Kejahatan Seksual Didamaikan, Kapolda Bali: Sejauh Tidak Dirugikan

Denpasar, IDN Times – Dibentuk pada tahun 2021, Forum Sistem Pengamanan Lingkungan Terpadu Berbasis Desa Adat (Sipandu Beradat) mengintegrasikan semua komponen keamanan yang ada di Desa Adat, meliputi Pecalang, Linmas, Satpam, Bhabinkamtibmas, Babinsa, hingga Satpol PP.
Melalui forum ini diharapkan dapat menjaga situasi keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) Bali. Menjaga Bali dari maraknya aksi premanisme dan peredaran narkoba hingga dalam pengawasan serta penerapan protokol kesehatan di tengah pandemik COVID-19.

Kapolda Bali, Irjen Pol Putu Jayan Danu Putra, sempat menyampaikan bahwa permasalahan yang terjadi di desa adat masing-masing diselesaikan dengan rembug, yakni dengan aturan adat yang ada. Namun apabila ada Peraturan Daerah (Perda) yang bersinggungan dengan aturan adat, maka akan dicarikan solusi terbaik dan berjenjang.
“Apabila ada hal-hal kecil yang berpotensi memunculkan situasi gangguan ketertiban, ketentraman, keamanan, dan kerawanan sosial di wilayah desa adat masing-masing, forum ini yang menyelesaikan,” ucapnya dalam apel pengecekan kesiapan pembentukan Sipandu Beradat dan Bantuan Keamanan Desa Adat (Bankamda) di Lapangan Puspem Badung, Mangupraja Mandala, Jumat (29/10/2021) lalu.
Sedangkan apabila ada permasalahan berkaitan dengan kriminalitas, penyelesaikan dilakukan secara berjenjang mulai dari Polsek, Polres, dan Polda. Lalu bagaimana dengan masalah kejahatan seksual? Apakah forum ini juga dianggap efektif untuk menyelesaikan permasalahan tersebut?
1. Kapolda mengakui ada kejahatan seksual yang diselesaikan dengan damai

Kasus pelarian anak yang ditangani Kepolisian Sektor Busungbiu pada akhir Desember 2022 lalu cukup mengundang perhatian. Baik korban maupun pelaku sama-sama masih berusia muda, bahkan tergolong di bawah umur. Remaja laki-laki Bernama Ketut (18), diduga melarikan remaja perempuan yang bernama Komang (14), dengan cara mengajaknya jalan-jalan. Komang dijemput Ketut pada Jumat (23/12/2022), pukul 22.30 Wita tanpa izin orangtuanya.
Keduanya mengaku menyewa penginapan di Kecamatan Seririt dan telah melakukan dua kali perbuatan layaknya suami istri. Ketut akhirnya ditemukan pada Sabtu (24/12/2022), pukul 10.30 Wita, di Jalan Desa Tinggarsari, Kecamatan Busungbiu.
Kapolsek Busungbiu, AKP Wisnaya, melalui Kasubag Humas Polres Buleleng, AKP I Gede Sumarjaya, saat itu menyampaikan bahwa permasalahan ini telah diselesaikan melalui Forum Sipandu Beradat dari kedua desa berbeda kecamatan tersebut dan berakhir damai. Pertemuan menghadirkan orangtua masing-masing. Dari pihak keluarga Ketut telah meminta maaf dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya.
“Karena keduanya masih di bawah umur, sehingga kami mempertemukan kedua orangtuanya untuk dilakukan solusi penyelesaian terbaik,” ungkapnya.
2.Restorative justice disebut memungkinkan untuk menyelesaikan kasus kejahatan seksual

