Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Ayah Pelajar yang Jadi Tersangka Demo Bali: Anak Kami Bukan Koruptor

koalisi advokasi.jpg
Koalisi Advokasi Demokrasi Untuk Bali. (IDN Times/Yuko Utami)

Denpasar, IDN Times - “Anak-anak kami ini bukan koruptor, bukan pembunuh, bukan perampok,” tutur Wasis di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali. Suaranya terdengar bergetar. Wasis adalah orangtua remaja berinisial RT yang ditetapkan sebagai tersangka dalam demonstrasi 30 Agustus 2025 lalu. Bersama Koalisi Advokasi Bali Untuk Demokrasi, Wasis berbicara di depan awak media pada Rabu, 12 November 2025. Langit mendung dan rintik hujan mengiringi perihnya hati Wasis, ketika mengingat lagi detik-detik penangkapan anaknya yang berstatus pelajar sekolah menengah kejuruan (SMK).

Senin, 1 September 2025, dering telepon Wasis membuatnya terkejut. Sebab anaknya yang lain mengabari bahwa RT ditangkap oleh pihak Kepolisian Daerah (Polda) Bali. Wasis langsung buru-buru ke Kantor Polda Bali, tepatnya menuju Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirkrimsus). Pihak Dirkrimsus mengatakan, Wasis belum dapat menemui RT pada pukul 14.00 Wita dan menjanjikan dapat membesuknya pukul 21.00 Wita. Namun, tujuh jam menanti, Wasis tak dapat menemui RT. Dirkrimsus kembali berjanji akan mempertemukan Wasis dengan putranya tersebut.

Bagaimana kesaksian Wasis, perwakilan orangtua tersangka pelajar dalam peristiwa demonstrasi 30 Agustus 2025 lalu? Ini kisah selengkapnya.

Wasis terkejut, anaknya telah berbaju oranye dan kepalanya gundul

Ilustrasi tersangka. (IDN Times/Aditya Pratama)
Ilustrasi tersangka. (IDN Times/Aditya Pratama)

Keesokan hari sekitar pukul 10.00 Wita, Wasis kembali ke Polda Bali untuk menemui RT. Alangkah terkejutnya Wasis, ketika melihat sang putra keluar berbaju oranye dengan kepala gundul.

“Betapa terkejutnya kami, betapa terhenyak hati kami, begitu kami bisa menemui anak saya dalam kondisi sudah memakai baju oranye dan kepala gundul,” ujar Wasis hampir menangis.

Sehari sebelumnya, sang anak sempat pulang ke rumah, bukan untuk kembali berkumpul dengan keluarga, tapi mengambil kartu pelajar. Kata Wasis, ada tiga orang dari Polda Bali mengantar RT ke rumah dalam keadaan kedua tangannya terborgol. Kebingungan menyelimuti Wasis. Ia hanya sempat bertanya singkat, “Kenapa ini?” Polisi itu menjawab bahwa RT ikut demonstrasi dan ditangkap.

“Tiba-tiba jam 11 malam itu mereka dibawa pulang hanya mengambil kartu pelajar yang memang oleh anak saya tidak pernah dibawa,” kata dia.

Panik, Wasis dan keluarganya tak sempat bertanya banyak hal, apalagi soal surat penangkapan. RT dan tiga polisi itu berlalu begitu cepat, sementara Wasis dengan perasaan campur aduk dan seribu pertanyaan di kepala hanya dapat menatap kepergian mereka.

Anaknya dan tersangka lain yang didampingi Koalisi Advokasi Bali Untuk Demokrasi, ditangkap tanpa surat perintah penangkapan

kondisi demo.jpg
Asap gas air mata mengepul di Jalan Dokter Kusuma Atmaja, sekitar Lapangan Niti Mandala Renon, Denpasar. (IDN Times/Yuko Utami)

Wasis tak tahu kalau sang anak ikut demonstrasi, Ia hanya tahu gawai RT rusak dua minggu sebelum tanggal 30 Agustus 2025. RT tidak memiliki gawai pada saat itu, karena Wasis belum mampu membelikan yang baru. Beberapa hari kemudian, bersama orangtua tersangka lainnya, Wasis menjadi tahu satu hal, bahwa anak mereka ditangkap tanpa surat penangkapan.

“Ternyata hal yang sama setelah kami konfirmasi dengan para orangtua yang lain memang sama. Mereka tidak pernah diberitahu tentang surat penangkapannya,” beber Wasis.

Selang beberapa hari, surat penangkapan baru tiba setelah anak-anak mereka ditahan Polda Bali. Para orangtua mengajukan surat penangguhan penahanan berkali-kali, tapi tak berhasil. Surat penangguhan penahanan itu juga dikirimkan kepada pihak sekolah, tapi tak mendapat respon positif. Para orangtua menanyakan kembali permohonan penangguhan penahanan, tapi birokrasi berbelit membuat mereka hanya mendapat jawaban mohon maaf dan diminta mencari unit lain yang mengurus.

