Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mengenal Perkawinan Mepanak Bareng di Bali, Istilah Lain Pada Gelahang

Ilustrasi pernikahan adat Bali (pexels.com/Arjun Adinata)
Ilustrasi pernikahan adat Bali (pexels.com/Arjun Adinata)

Adat dalam Hindu Bali awalnya hanya mengenal dua jenis perkawinan, yaitu perkawinan sentana (biasa) atau nyeburin dan perkawinan ngidih sentana. Pada perkawinan sentana, laki-lakinya berstatus sebagai purusa (konsep pembagian peran di Hindu Bali), yaitu mengambil istri dibawa ke rumahnya untuk melanjutkan keturunan. Jadi, peran laki-lakinya masih tetap dengan segala konsekuensi waris material maupun imaterial.

Sementara perkawinan ngidih sentana, perempuannya berstatus sebagai purusa, yaitu mengambil laki-laki dibawa ke rumahnya untuk melanjutkan keturunan di keluarga istri. Sehingga dalam konteks peran, hak, dan kewajiban, perempuan mendapatkan konsekuensi waris, baik berupa material maupun imaterial.

Seiring berkembangnya zaman, muncul jenis perkawinan bernama mepanak bareng atau pada gelahang. Bagaimana konsep perkawinan mepanak bareng? Baca selengkapnya di bawah ini.

Tercetus sebagai solusi atas permasalahan pasangan yang sama-sama anak tunggal

Ilustrasi pasangan (Pexels.com/Ron Lach)
Ilustrasi pasangan (Pexels.com/Ron Lach)

Gagasan perkawinan mepanak bareng hadir sebagai solusi atas pasangan Hindu Bali yang sama-sama sebagai anak tunggal. Jika melakukan perkawinan sentana (biasa), keluarga pihak perempuan tidak dapat melanjutkan keturunannya. Termasuk konsekuensi kewajiban serta hak material dan imaterialnya. Jika memilih perkawinan ngidih sentana, keluarga pihak laki-laki tidak dapat melanjutkan keturunannya. Hak dan kewajibannya akan luruh seiring laki-laki ditarik ke dalam keluarga perempuan.

Namun, titik tengah dari kebimbangan itu adalah perkawinan mepanak bareng atau pada gelahang. Meskipun laki-laki dan perempuan yang menikah sama-sama anak tunggal, mereka tetap saling berbagi dan melanjutkan keturunan masing-masing.

Apa bedanya dengan perkawinan pada gelahang?

Ilustrasi tanda tanya (freepik.com/rawpixel.com)
Ilustrasi tanda tanya (freepik.com/rawpixel.com)

Sejatinya esensi antara perkawinan mepanak bareng dan pada gelahang sama saja. Intinya, pasangan yang memilih jenis perkawinan ini telah bersepakat saling berbagi agar kedua sisi keturunan tetap berlanjut. Jadi, keluarga laki-laki tetap dapat melanjutkan hak dan kewajibannya, begitu juga keluarga perempuan. Itu artinya, kedua belah pihak mendapat win-win solution.

Meskipun terdengar menyenangkan dan menenangkan bagi kedua belah pihak pasangan suami istri, bukan berarti jenis perkawinan ini tanpa masalah. Jika solusi hak dan kewajiban dapat teratasi, namun menjalani perkawinan mepanak bareng tidak semudah itu.

Buku bertajuk Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya yang ditulis I Ketut Artadi, tertuang soal kesulitan setelah memilih perkawinan mepanak bareng. Satu di antaranya jarak kampung halaman masing-masing pasutri. Saat jaraknya berjauhan, beban kewajiban adat kian besar. Ini jadi satu penyebab perceraian pasangan yang memilih perkawinan mepanak bareng.

Dasar hukum perkawinan mepanak bareng

ilustrasi hukum (pexels.com/Pavel Danilyuk)
ilustrasi hukum (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Ada satu syarat dokumen hukum yang harus dipenuhi jika memilih jenis perkawinan mepanak bareng. Yakni lekita, surat bukti penetapan pengadilan. Mengapa surat ini menjadi penting? Sebab, mengacu pada mekanisme waris, pembagian hak dan kewajiban dalam perkawinan ini awalnya masih dianggap abstrak. Sehingga butuh surat bukti penetapan pengadilan untuk menguatkan, hingga mengikat hak dan kewajiban hukum bagi pasangan beserta keturunannya di masa datang.

Beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) cukup menguatkan jenis perkawinan ini dari sisi tatanan hukum nasional. Satu di antaranya Pasal 1339 KUHPerdata yang berbunyi:

“Perjanjian tidak saja mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu menurut sifat perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan dan kebiasaan.”

Frasa kepatutan dan kebiasaan memihak pada kesepakatan hukum adat, misalnya waris-mewaris di Bali yang berkembang seiring zaman. Sehingga secara umum, jenis perkawinan ini telah diakui dan dipermudah fleksibilitas perjanjiannya.

Share
Topics
Editorial Team
Irma Yudistirani
EditorIrma Yudistirani
Follow Us

Latest News Bali

See More

Mengenal Perkawinan Mepanak Bareng di Bali, Istilah Lain Pada Gelahang

21 Sep 2025, 17:36 WIBNews