut saya sangat luar biasa alih fungsi lahannya,” tutur Agus.
Agus menegaskan, industri pariwisata jadi satu penyedot alih fungsi lahan, dengan jumlah sekitar 30 sampai 40 persen. Sementara itu, perumahan berkontribusi sekitar 20 sampai 25 persen terhadap alih fungsi lahan di Bali. “Nah, artinya apa? Memang ada satu ketimpangan kebijakan juga yang mendorong percepatan alih fungsi lahan,” tegasnya.
Sementara dari sisi regulasi, Agus mengungkapkan seluruh kebijakan yang terkait dengan sumber daya alam dan agraria hampir semuanya mengacu pada Consultative Group on Indonesia (CGI), di dalamnya ada nama lembaga besar dunia seperti Asian Development Bank (ADB), World Bank, International Monetary Fund (IMF), dan sebagainya. Kebijakan dari standar internasional itu kata Agus tidak sesuai dalam implementasi di tatanan masyarakat khususnya masyarakat adat.
Regulasi bermasalah, menambah kusut masalah perizinan dan penguasaan lahan

Satu contoh bukti nyata dengan terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja. Agus meyoroti ada klaster pertanahan dalam regulasi itu yang diatur dalam pasal 15 sampai pasal 35. Kemudian diatur lebih lanjut di dalam PP Nomor 64 tahun 2021 Tentang Badan Bank Tanah.
“Ternyata Badan Bank Tanah ini memiliki kewenangan yang sangat absolut dan super body, dalam menentukan pengadaan BPN,” imbuhnya. Kewenangan super Bank Tanah dalam fungsi pemanfaatan, penggunaan dan distribusi tanah, kata Agus membuat BPN kini hanya berfungsi sebagai lembaga administratif dalam urusan pertanahan di Indonesia.
Sengkarut regulasi ditambah konflik agraria, KPA Bali harap ada kolaborasi

Sementara itu, Ni Made Indrawati sebagai Komite Pembaruan Agraria (KPA) Bali menyampaikan dari banyaknya konflik lahan di Bali, hanya sebagian kecil yang terselesaikan. Sejak era 90-an bergerak di isu agraria, Indra mengatakan konflik lahan di Bali telah ada pada tahun tersebut bahkan sampai saat ini.
“Sampai detik ini masih sama, masih banyak konflik agraria di lapangan dan baru nol sekian persen kalau boleh tiang tunjuk ya yang sukses, tetapi tidak total itu baru di empat lokasi yang kami usung,” kata Indra pada Rabu (26/11/2025).
Hingga saat ini konflik agraria di Bali masih tersebar pada sejumlah lokasi. Indra mengamati terbanyak ada di Kabupaten Buleleng, yang terselesaikan tapi belum tuntas berada di Kecamatan Sumberklampok, Buleleng. Kawasan itu jadi tempat tinggal pengungsi Eks Timor-Timur (Timtim). Melalui diskusi publik Forum Peduli Bali bertajuk Konflik Pertanahan di Bali: Dinamika Alih Fungsi Lahan dan Solusinya, Indra berharap jadi semangat baru kolaborasi menyelesaikan konflik agraria di Bali. Indra, Agus, dan Suparta menjadi pembicara dalam diskusi yang berlangsung di Warung Kubu Kopi, Denpasar.

