Putus asa, para orangtua berdialog dengan sekolah dan satu anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Bali. Anggota DPD Bali itu bersama pihak dinas pendidikan mengajukan surat permohonan penangguhan penahanan kepada Polda Bali. Namun, hasilnya nihil. Perjuangan para orangtua mengantarkan mereka kepada Koalisi Advokasi Bali untuk Demokrasi. Koalisi ini berisi para pembela hukum yang bersolidaritas untuk penanganan kasus kriminalisasi terhadap hak asasi manusia. Koalisi ini menjadi pendamping hukum RT dan empat orang tersangka lainnya. Empat tersangka termasuk RT berstatus pelajar, satu tersangka lainnya berstatus sebagai buruh ojek daring.

Surat permohonan penangguhan penahanan diterima kejaksaan

justice for affan.jpg
Spanduk mengecam Polri dan menuntu keadilan atas meninggalnya Affan di Jalan Sudirman, Denpasar. (IDN Times/Yuko Utami)

Koalisi Advokasi Bali untuk Demokrasi mendampingi para tersangka, termasuk dalam proses pelimpahan berkas ke Kejaksaan Negeri Denpasar. Penahanan dari Polda Bali berlanjut ke Kejari Denpasar. Meski demikian, surat penangguhan penahanan tetap diajukan ke Kejari Denpasar.

Setelah hampir sebulan ditahan, tanggal 23 Oktober 2025, permohonan penangguhan penahanan dikabulkan oleh Kejari Denpasar. Empat tersangka menjadi tahanan rumah menggunakan gelang pelacak di kaki. Namun, mereka tak dapat kembali belajar secara langsung ke sekolah karena tak dapat izin. Mereka belajar secara daring di rumahnya masing-masing.

“Mewakili dari semua tersangka yang notabene masih pelajar-pelajar ini berharap dengan kelegaan hati, dengan harapan besar, agar saudara-saudara kami di koalisi bisa mengawal anak-anak kami sampai detik akhir persidangan dan putusan,” harap Wasis.

Koalisi Advokasi Bali Untuk Demokrasi menuntut pembebasan para massa aksi

aksi di bali.jpg
Demonstrasi di Bali pada Sabtu, 30 Agustus 2025. (IDN Times/Yuko Utami)

Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi YLBHI-LBH Bali, Ignatius Rhadite, menyampaikan penangkapan tersangka tanpa surat penangkapan melanggar ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

“Dalam undang-undang itu tidak dapat dikenakan, tidak dapat dikatakan sebagai tertangkap tangan. Kalau tertangkap tangan, dia ditangkap di lokasi aksi,” kata Rhadit.

Rhadit menjelaskan, para remaja sebagian besar ditangkap di rumahnya ketika sudah berganti hari. Sehingga kenyataan itu tidak sesuai dengan frasa tertangkap tangan dalam KUHP.

“Karena itu bukan tertangkap tangan, seyogyanya surat tugas, surat perintah penangkapan, surat perintah penahanan, surat izin penggeledahan dan penyitaan itu harus diberikan di depan. Tapi pada faktanya tidak ada satu orang pun anggota keluarga yang mendapatkan itu,” paparnya.

Rhadit dan segenap bagian Koalisi Advokasi Bali Untuk Demokrasi menuntut pembebasan terhadap para tersangka. Sebab, demonstrasi bagian dari kebebasan berpendapat yang telah diatur dalam perundang-undangan. Ada lima tuntutan yang diajukan Koalisi Advokasi Bali Untuk Demokrasi, sebagai berikut.

  1. Pemerintah Republik Indonesia untuk menjamin kebebasan berekspresi di Indonesia pada umumnya, dan Bali pada khususnya, serta menghentikan praktik kekerasan terhadap warga yang menyuarakan pendapat
  2. Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Denpasar segera menghentikan proses hukum dan membebaskan seluruh massa aksi solidaritas Bali yang menjadi korban pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian
  3. Kapolda Bali segera mengusut anggota yang terlibat dalam penyiksaan dan pelanggaran prosedur hukum
  4. Komnas HAM dan Kompolnas RI melakukan investigasi independen serta pemeriksaan komprehensif terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat kepolisian di Bali
  5. Kementerian Pendidikan dan Pemerintah Daerah Bali memastikan pemulihan psikologis dan menjamin hak atas pendidikan bagi massa aksi yang masih berstatus pelajar.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Irma Yudistirani
EditorIrma Yudistirani
Follow Us

Latest News Bali

See More

Warga Binaan Lapas Tabanan Diajak Berdaya lewat Produk Kuliner

13 Nov 2025, 21:06 WIBNews