Jalan Berliku Pararem Anti Kekerasan Seksual di Bali

Denpasar, IDN Times - Isu kekerasan seksual di Bali ibarat gunung es. Hal ini memunculkan sejumlah upaya dari berbagai pihak untuk menangani secara preventif dan represif. Desa adat di Bali mengenal pararem sebagai penanganan persoalan hukum. Pararem merupakan aturan pelaksana dalam desa adat di Bali.
Sekretaris Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Bali, Ni Luh Putu Anggreni, menjelaskan proses penyusunan pararem antikekerasan seksual bukan hal mudah. Sebab hal utama adalah pihak desa adat harus memiliki pemahaman kuat terhadap penanganan kasus kekerasan seksual yang adil kepada korban.
“Desa adatnya harus ada perspektif yang sama dulu. Jadi harus bekerja sama, dan prosesnya panjang. Kalau buat pararem tidak mudah,” ujar Anggreni saat dihubungi IDN Times, Selasa (3/12/2024).
1. Pararem harus aspiratif

Selama mendampingi beberapa desa adat dalam penyusunannya, Anggreni menjelaskan niat penyusunan pararem harus kolektif dan aspiratif. Peraturan Daerah (Perda) yang disusun harus berlandaskan riset dan kebutuhan seluruh masyarakat adat.
“Lihat persoalannya ngobrol sama kramanya. Jadi istilahnya gak bisa seperti, misalnya, perda sekadar dan dibuat padahal tidak aspiratif gitu. Jadi pararem itu kita harus aspiratif harus ada persoalan ada kemauan,” ungkapnya.
2. Pararem perlindungan anak dan perempuan ada di Desa Tegallalang

Upaya mendorong desa adat membuat pararem membutuhkan sinergi. Anggreni menjelaskan, LBH APIK bersama Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gianyar melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak, serta Dinas Kebudayaan memfasilitasi Desa Tegallalang di Kabupaten Gianyar dalam menyusun pararem.
Sedangkan desa lainnya seperti Desa Ban, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem memiliki pararem antiperkawinan anak. Pararem ini lahir karena adanya kasus perkawinan anak yang tinggi di Desa Ban. Namun, belum seluruh desa adat di Desa Ban memiliki pararem antiperkawinan anak. Sebab membutuhkan proses dan komitmen bersama sejak penyusunan draft pararem hingga penegakannya.
3. Tidak ada kata damai terhadap kasus kekerasan seksual

Anggreni menyebutkan, meski desa adat di Bali kental dengan unsur nyama-braya (sistem persaudaraan), tetapi jika ada kasus kekerasan seksual, maka tidak ada kata damai sejak dalam pararem.
“Kalau kekerasan seksual kita gak ada istilah damai. Pararem itu harus tegas, memisahkan mana kasus yang bisa didamaikan, yang tidak bisa didamaikan,” kata dia.
Pengurus desa adat juga harus berperspektif korban. Anggreni selalu menekankan agar pengurus desa adat di Bali mampu melindungi korban setelah proses hukum berlangsung. Ini bertujuan agar korban dapat pulih secara menyeluruh, dan tidak merasa dikucilkan di desanya sendiri. Upaya lainnya yang dilakukan yakni menyediakan draft pararem perlindungan anak bersama Komisi Perlindungan Anak di Bali serta Majelis Desa Adat (MDA) Bali.