Kejahatan seksual tersebut telah didamaikan dan terjadi di wilayah hukum Polres Buleleng. Saat dikonfirmasi terkait hal tersebut, Kapolda Bali, Irjen Pol Putu Jayan Danu Putra, pada akhir Desember 2022 lalu, menjelaskan bahwa penyelesaikan masalah melalui Sipandu Beradat memungkinkan ketika yang bersangkutan tidak merasa dirugikan.
Ia menjelaskan bahwa mekanisme Sipandu Beradat awalnya memang digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan adat yang terjadi di masyarakat. Akan tetapi ada hal-hal yang berkaitan dengan sosial yang juga bisa ditangani oleh Sipandu Beradat hingga terjadi restorative justice.
“Sejauh yang bersangkutan itu tidak merasa dirugikan ya. Penegakan hukum itu kan rasa keadilan ya. Kalau yang bersangkutan memang rasa keadilan itu sudah didapat, kami rasa itu mekanisme sesuai dengan aturan yang ada kan,” jelasnya.
Melalui restoratif justice, dengan melibatkan berbagai unsur seperti kepolisian, desa adat, memungkinkan masalah diselesaikan melalui Sipandu Beradat. Dengan harapan bisa diambil langkah preventif di kemudian hari. Namun, apabila hal tersebut tidak selesai di tingkat desa, maka penyelesaikan akan ditingkatkan di kecamatan. Jika tidak juga selesai, maka akan ditingkatkan ke provinsi dan hingga ranah kepolisian.
“Sangat membantu (penyelesaian masalah). Ini bisa diselesaikan masalah-masalah kecil. Terhadap perkara-perkara yang memang bisa diselesaikan di bawah sehingga tidak menjadi beban kepolisian di atas gitu ya,” jelasnya.
3.Tidak ada bahasa diversi dan restorative justice bahkan perdamaian dalam penyelesaian kejahatan seksual terhadap anak

Sementara itu, Pemerhati Anak, Siti Sapura yang kerap disapa Ipung, menegaskan ada Undang-undang yang khusus mengatur kejahatan seksual terhadap anak yakni Pasal 81 UU Nomor 23 Tahun 2002 perubahan pertama UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perbuatan persetubuhan anak di bawah umur. Selain itu juga pasal 82 tentang perbuatan pencabulan di bawah umur, yang menjadi kejahatan yang luar biasa.
“Miris ya saya mendengar ini. Saya sedih. Saya kecewa. Saya menganggap pihak-pihak yang melakukan perdamaian dalam perkara kejahatan seksual terhadap anak, yaitu kasus pencabulan, persetubuhan itu kan termasuk kejahatan yang luar biasa sejak tahun 2016 melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2016 yang sudah menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 adalah perubahan kedua dari UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak,” ungkapnya, pada Rabu (4/1/2023) sore.
Merujuk aturan tersebut, dapat diartikan bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 dihadirkan oleh negara dengan kewajiban melindungi seluruh anak Indonesia dari segala bentuk kejahatan seksual yang luar biasa yang harus diselesaikan dengan cara yang luar biasa. Karenanya dalam penyelesaikan kasus kejahatan seksual ini menurutnya tidak ada lagi bahasa diversi dan restorative justice, apalagi perdamaian.
“Kalau kita mendamaikan kasus-kasus kayak gini, mau berapa anak atau korban lagi kita korbankan?” ungkapnya.

Lalu bagaimana jika dalam kasus kejahatan seksual melibatkan pelaku anak? Ipung menjelaskan bahwa umur di atas 14 tahun plus 1 hari dan di bawah 18 tahun, perbuatan kejahatan seksual harus ditindaklanjuti oleh kepolisian. Dalam prosesnya, diperbolehkan melakukan pidana badan atau hukuman penjara.
“Jadi kalau ini dianggap hal yang boleh di-restorative justice, didiversi, didamaikan. Lalu apa artinya UU Perlindungan Anak Nomor 17 Tahun 2016?” ungkap Ipung.

Ipung menekankan, bagi keluarga jika ingin berdamai dalam kasus kejahatan seksual ini, bisa saja. Akan tetapi dengan catatan bahwa bukan kasusnya yang didamaikan. Oleh karenanya, Ipung meminta pihak kepolisian terkait agar menindaklanjuti kasus ini.
“Apapun alasannya, mau tidak mau, bisa tidak bisa, Kapolda Bali atau jajarannya harus menindak lanjuti kasus ini secara hukum,” tegasnya.